webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
93 Chs

Bertemu Dengan Teman Lama

Aku sudah berpakaian rapi. Dari balik jendela rumah Nenek aku melihat Bagas sedang berjalan menghampiriku.

"Itu, Bagas, aku langsung keluar aja deh!" ujarku.

"Ma! Nek! Mel, pergi sama Bagas dulu ya!" ujarku.

"Iya, hati-hati!" sahut Nenek yang masih asyik di dapur, sementara Mama tidak ada, sepertinya Mama sedang berada di toilet.

Bagas sudah menungguku sambil tersenyum.

"Mbak Mel, malam ini cantik banget" puji Bagas.

"Masa? Tapi bukannya aku udah cantik dari sononya, ya?"

"Em ... iya sih" sahut Bagas, "tapi malam ini kelihatan beda banget," ujarnya.

Kemudian dia mengajakku berangkat dengan mengendarai motor bersamanya.

"Bisa naiknya, Mbak?"

"Ya bisa dong, Gas! Masa iya naik motor aja gak bisa?"

"Ya, kali aja, Mbak! Secara, Mbak Mel, pakek rok begitu," tukas Bagas seraya melirik kearah pakaianku.

"Oh!" Aku langsung melihat ke bawah.

Hari ini aku memang menggunakan dress yang panjangnya tidak sampai ke lutut.

Mungkin Bagas, merasa agak risih kalau aku naik motor dengan pakaian seperti ini.

Tapi mau bagaimana lagi aku sudah nyaman dengan baju ini, karena ini adalah baju kesayanganku.

"Mbak, duduknya miring aja ya?" pinta Bagas.

"Kenapa emangnya?"

"Ya, enggak! Kalau duduknya ngangkang agak gimana gitu ...," jawab Bagas.

"Okay!" jawabku singkat karena tidak mau berujung debat.

Kemudian Bagas melepaskan sweater miliknya dan memberikannya kepadaku.

"Pakai sweater ini, Mbak!" suruh Bagas.

"Tapi baju aku, 'kan panjang, Gas?" protesku.

"Iya, baju, Mbak Mel, emang lengannya panjang, tapi bagian roknya pendek," sahut Bagas.

Aku pun mengernyitkan dahiku. Lalu aku tarik saja sweater itu. Tentunya dengan ekspresi wajah yang kurang suka.

Padahal apa yang dikatakan oleh Bagas itu benar, hanya saja aku yang tidak terima.

Kemudian aku memakainya untuk menutup bagian paha yang agak sedikit terekspos itu.

Sebenarnya menurutku ini tidak terlalu seksi, dibandingkan saat aku menyamar menjadi Tante Genit dengan syal bulu-bulunya pada waktu itu. Tapi yasudahlah ini acara Bagas sebaiknya aku nurut saja, supaya Bagas merasa nyaman saat bersamaku.

Kemudian kami pun berangkat ke tempat tujuan. Entah di mana tempatnya aku tidak tahu. Yang jelas Bagas bilang di sebuah kafe.

Dalam perjalanan menuju tempat itu, mendadak aku teringat dengannya Laras.

Entah mengapa Bagas malah berangkat ke acaranya bersamaku? Kenapa dia tidak berangkat bersama, Laras?

Tentu hal ini membuatku merasa heran serta tak tenang.

Aku benar-benar tidak mau membuat Laras cemburu saat melihatku berangkat berduaan begini dengan Bagas.

"Gas?" panggilku setengah berteriak, kerena bising suara motor membuat kami sulit bercakap-cakap.

"Ada apa, Mbak?" tanya Bagas.

"Aku gak enak nih sama, Laras!" ujarku.

"Gak enak kenapa?"

"Ya masa kamu berangkatnya malah bareng aku? Harusnya kamu itu berangkat bareng Laras dong! Bukan sama aku?" ujarku.

"Iya! Saya tahu! Tapi yang jadi masalahnya, aku paling dekat rumahnya cuman sama, Mbak Mel!" jawab Bagas.

"Ah, gitu ya? Terus kalau Laras mikir yang aneh-aneh bagaiamna?"

"Mbak Mel, mah tenang aja,"

"Gimana aku bisa tenang, Gas! Aku gak enak sama Laras tahu, Gas!"

"Udah! Udah! Jangan ngajakin ngobrol mulu! Saya lagi nyetir motor nih, Mbak! Kalau jatuh bagaiamana?"

Seketika aku pun terdiam. Tentu saja aku tidak mau terjatuh dari atas motor karena kebanyakan mengobrol bersama dengan Bagas.

