Emak memasak segala macam masakan yang tiap setahun sekali sore ini, dibantu kakak. Bapak menyiapkan bambu untuk membuat lampu agar dipasang di teras depan sebagaimana kebiasaan yang turun-temurun, kadang ia bergantian dengan abang.
Adik dan anak-anak seusianya tidak sabar menunggu magrib untuk menghidupkan lilin yang lima hari lalu ia pilih saat ikut belanja ke Pasar Senin dengan emak. Dia selalu memilih lilin empat warna: merah, putih, hijau dan biru, pun beberapa bungkus petasan. Ingin sekali ia meledakkannya di depan rumah bersama teman-temannya, tapi mengingat tempo hari pernah dikejar emak pakai sapu, nyalinya ciut.
Bambu yang tadi siang mereka ambil dari tepi gunung telah siap siaga di lokasi tempur. Jarak antar dua kelompok tidaklah lebih lima belas meter. Kedua meriam bambu saling berhadapan. Meriam bambu telah diisi dengan minyak lampu, tukang ledaknya bergantian. Yang mampu meniupkan angin berkali-kali ke mulut meriam bambu telah mendekat duluan. Aturan perang cuma satu: jangan meletakkan batok kelapa dan semacamnya di ujung mulut meriam!
Tidak ada aba-aba harus serentak, kedua kelompok perang berlomba-lomba siapa yang duluan membunyikan meriam, yang kalah dalam pertempuran ini adalah yang meriam bambunya pecah ataupun minyak tanahnya habis duluan.
Kalau salah satunya telah kehabisan minyak tanah, mau minta minyak ke rumah sendiri juga takut diomelin emak, maka mereka gabung ke kelompok satunya lagi. Kadang ada juga yang sukarela memberikan uang jajannya untuk minyak tanah, sesekali mereka arahkan ke kali Alas sana.
"Allahu Akbar!" Pak imam memulai takbir rakaat pertama shalat terawih.
"Dhus! Dhas! Dhum! Dham! Dhukh!" Disambut suara meriam bambu.
"La ilaaha illallah, kek mana kin ributnya pun klen situ!" ucap yang belum takbir menggelengkan kepala. Padahal ia tahu suaranya tak bakal dapat didengar oleh kelompok yang sedang bertempur sebab jarak mereka tiga puluh tujuh meter jauhnya dari masjid, dua puluh tujuh meter dari kedai kopi.
Ada pula yang ugal-ugalan, ingin mengarahkan moncong meriam bambu itu ke arah warung kopi dan masjid, namun dihalangi teman yang emaknya paling keras mengomel.
"Wih, janganlah woe! Kenak marah nantik kita da. Klen kira aku dikasih mamakku masuk rumah nanti abis ni?"
"Betul tu, marah pulak nanti pak ustadz. Kau ni ada-ada aja otakmu! Putar lagi balik arah timur!"
Kalau masih membandel dan nyali besar bakal adu jotos! Andaikan meriam bambu itu tidak pecah di malam pertama ramadhan, maka besok malam kedua kelompok perang itu datang lagi. Meriam itu disembunyikan di tempat rahasia agar tidak ada yang melihat dan memecahkannya. (Ramadhan 2005)
***
Bagi mereka yang tidak punya kesibukan pergi kemana hendak hati hingga senja nanti. Ada yang menjenguk anak di pesantren, ada yang ke Pante Dona, Ketambe, Pante Barat, Bukit Cinta dan ke sungai Alas yang belum dilabeli dengan kata "Pante", biasanya yang tidak jauh dari rumah.
Mereka yang rumahnya di bagian timur sungai pergi ke arah barat yang di barat pergi ke arah timur, bertemu di tengah yaitu sungai Alas yang mengalir dari hulu ke hilir sepanjang Aceh Tenggara hingga ke laut sana, jauh pastinya! Atau di sungai yang bukan Alas, biasanya adalah air yang mengalir dari gunung ke desa. Istilah mandi ini disebut sebagai, "Khidi Meugang" oleh masyarakat Aceh Tenggara.
