webnovel

Kami adalah Aku : Epiphany

Jin begitu tertantang ketika CEO di perusahaannya bekerja, Pak Pangestu tiba-tiba mengadakan serangkaian tes untuk mencari seseorang yang dapat menggantikannya di posisi CEO sekaligus menjadi suami dari putri satu-satunya Rea. Tidak sendiri, Jin bersama tiga orang lainnya memperjuangkan posisi yang sama. Tapi bukan itu masalahnya, yang terjadi adalah setelah berhasil terpilih menjadi CEO juga menikah dengan Rea, Jin harus berkompromi dengan dua pribadi Rea yang lain yaitu Gia dan Uri. Ya, Rea mengidap gangguan kepribadian disosiatif atau orang awam biasa menyebutnya berkepribadian ganda. Apakah Jin mampu menjalani hidupnya sebagai seorang suami? Apakah Rea bisa menyatukan kedua kepribadiannya dan memulai hidup normal lagi?

Priminie · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
327 Chs

Rencana Pernikahan

"Papa sudah atur semuanya. Kamu bisa ketemu mereka dalam waktu dekat ini. Papa harap kamu bisa ketemu salah satu jodoh kamu di antara mereka ya." Pak Estu meletakkan sendok dan garpunya di atas piring setelah menyuap sendok terakhirnya. Tersenyum manis ke arah sang putri yang masih sibuk mengunyah makanannya.

"Ak-aku gak yakin pa. Gimana kalo mereka gak suka sama aku? Gimana kalo mereka kabur pas tahu tentang Gia dan Uri?" Rea bicara lagi dengan wajah putih pucatnya yang tidak bisa menyembunyikan mata besar, hidung mancung mungil, dan bibir tipisnya.

"Kamu gak perlu khawatir nak. Kamu putri papa yang cantik dan sangat baik juga berbakat. Papa yakin salah satu dari mereka aka nada yang suka dan tulus sama kamu." Ujar sang papa.

"Bener nak. Paling penting kita fokus sama pengobatan kamu ya. Gimanapun pengobatan kamu harus terus jalan meskipun mama dan papa gak disini. " Sang mama ikut angkat bicara.

"Ya kenapa gak cari perawat aja. Mereka bisa nemenin aku berobat?" Rea sebenarnya sangat ragu dengan rencana kedua orang tuanya itu.

"Kamu kan tahu sudah berapa kali kita ganti perawat karena mereka gak kuat sama Gia. Makanya mama dan papa pikir akan lebih baik kalau mencarikan kamu suami. Dokter Dita kan juga udah bilang sama kamu kalau menikah bisa jadi salah satu cara supaya kamu cepet sembuh." Yakin sang mama lagi.

"Ya tapi mereka semua laki-laki normal ma. Mana mau mereka nyia-nyiain waktu mereka untuk ngerawat aku yang sakit jiwa kaya gini?" Rea masih merajuk.

"Kamu percayakan sama mama dan papa?" Bujuk sang mama atau yang biasa dipanggil dengan nama Bu Wulan, entah sudah keberapa kalinya membuat Rea memilih mengangguk pada akhirnya.

Ini semua bermula setelah pertemuan terakhirnya dua hari lalu dengan Dokter Dita, psikiaternya selama tiga bulan ini. Dia lah pencetus semua rencana mengenai pernikahan ini terjadi walau tidak secara langsung. Rea jadi menerawang pada kejadian siang itu. Rea ditemani Bu Wulan baru saja selesai melakukan sesi psikoterapi untuknya.

"Tumben hari ini Bu Wulan yang menemani Rea?" Dokter DIta yang berusia sekitar 40 tahunan itu bertanya dibalik kacamata dan jas putih khas dokter.

"Iya dok. Perawat Rea yang terakhir itu lagi-lagi mengudurkan diri. Mereka gak sanggup kalau sudah berhadapan dengan Gia." Cerita Bu Wulan membuat Rea hanya tersenyum kecut saja.

"Hm, dari pengamatan saya, karena penyakit yang Rea alami ini, dia sepertinya tidak memiliki banyak teman. Gia sendiri juga pribadi yang sangat antipati pada kehadiran laki-laki. Saran dari saya ini memang sangat beresiko Bu Wulan dan Rea, tapi menurut saya tidak ada salahnya kalau Rea coba membuka diri pada laki-laki. Harapannya Rea akan kembali membangun kepercayaan pada mereka untuk pelan-pelan menghapus memori buruknya tentang laki-laki. Di lain sisi kita juga memerlukan sosok pria yang dapat mendominasi Gia agar sikapnya bisa lebih lembut dan nantinya akan lebih mudah melebur. Tapi tentu saja Bu Wulan wajib memastikan bahwa laki-laki tersebut memang laki-laki yang baik karena kalau tidak mungkin kondisi Rea akan semakin buruk." Jelas Dokter Dita.

