webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teen
Not enough ratings
93 Chs

Tembok Pembatas

"Hai, Ras, apa kabar?" sapaku seraya mengulurkan tangan.

"Baik, Mbak," sahut Laras.

Kami berdiri saling memandang.

Dan mendadak suasana kafe itu seakan hening.

Aku dan Laras terlihat sangat canggung. Kemudian Laras membuka percakapan untuk memecahkan keheningan.

"Mbak Mel, udah ... sampek sini, dari kemarin? Eh, kapan maksudnya?" tanya Laras yang belepotan dan terkesan sangat kacau.

"Dari kemarin, Ras! Eh! Maksudnya baru tadi pagi, hehe ...," jawabku yang tak kalah belepotan. Aku mencoba membuat keadaan biasa saja. Meski ini terasa tidak biasa.

"Oww ...." Laras mengangguk paham. "Terus ke sini tadi bareng siapa, Mbak?" tanya Laras.

"Sama, Bagas," sahutku dengan jujur.

"Oww," Laras kembali mengangguk paham, dan kali ini ada guratan kekecewaan yang terlihat di wajahnya.

Aku jadi tidak enak hati, tapi dia tadi bertanya, dan aku wajib menjawabnya, 'kan?

Tidak mungkin juga kalau aku berbicara bohong, sementara aku memang berangkat bersama dengan Bagas. Yang ada Laras akan semakin kesal jika mengetahui aku berbohong.

Setelah dialog singkat itu usai, keadaan kembali hening, kami saling terdiam menunduk.

Tidak seperti dulu yang saling curhat dan bercanda, dengan tertawaan lepas.

Sekarang seperti ada tembok pembatas di antara aku dan Laras.

Suasana benar-benar terasa tidak nyaman. Dan semua ini kerena Bagas. Aku, dan Laras, telah mencintai orang yang sama. Namun kami tetap berusaha untuk saling menghargai.

Dan aku sangat yakin, jika Laras juga sudah tahu, kalau sebenarnya aku juga menyukai Bagas.

Yang aku herankan, mengapa Laras tidak marah kepadaku?

Padahal aku ini hanya gadis munafik, yang menyukai pacarnya Laras.

Pura-pura menjodohkan mereka, tapi ternyata aku malah jatuh cinta pada si pria yang telah dijodohkan?

"Eh, kalian ada di sini ruapanya?" tanya Rio yang tiba-tiba muncul dari luar kafe.

Kemudian dia menarik tangan Laras secara paksa.

"Ras, ada yang nyariin kamu, tuh!'" ujar Rio.

"Siapa?"

"Udah ayo ikut sama saya!" ajak Rio seraya menarik tangan Laras keluar dari dalam kafe.

Sementara Ardi dan Aryo sedang berada di meja lainya.

Mereka sedang mengobrol dengan dua gadis sepantaran kami. Aku rasa gadis-gadis itu gebetan Ardi, dan, Aryo.

Aku masih duduk di meja yang sebelumnya. Aku sendirian memandangi meja kosong, sambil menunggu pesanan kami yang belum datang.

Aku mulai bosan, sedangkan Bagas malah entah pergi ke mana?

Aku mengedarkan pandanganku, dan kulihat Bagas keluar dari dalam toilet.

"Eh, Mbak, yang lainnya mana?" tanya Bagas.

"Tuh, yang lain lagi pada duduk di sana!" ujarku seraya menunjuk kearah Ardi dan Aryo, mereka sedang tertawa-tawa dengan dua gadis itu.

"Ah, dasar, Duo Biawak!" umpat Bagas. Lalu dia duduk di sampingku.

"Terus, Rio, sama, Laras, kemana?" tanya Bagas.

"Gak tahu juga ya, tadi Rio tarik-tarik tangan Laras, terus keluar dari kafe," jawabku.

"Oww," Bagas manggut-manggut.

Kemudian para pelayan kafe menaruh makanan pesanan kami di atas meja.

"Wah, banyak amat, Gas?" tanyaku.

"Ya, kita, 'kan rame-rame, Mbak! Masa iya pesan cuman satu porsi doang?" jawab Bagas.

"Tarus, yang itu punya siapa?" Aku menunjuk satu porsi Nasi Goreng Spesial yang tersisa, karena kami hanya berenam, tapi piringnya ada Tujuh.

"Oh, yang itu buat jaga-jaga nanti kalau aja ada yang kurang," jawab Bagas.

"Oh," Giliran aku yang mengangguk paham.

"Yaudah ayo, makan!" ajak Bagas, dia meraih satu piringnya.

"Eh, kita gak nungguin yang lainnya dulu?" tanyaku.

"Gak usah, Mbak! Nanti mereka juga pada nyusul. Mereka lagi sibuk sendiri-sendiri," jawab Bagas.

Akhirnya aku pun menuruti ajakan Bagas. Lagi pula sejak tadi siang aku juga belum sempat makan.

Perutku lapar.

"Mbak, cobain punyaku, deh!" kata Bagas.

"Engak ah, sama aja!" sahutku.

