webnovel

Kami adalah Aku : Epiphany

Jin begitu tertantang ketika CEO di perusahaannya bekerja, Pak Pangestu tiba-tiba mengadakan serangkaian tes untuk mencari seseorang yang dapat menggantikannya di posisi CEO sekaligus menjadi suami dari putri satu-satunya Rea. Tidak sendiri, Jin bersama tiga orang lainnya memperjuangkan posisi yang sama. Tapi bukan itu masalahnya, yang terjadi adalah setelah berhasil terpilih menjadi CEO juga menikah dengan Rea, Jin harus berkompromi dengan dua pribadi Rea yang lain yaitu Gia dan Uri. Ya, Rea mengidap gangguan kepribadian disosiatif atau orang awam biasa menyebutnya berkepribadian ganda. Apakah Jin mampu menjalani hidupnya sebagai seorang suami? Apakah Rea bisa menyatukan kedua kepribadiannya dan memulai hidup normal lagi?

Priminie · Urban
Not enough ratings
327 Chs

Gelisah

Jin sedang duduk di teras rumahnya seperti malam lainnya. Menyeruput kopi susu buatan sang ibu. Duduk berseberangan dengan ayahnya yang sibuk merakit alat pancing. Beberapa kali menyapa tetangga yang lewat, entah bapak-bapak, ibu-ibu, bahkan anak kecil hampir satu RT disana mengenal Jin karena pribadinya yang ramah tentu juga tampan. Beruntung walau bukan keluarga kaya raya, Jin yang masih memiliki sedikit darah Korea dari neneknya, memiliki kulit bersih seputih susu. Wajahnya juga tampan dengan tubuh tinggi walau kurus tapi pundaknya lebar persis seperti bapaknya.

"Serius banget sih pak? Mau mancing lagi?" Tanya Jin pada ayahnya yang merupakan pensiunan karyawan swasta yang sekarang sibuk mengisi hari tuanya dengan memancing.

"Ya, besok pagi-pagi banget mau berangkat sama temen-temen bapak ke laut." Jawab sang bapak yang dibalas anggukan oleh anak bontotnya itu.

Memperhatikan sang anak yang nampak gelisah dan banyak melamun malam itu.

"Kenapa kamu kok kayanya banyak pikiran?" Tanya ayahnya atau yang terkenal dengan nama Pak Joni. Pria yang sudah kepala lima itu bertanya.

"Haha. Egak pak. Eh iya juga sih. Hehe. Sebenernya emang lagi ada yang dipikirin." Jin mulai bercerita.

"Ada apa sih? Cerita aja sama bapak. Masalah kerjaan? Apa perempuan?" Tanya Pak Joni.

"Dua-duanya kayanya sih pak." Jin pun menceritakan tawaran dari bos nya siang tadi.

"Jadi ya gimana ya pak. Bingung juga aku tuh ngerasa kaya iya atau egak gitu. Takut nanti aku salah langkah dan buat semuanya jadi berantakan." Jin meragu.

"Ehem ehem." Sang ibu tiba-tiba sudah muncul dari balik pintu.

"Lah ibu?" Jin bersama dengan sang ayah sama-sama kaget karena Bu Utari sudah muncul dari balik pintu.

"Bikin kaget aja tau-tau udah disitu." Pak Joni ikut protes.

"Emangnya ibu gak boleh ya disini? Ibu kan juga mau ngobrol sama anak dan suami ibu." Kata Bu Utari.

"Ya boleh sih." Pak Joni tersenyum melihat istrinya itu.

"Emang bener semua omongan kamu tadi? Kamu mau ikut tes buat jadi bos sama nikahin anak bos kamu?" Bu Utari memastikan pendengarannya.

"Ya bu, kurang lebih sih gitu." Jawab Jin.

"Ya itu masih tes kan? Kalau kata ibu sih, udah jalanin aja. Kan ada kemungkinan lolos dan egak. Kalau egak ya udah anggap aja pengalaman. Dan kalau misalnya nih misal sampe lolos ya berarti itu emang rejekinya kamu yang harus dipertanggungjawabkan." Bu Utari yang memang lembut itu selalu sukses membuat Jin merasa lebih tenang.

"Iya bu. Ya aku sih emang mau coba. Aku cuman mau denger pendapat bapak sama ibu. Ya anggap aja aku minta restu bapak ibu." Kata Jin mengcium tangan ibu nya.

"Kalau kamu lolos, berarti kamu bakal punya istri dong? Wah, ibu sudah gak sabar." Bu Utari mulai mengkhayal.

"Bu ibu, jalan masih panjang bu." Respon Jin pada ibunya yang memang sudah mengharapnya menikah sejak beberapa bulan lalu anya demi membungkam para tetangga.