Magrib hampir tiba, semuanya datang untuk berkumpul di rumah. Jembatan Pante Dona yang tadi dipadati dan ditumpuki oleh warga kini telah mulai sepi, pulang ke rumah masing-masing sebab mereka tahu bahwa makan malam ini haruslah bersama keluarga, tak elok makan sendirian di rumah makan apalagi di rumah teman. Tidak satu pun yang berhalangan, lengkap, begitu pun abang-abang yang telah menikah. Anak-anak dan istrinya mereka bawa ke rumah ayah. Tikar baru terkembang memanjang yang dipadati hidangan. Tidak hanya nasi, lauk pauk dan minuman, juga tersirat harapan kehidupan dan lengkap berkumpul bersama lagi di tahun mendatang. Sesudah jamaah magrib, ayah memimpin dzikir, shalawat dan doa kemudian makan bersama.
Lembakhu alias pengantin baru duduk menunduk malu-malu. Makanan di hadapannya tak kuasa ia raih sehingga istri tercinta mengambilkan untuknya. Dia sengaja tidak banyak makan sebab nanti bisa saja ia diajak pegawai kenduri yang membawanya keliling, tentu tuan-tuan rumah akan memaksanya makan walaupun sebongkah Gutel atau Lepat.
Tidak hanya lembakhu, pegawai kenduri juga membawa satu hingga dua bodyguard. Untuk apa? Tentu saja bukan untuk menjaganya dari mara bahaya melainkan membantunya menyantap hidangan tetangga. Sengaja dipilih orang yang perutnya tidak mainstream, yang diajak ialah yang kuat makan. Apalah dikata nanti oleh tuan rumah jika tamunya tidak makan? Tuan rumah merasa tak dapat berkah. Maka dari itu pegawai kenduri tidak mau kena imbas emak-emak, dia bawalah si Fadli dan Fajkhi.
"Nanti klen makannya jangan banyak-banyak kali. Bukan tuan rumah tak kasih, tapi yang kita datangi ni belasan rumah. Pahamnya klen maksudku ni?"
"Paham, Bambkhu."
Meskipun tuan rumah tahu tamunya telah keliling, telah singgah di rumah si fulan dan fulan, setelah do'a tetap saja disuruh makan.
"Makanlah, Tengku, tak banyak sedikit pun boleh. Janganlah takut, Tengku, aku bukan pekhacun, Tengku." Kalau tuan rumah sudah berkata begitu, tengku pegawai dan bodyguard-nya tidak mampu lagi mengelak, segera ia mengambil hidangan.
Andaikan ucapan itu tidak diucapan tuan rumah, sebisa mungkin tengku pegawai bakal menolak tawaran tuan rumah,
"Bukan begitu, Ame Polan, perut kami ni dah tak muat lagi, dah penuh kali pun."
"Ya sudah, makan satu Lepat aja lah, Tengku." Makanya tengku pegawai beberapa kali memberi peringatan ke bodyguard-nya saat hendak masuk ke rumah yang pertama kali, "Jangan lahap kali nanti. Mengerti?"
"Mengerti, Bambkhu."
(Ramadhan 2010)
***
Nun jauh di Afrika bagian utara sana, Darrasah dan Gamaliyah nama wilayah itu, adalah hal yang sama dirasakan oleh umat manusia yang beriman. Momti dan ukhti sedari tadi sibuk di dapur. Mereka memasak tiga kilogram frekh/ayam, dua kilogram lahm/daging, menanak beras basmati/hadhramaut, memasak makaroni, ruz billaban/nasi dengan susu, membuat halawiyat/manisan, mengolah salathah/acar khas Mesir, menggoreng tha'miyah,
menumbuk mulukhiyah/secara lokal tumbuhan ini dikenal dengan nama jute, yute atau dikenal sebagai bayam yahudi atau bayam Mesir.
Ukhti-Ngah membeli Na'na'/daun mint di tempat Haggah Batthah yang tiap hari buka dari bakda zhuhur hingga bakda isya.
