webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
125 Chs

Chatting tengah malam

Tapi, entah kenapa tanganku justru mengambil ponsel android dan membuka pesan yang dia kirimkan tadi. Rais Darmawan memang pria memukau.

[ping]

Ya, Allah. Pesan itu yang memenuhi kolom chatnya. Aku tidak habis pikir dengan atasan satu ini. Dia seperti memasuki ranah pribadiku beberapa hari ini. Biasanya kami mengobrol banyak topik secara tatap muka. Video call atau telepon hanya untuk urusan kantor yang 'selesai' di jam delapan malam.

Biarlah dia marah-marah atau bermuka masam padaku besok. Aku tidak ingin terganggu jam istirahatku yang paling berharga. Perlahan kesadaranku melayang selepas menempel kepala di lipatan selimut tebal dan memeluk bantal kepala. Hantaman kucing berantam di loteng melempar kembali sadarku ke dalam kepala. Oh, Tuhan. Apa Tuhan tidak mengizinkanku tidur sebelum salat, sampai menghukumku dengan kucing-kucing sialan itu?   

Aku beranjak untuk wudhu dan salat. Sebagian ruangan ada yang gelap, ada yang diterangi lampu lima watt. Berselang sepuluh menit, aku selesai dengan kewajiban, dan terselip penyesalan untuk mengakhirinya sekarang. Seharusnya sejak tadi kuawali. Ringan, tidak ada lagi beban. Terserah Allah mengampuni dosaku atau tidak.

Adikku sudah pulas di tempat tidurnya dengan earphone masih tersangkut di telinga. Aku heran padanya yang tidak lepas dari benda itu hampir sepanjang hari. Mataku jatuh ke sebuah cahaya dari sebuah benda. Ternyata dari ponselnya yang masih memutar playlist. Lalu, kemudian padam.

Aku terbangun dengan napas ngos-ngosan, air terasa dari kening yang berkeringat. Aku dibawa kembali ke percakapan siang itu melalui mimpi. Adakah yang belum selesai dengan peristiwa hari itu di diriku?  

Jam di ponsel yang ternyata terletak di samping selimut menunjukkan pukul dua dini hari, artinya baru tiga jam aku terlelap. Tapi, selama itu pula kejadian yang menyesakkan bersamanya menjadi bunga tidurku. Dia hadir sebagai penghias tidur. Aku melihatnya dengan jelas. Rais Darmawan Putra untuk pertama kalinya datang dalam mimpiku.

Dia mendekat. Berdiri di hadapanku, menatap mataku lekat. Sorot matanya menyiratkan semua pedih yang dipendam. Luka yang masih menganga. Kenangan buruk yang tidak mudah terlupa. Pedih yang tak terperi. Sedih yang tak tertahankan.

[Kamu paham, kan sekarang?].

[Pengkhianatan itu luka tanpa obat].

[Lawan jenis itu duri dalam pernikahan].

[Setiap manusia memiliki luka tapi dalam kisah yang berbeda].

Dia menyentuh hijabku di bagian leher,

[Berpisah dengan orang terkasih karena kematian itu sangat menyakitkan, tapi berpisah karena dibohongi itu lebih menyakitkan].

Dia tersenyum.

[Berbahagialah untuk hidupmu].

Kemudian dia menghilang.

Aku duduk di dapur dengan segelas air putih. Termenung dalam remang malam pekat yang diterangi sinar bulan. Napasku masih tidak beraturan. Jantung masih berdetak kuat hingga terasa di tulang rusuk. Aku bernapas dalam-dalam agar napas, denyut nadi, dan detak jantungku kembali teratur.

Saraf otakku kembali mengirim ingatan, memunculkan sejumlah peristiwa yang sempat terjadi dalam mimpi. Sedetik kemudian aku tercengang ketika memori yang tidak pernah kuduga itu terlintas.

(Dia mencium keningku).

Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini?

Tidak! Ini hanya mimpi. Hanya mimpi!

Aku ke keran air membasuh seluruh permukaan untuk berwudhu. Menenangkan diri di atas sajadah jauh lebih tenang. Bulan di atas sana bukan purnama, tetapi dia tampak penuh. Sinarnya sangat terang hingga bisa menggantikan senter sebagai penerang di jalan gelap dan area terbuka.