"Ibu itu capek nak. Capek jawabin pertanyaan ibu-ibu RT sini. Setiap kali ibu-ibu lain datang kesini dengan alasan minta jahitin baju ke ibu pasti nanyain kamu. Belum nanti belanja ke abang sayur terus ketemu ibu-ibu lain ya kamu juga yang ditanyain. Mereka maunya kamu jadi mantu mereka. Eh kamunya selalu nolak dengan alasan mau fokus kerja." Celoteh sang ibu yang menurut Jin sangat lucu.

"Bagus dong bu. Berarti kan anak ibu ini emang cakep. Makanya jadi menantu idaman sekompleks Kampung Jambu." Goda Jin yang dijawab tawa ayahnya.

"Ah kamu ini bercanda mulu. Tapi ibu jadi penasaran kenapa kali ini kamu mau coba tes itu? Kamu emang suka sama anak bos mu itu?" Sang ibu penasaran juga akhirnya.

"Pikir aja sendiri." Jin tertawa dan memilih masuk ke kamar.

"Lah gimana sih nih anak ditanyain main nyelonong aja. Jin! Eh Jin!" Tanya ibunya.

"Udah lah buk biarin aja." Pak Joni coba menenangkan.

Jin menghubungi teman kampungnya yang punya usaha warung angkringan. Sepakat akan berkunjung ke warung temannya itu yang berada di daerah ramai di Pisang Jajar. Setelah pamit pada orangtuanya menaiki motor bebeknya berkendara sekitar 10 menit di tengah Kota Jakarta yang ramai. Jin memang biasa membantu di sana kalau senggang. Entah hanya sekedar membuat minuman atau sedikit bersih-bersih walau temannya, Suga selalu melarangnya. Suga hanya nama keren saja karena nama aslinya adalah Agus dan kebetulan dia berasal dari Kota Malang yang biasa menggunakan kata kebalikan itu kenapa dia memanggil dirinya Suga.

"Hei bro." Jin memarkirkan kendaraannya dan berteriak seperti biasanya. Siapa sangka sedang ada pelanggan di sana. Perempuan cantik dengan penampilan eksentrik. Melotot padanya karena suaranya yang cukup membuatnya yang sedang makan terkejut.

"Hm, sorry. Hehe." Jin minta maaf.

"Sendirian aja lu bro?" Tanya Jin dengan suara sedikit lebih pelan sekarang.

"Lu ngledek apa gimana sih? Kan tiap hari juga sendiri." Jawab Suga.

"Hahaha. Serius amat sih." Jin duduk saja disebuah bangku kosong. Tak sengaja matanya menatap lagi perempuan yang dilihatnya saat masuk tadi. Sungguh dia tak memiliki maksud apapun. Tapi seorang perempuan seorang diri makan di warung kaki lima semalam ini bukan pemandangan yang sering dia lihat disini.

"Apaan liat-liat? Laper lu?" Tanya si perempuan yang sepertinya tahu sedang diperhatikan membuat Suga menahan tawanya.

"Ah egak-egak. Silahkan dinikmati aja makanannya neng." Jin mengalihkan pandangan dan melotot menatap Suga yang masih menahan tawanya.

Tidak mengatakan apapun lagi setelah beberapa saat perempuan itu berdiri segera membayar makanannya.

"Makasih ya neng Gia." Jawab Suga melihat Gia memberinya uang lebih sebagai tip. Kebiasaan yang memang selalu dia lakukan.

Gia dengan sangarnya pergi mengendarai sepeda motor besarnya meninggalkan warung angkringan tersebut.

"Eh siapa sih?" Tanya Jin tentu saja penasaran.

"Gia, seniman artis di sono noh perempatan jalan. Dia emang langganan disini. Makanya gua ngerti namanya. Kenapa kepo lu? Jangan bilang lu naksir ya, bukan cewek gampangan." Pesan Suga.

"Ah elah. Baru liat sekali doang udah dibilang naksir. Langka aja gitu jaman sekarang ada cewek cantik mau makan warung kaki lima begini." Puji Jin.

"Eh ngadi-ngadi lu. Warung angkringan gua boleh kaki lima tapi rasa bintang lima cuy." Kata Suga.

"Ya iya aduh baperan amat sih jadi cowok lu! Tampol juga nih!" Jin berkomentar.

Tak lama dua orang pelanggan tiba-tiba memasuki warung.

"Ada orang tuh. Gua layanin mereka dulu." Kata Suga.

"Ya udah gua bantuin lu kaya biasa ya?" tanpa persetujuan Jin langsung saja membersihkan sisa makanan dari perempuan yang dia ketahui bernama Gia tadi. Melihat ke jalanan malam yang masih ramai.

"Siapa sih tuh cewek? Bikin penasaran aja." Batin Jin.