Dalam perjalanan pun, Rea dan Bu Wulan tenggelam dalam kemungkinan dari saran Dokter DIta tersebut. Sebagai ibu tentu saja Bu Wulan sangat setuju sedangkan Rea sebaliknya. Bu Wulan segera menelpon Pak Estu dan memintanya segera pulang untuk membicarakan hasil dari pertemuan rutin mereka. Setibanya di rumah, Rea memilih langsung masuk ke dalam kamarnya. Baru saja membuka pintu, siapa sangka Gia sudah disana. Menatap tampilannya di cermin.

"Cupu banget sih Rea. Menyedihkan!" Umpatnya tiba-tiba.

Membuka lemari. Mengambil satu buah celana jins sobek favoritnya, sebuah kaos kedodoran berwarna putih, juga satu buah jaket kulit hitam. Mengikat rambutnya ke atas dan mengambil kunci motor kesayangannya. Langkah kaki berderap menuruni anak tangga, sang mama otomatis menoleh. Tentu saja dari cara jalan yang serampangan juga penampilannya, Bu Wulan tahu itu Gia, pribadi lain anaknya.

"Gia kamu mau kemana?" Bu Wulan sampai harus sedikit berteriak karena Gia hanya melewatinya begitu saja.

"Apaan sih pake teriak segala? Mau ke dapur doang gua ambil makanan di kulkas." Jawab Gia yang tentu saja adalah Rea.

"Ya kok rapi banget tuh pake bawa kunci motor." Bu Wulan masih berusaha lembut. Walau Gia ini tidak sopan padanya, bagaimanapun sosok ini adalah anaknya dan untungnya Gia masih cukup baik padanya. Sedangkan pada sang papa alias Pak Estu dia akan selalu memberontak.

"Ya biasa mau ke tempat tato habis ini. Banyak klien nungguin hari ini." Jawab Gia sekenanya dan pergi mengendarai motor besarnya. Hanya deru knalpotnya saja yang bahkan nyaring hingga ke dalam rumah.

Sang ibu mengelus dada, melanjutkan lagi kegiatannya dengan jus jeruk dan biskuti di hadapannya. Masih berkutat dengan ponselnya. Mengirim pesan pada teman-teman sosialitanya. Terkadang tertawa sendiri. Hingga sang suami pulang bahkan terabaikan karena Bu Wulan terlalu fokus.

"Ma, astaga serius banget sih papa dateng dicuekin." Pak Estu sudah menepuk pundak istrinya itu.

"Eh papa, maaf pa. Mama asik ini barusan sama temen-temen." Bu Wulan meletakkan ponsenya di atas meja.

"Terus jadinya gimana? Ada apa kok papa sampe harus pulang sekarang? Untung aja gak banyak kerjaan tadi." Pak Estu duduk di sebelah sang istri merenggangkan dasi yang dikenakannya.

Bu Wulan menceritakan singkat pertemuannya dengan Dokter Dita tadi.

"Gimana kalo papa cariin Rea suami?" Tanya sang istri.

"Hah? Suami?" Pak Estu terkejut karena permintaan sang istri yang tiba-tiba.

"Yak coba deh papa pikir ya. Kita kan emang harus fokus sama pengobatan papa sekaligus Rea. Selama ini kita nunda terus keberangkatan kita ke Singapore karena kita khawatir sama Rea. Jadi mama rasa kita perlu carikan Rea suami pa, yang bisa jaga Rea selama kita gak disini. Rea juga udah dewasa, umurnya udah cukup untuk menikah." Terang Bu Wulan.

"Kenapa gak Rea kita ajak aja ke Singapore? Dia kan bisa berobat disana." Tanya Pak Estu.

"Kan kita sudah tanya pa tapi Rea yang gak mau karena ngerasa udah cocok sama Dokter DIta. Dia juga khawatir kalo Gia bakal berontak malah berakhir kabur." Jawab sang mama.

"Ya terus Rea mau kita nikahin sama siapa ma? Dia kan belum ada pacar." Tanya Pak Estu.

"Papa nih gimana sih. Kan papa punya anak buah banyak di kantor. Papa bisa cari salah satu anak buah papa yang terbaik." Bujuk sang istri.

"Ya, sebenernya papa juga ada rencana sih untuk cari penerus papa jadi CEO." Jawab sang suami santai.

"Lah ya itu kebeneran sekalian. Papa bisa cari CEO penerus perusahaan papa sekalian suami buat Rea." Jawab Bu Wulan.

Pak Estu nampak berpikir sejenak lalu mengangguk-angguk sendiri.

"Ok deh. Papa akan coba cari kandidatnya. Nanti biar dibantu Bu Ifa sama mama juga." Pak Estu akhirnya setuju.

Tentu saja mereka juga menyepakati syarat dan ketentuan lainnya untuk memastikan anak mereka mendapat suami yang sesuai. Memang rasanya kejam akhirnya membiarkan sang putri menikah dengan perjodohan. Tapi untuk saat ini yang terbaik adalah kesembuhan bagi Rea juga Pak Estu.