"Beda dong, punyaku lebih pedas dari yang lainnya lo, dan tentunya lebih sepesial," kata Bagas.

"Enggak mau ah, aku gak suka pedas!" sahutku asal-asalan.

"Bohong! Mbak Mel, 'kan doyan makan pedas! Buktinya pas di jakarta sering makan seblak level 10!" protes Bagas.

"Ah, beda lah!"

"Beda apanya?"

"Ah, ya beda pokoknya!"

"Udah ayo cobain punyaku," paksa Bagas tapi dengan suara yang pelan, dia hendak menyuapiku.

"Gas! Gak mau! Apaan sih!" sengutku.

"Cobain dulu, Mbak!"

"Gak mau!"

"Aku bakalan tetep paksa kalau, Mbak Mel, gak mau buka mulut!" desak Bagas.

Akhirnya daripada ribut aku pun menuruti perintah Bagas, aku membuka mulut lalu memakan nasi goreng dari tangan Bagas.

"Gimana? Enak, 'kan?" tanya Bagas.

"Iya, enak." Sahutku. Memang nasi gorengnya cukup enak. Entah level berapa, yang jelas sangat pedas dari biasanya, sangat masuk seleraku.

Aku mencoba nasi goreng milikku sendiri, dan ternyata rasana berbeda, tidak seenak punya Bagas. Mungkin Bagas sengaja memesankan kami nasi goreng dengan tingkat kepedasan standar, karena yang lainya memang tidak terlalu menyukai pedas.

Bukan hanya sekali menyuapiku, Bagas pun kembali menyuapiku lagi.

"Mbak, buka mulutnya lagi, dong!" printahnya.

"Gak mau, ah!" sahutku. "Tadi, 'kan, udah!"

"Ayo sekali lagi, aku tahu, Mbak Mel, suka, 'kan? Karena rasakan emang beda!" ujar Bagas.

Justeru aku malah heran dengan anak ini, kalau memang dia sudah tahu seleraku sama dengannya, lalu mengapa dia tidak memesankan saja level yang sama nasi gorengku, dengan, nasi gorengnya?

"Ayo, a'ak!" Bagas memasaku lagi. Akhirnya aku pun terpaksa membuka mulut.

Satu suapan, dua suapan, dan ternyata semakin enak, aku pun menikmatinya. Tapi sayangnya tepat di saat itu Laras dan Rio kembali menghampiri kami.

Tantu saja aku langsung salah tingkah, aku yakin Laras tadi sempat melihat adegan itu. Saat Bagas menyuapiku!

Astaga! Bagaiamana ini?

Lalu gadis itu pun duduk, dengan wajah yang murung.

Aku benar-benar merasa tidak enak hati kepada Laras.

Aku benar-benar kesal dengan Bagas tadi! Harusnya dia tidak perlu melakukan hal konyol, seperti menyuapiku! Dia itu macam tak punya hati saja!

Harusnya kalau memang dia tidak menyukai Laras, setidaknya jangan tunjukan rasa cintanya kepada gadis lain di hadapan Laras.

Bagaimana pun hal itu akan semakin menyakiti hati Laras.

Tak lama Ardi dan Aryo pun juga turut menimbrung dalam meja makan kami.

Dua gadis yang tadi sempat mengobrol dengan mereka sudah pergi.

Aku dan Laras tidak saling menyapa, Laras terus menundukkan kepalanya. Sebenarnya aku ingin menegurnya, tapi aku takut Laras malah tak meresponku dengan baik.

Akhirnya aku juga memilih diam dan pura-pura fokus dengan makananku.

Seusai makan malam di kafe itu, Laras pulang duluan.

Aku hanya memandang nanar kepergian Laras.

Kemudian Ardi, dan yang lainnya juga pergi. Tinggalah aku dan Bagas saja.

"Udah malam, Gas, pulang yuk!" ajakku.

"Iya, Mbak!"

***

Di sepanjang perjalanan aku diam saja, sama sekali aku tidak mengajak Bagas berbicara.

"Mbak, kok dimana aja?"

"La, terus aku harus teriak-teriak, gitu?"

"Ya, kalau mau teriak-teriak, juga boleh kok, Mbak! Misalnya ... bilang; 'I love you, Bagas!' pakek nada sopran, supaya orang-orang jadi dengar!" kata Bagas dengan nada bercanda.

"Ih, apaan sih?" sengutku seraya menepuk punggung Bagas.

"Mbak, pegangan yang kenceng!" suruh Bagas.

"Enggak mau, ah!" sahutku.

"Yaudah kalau gak mau, tapi kalau jatuh jangan salahin saya, ya??" kata Bagas dengan nada mengancam. Aku tak meladeninya.

Kemudian dia menambah kecepayan laju motornya.

RUENG ...!

"WOI, BAGAS! PELAN-PELAN, DONG!" teriakku dengan lantang namun Bagas tidak peduli. Dia masih tetap asik mengendari motornya.

Sehingga mau tidak mau aku pun terpaksa berpegangan kencang pada Bagas, eh! Bukan hanya berpegangan, tapi aku malah memeluk Bagas.

Bersambung ....