Empat raka'at selesai kukerjakan. Aku berdoa pada Sang Pemilik Malam kiranya memberiku kedamaian, ketenangan hati, dan petunjuk bahwa itu hanya bunga tidur belaka. Tidak lebih. Memohon pada Dzat yang turun ke bumi di sepertiga malam, yang mengabulkan doa-doa hamba-Nya yang bermunajat di saat hamba lainnya terlelap tidur.   

Dia pemberi cahaya terang. Seterang petunjuk-Nya yang tertuang di dalam kitab melalui risalah Rasul-Nya. Dia tidak menggantikan peranan senter, tetapi Dia penerang di jalan gelap. Dia penunjuk jalan lurus bagi jiwa yang sesat.

Aku kembali ke kasur, mataku terpejam, tapi pikiranku tidak melayang.

Menit berlalu, aku masih di tempat, mata masih terpejam, tapi pikiranku masih di tempat.

Pinggangku mulai sakit terlalu lama berbaring. Duduk bersandar dengan bantal sebagai alas punggung, aku mengambil ponsel, mengaktifkan data internet, lantas belasan chat masuk seperti antrian jadup. Aplikasi pesan kubuka untuk mengetahui isi pesan-pesan tersebut. Bermula dari chat paling terbaru di posisi paling atas, turun ke chat terdulu di posisi bawah.

Tiba-tiba posisi chat berubah. Mataku tertuju ke posisi paling atas. Nama pak direktur turut meramaikan pesan chat masuk yang belum dibaca. Pukul 11.17 PM pesan yang terkirim darinya.

(Gimana kondisi kamu sekarang? Udah baikan?)

Tanganku spontan membuka kolom chat.

DEG

Dia sedang 'online.'

Satu persatu tanda tanya muncul dari kepalaku. Sejenak aku tertegun. Semacam berpikir, apa yang harus kuperbuat sekarang? Membalas pesannya atau?

Aku keluar dari kolom chat. Aku senang mendapat atasan baik sepertinya. Dia peduli pada karyawan. Tapi, kalau seperti ini?

[Kamu nggak tidur?]

Cepat sekali dia mengetik pesan. Ah, ya, dia sudah melihat pesannya sudah bercentang biru seperti akun resmi di aplikasi tempat koleksi foto-foto dan video, dan 'last seen' milikku.

Dia juga pintar menggunakan kosakata. Menggunakan kata 'kondisi' untuk mengetahui keadaanku. Tidak salah sebetulnya, karena memang emosi seseorang menunjukkan kondisinya psikologisnya. Yang salah adalah dia menggunakan kata tersebut menggantikan kata 'perasaan.'

(Laduree).

[Iya, pak. Baru siap salat]

[Bapak kenapa nggak tidur?]

(Nggak bisa tidur)

[kenapa, pak?]

(kamu nggak marah lagi kan sama saya?)

[Nggak kok pak. Im better]

[bapak kenapa gak tidur?]

(ok thanks)

(kamu)

[?]

(kamus*)

[oh]

[memangnya kamus bapak kenapa pak?]

(ilang, tiba-tiba udah gak ada)

[Owalah… dimana ilangnya pak?]

(mungkin di tempat hati mu)

[?]

(hari mungkin*)

[Owalah,,, typo tho pak.]

[ilangnya kapan, pak?]

(emang kamu pikir apaan?)

(gak tahu)

[gak, pak. Bingung aja tadi bacanya]

(tiba-tiba udah gak ada)

[owaalahhh. Mudah2an cepet ketemu ya pak]

[saya istirahat dulu ya , pak. Selamat malam]

(ok, have a nice dream)

Aku menutup aplikasi dan mematikan data internet. Pukul 04.05 dini hari mataku terasa kantuk. Aku harus tidur walau sebentar lagi Shubuh, pagi, dan berangkat kerja. Aku harus menggunakan seefektif dan seefisien mungkin waktu yang sedikit ini. Itu akan sangat membantuku nanti sepanjang hari di kantor.

Oh, tidak. Baju belum diseterika!

Mataku tidak bisa lagi kompromi. Berat sekali seperti kelopak mata ditarik menempel tertutup. Ah, setan-setan memang tidak senang melihat manusia beribadah dan masuk surga. Dan, aku terjerat jebakan iblis yang kerjanya menjerumuskan manusia ke dalam neraka karena berbuat dosa. Busuk sekali hatinya melihat manusia dekat dengan Tuhan-Nya dan masuk surga.

Semoga aku tidak telat bangun.