Aku masih tringat dan sangat trauma dengan kejadian yang menimpaku dan Elis dulu.

Aku tidak mau kejadian itu terulang kembali!

Tak berselang lama motor berhenti di sebuah kafe.

Kami masuk ke dalam kafe itu, dan di sana juga terlihat anak-anak The Jamet yang sedang berkumpul.

Mereka belum melihatku, dan sesaat aku berbisik pada Bagas.

"Gas, aku pikir pesta ulang tahun kamu bakalan meriah, mereka gak ngasih surprise ke kamu, gitu?" tanyku pada Bagas.

"Haha! Ya enggaklah, Mbak! Ulang tahunku selalu begini, aku cuman suruh mereka datang ke kafe, dan aku yang traktir," ujar Bagas.

"Gas, by the way, aku gak bawa kado, nih," ujarku sambil tersenyum malu-malu.

"Iya gak apa-apa kok, Mbak! Mereka semua juga gak ada yang bawain kado! Mereka itu cuman minta ditraktir, tapi gak masalah kok! Aku suka melakukan ini," jawab Bagas.

"Wah kamu baik juga ya, Gas! Kalau aku ulang tahun terus, Jeni sama Elis, gak kasih aku kado ultah, mereka gak bakal aku tanyain 7 hari, 7 malam berturut-turut!" ujarku dengan sangat jujur.

"Haha! Sampai segitunya?" Bagas tampak heran mendengarnya.

"Ho'oh! Itu udah jadi tradisi bagi kami!" sahutku.

"Yasudah, ayo, Mbak!" Bagas menggandeng tanganku.

Tentu saja aku merasa risih, dengan hal ini.

"Gas, jangan gandeng-gandeng tangan dong," bisikku di telinga Bagas.

"Udah, gak apa-apa, kok," jawab Bagas dengan santai.

"Yah, menurut kamu ini gak apa-apa, tapi menurut Laras bagaimana?" tanyaku.

"Udah, gak apa-apa!" sahut Bagas dan masih dengan ekspresi santainya. Dia seolah tak peduli dengan perasaan Laras. Lain halnya denganku yang sangat memikirkan perasannya.

Aku yakin dia pasti akan sakit hati bila melihat Bagas menggandengku ... aku ini juga wanita, aku tahu bagaimana sakitnya terbakar rasa cemburu.

Aku terus meronta pelan-pelan, agar tanganku bisa terlepas dari gengaman tangan Bagas, tapi sayangnya sulit.

Tanganku yang kecil mirip tangannya Spongebob ini, tidak mampu melawan tangan kekar Bagas yang mirip Hulk. Untungnya Bagas tidak berwarna hijau, dan wajahnya juga jauh lebih ganteng dari Hulk.

'Eh... kenapa aku mikirin yang gak jelas sih?'

"Hai, semuanya!" sapa Bagas seraya melambaikan tangan kearah yang lainnya.

"Hai, Bro!" teriak Rio.

"Eh, itu, Melisa?" tanya Aryo, yang masih tak yakin.

"Wah! Ternyata benar itu, Melisa!" ujar Rio.

Lalu kami pun saling bersalaman.

Kemudian mereka juga mengajakku mengobrol.

"Mel, udah berapa hari kamu di sini?" tanya Aryo.

"Ah, baru aja datang tadi pagi," jawabku.

"Oh, sering-sering main ke sini dong, Mel! Bagas, 'kan kalau ditinggal lama suka kangen," ujar Rio dengan nada bercanda.

"Ih, apaan sih!" sahutku. Mereka ini seperti tidak punya hati. Mereka meledekku dan Bagas, tak peduli jika di samping mereka itu sedang ada Laras.

Tapi aku lihat Laras sedang menelepon seseorang sambil tersenyum.

Dia tak mendengar bercandaan Rio.

Syukurlah ....

"Yasudah, ayo duduk! Kalian udah pesan makanan belum?" tanya Bagas.

"Belum dong, kita lagi nungguin yang punya hajat datang dulu!" ujar Ardi.

"Benar banget! Masa iya kita pesan duluan terus kamu gak datang, siapa dong yang bayarin?" kelakar Aryo.

"Iya, juga ya!" Kata Bagas sambil manggut-manggut.

Kemudian aku melihat Laras menutup teleponnya lalu menghampiri kami.

"Eh, ada, Mbak Mel, juga ya rupanya?" sapa Laras dengan ekspresi yang agak canggung.

Bersambung ....