Baba dan akhuya menggantung fanous-fanous besar, adapun fanous-fanous kecil adalah hadiah kepada orang yang dicintai. Seperti suami kepada istri, habibi kepada habibati. Boleh juga akhi kepada ukhti.
Lampu warna-warni, kertas-kertas, pelastik, dan potongan-potongan kecil dari kain yang banya warna melintang antar gedung satu dengan lainnya.
Anak-anak kecil berlari ke sana kemari sembari bernyanyi, "ramadhan bukrah!" ramadhan esok. Bapak-bapak di warung kopi yang mendengar petasan meletus, sudah lebih tiga kali mereaka terkejut, "ramadhan gieh!?" ramadhan tiba!? Syai/teh di depan seorang bapak yang paling tampak tak bahagia hampir saja tumpah.
Dari tadi ia melamun, merenung, murung, tampak sekali ia sedang bersedih. Gara-gara Mesir tidak lolos Piala Dunia Qatar 2022. Mesir telah mengalami double kill oleh Senegal dengan jarak waktu kurang dari dua bulan.
Mosalah yang tidak sempat mendapat giliran adu penalti di Piala Afrika lawan Senegal Januari lalu, kali ini ia yang dapat giliran eksekusi pertama. Namun sayang sekali sepakannya melayang jauh di atas mistar gawang Edouard Mendy. Mosalah benar-benar merasa bersalah. Dia tampak oyong begitu keluar dari lapangan, kita pun jadi ikut kasihan. Suasana penonton sunyi, tidak ada teriakkan lagi. Begitu penonton hendak bubar dari warung kopi setelah usai pertandingan, kaki terasa berat dilangkahkan, betis seperti tidak bertulang, dada terasa sesak, ingin menangis terisak-isak.
Media-media Mesir membagikan foto-foto pemain yang wajahnya kena laser, pun Mosalah. Yang belum bisa menerima kekalahan menjawab di kolom komentar, "Pertandingan harus diulang!" Yang merasa terlukai oleh Timnasnya berujar, "Andaikan aku dikasih 340 Pounds, aku bakal dukung Senegal!"
Adapula yang berkomentar, "Jangan lagi kau datang ke Mesir untuk bertanding!" di kolom komentar Instagram Mosalah. Bagitulah netizen, kalau lagi bangga pujiannya bukan main, tapi kalau sedang kecewa luar biasa kasarnya!
Televisi sejak bakda ashar tadi telah dihidupkan, menanti pemgumuman satu ramadhan oleh Darul Ifta, tahun ini agak lambat dibanding tahun sebelumnya. Saluran BBC telah akan menayangkan musalsal tahunan bergenre komedi yang diperankan Donia Samir Ghanim, dan bergenre action diperankan oleh Muhammad Ramadhan-aktor yang kalau di musalsal dielu-elukan masyarakat Mesir, disanjung banget sebab peran aktornya hebat sekali! Tapi kesehariannya penuh dengan hujatan karena kadang ia sering melakukan pamer kekayaan di sosial media, ucapannya meninggi. Dan acara yang paling ditunggu tentu saja acaranya si Ramez Galal yang suka ngerjain orang itu. Bikin ketawa tetapi ada juga yang tidak setuju, mengganggap candaan Ramez terlalu serius! Ekstrim!
Speaker-speaker mengeluarkan bunyi nyanyian Ramadhan Ganna dan Ramadhan Karim. Satu sama lain saling memberi ucapan, "Kullu sanah wa enta thayyib." semoga kebaikan menyertaimu setiap tahun (atau makna yang sama seperti mohon maaf lahir dan batin) saat bertemu di jalan dan di mana saja. Mulai dari lingkaran keluarga bahkan saudara seiman, sebangsa ataupun siapa saja. Syantah ramadhaniah/bingkisan ramadhan pun diberi dan diterima.
Khatib/tunangan ukhti juga diajak baba makan malam bersama sebab ia telah dianggap separuh dari bagian keluarga kami. Sebenarnya yang mengajaknya berkali-kali lewat telepon itu ialah ukhti. Tentu baba dan mama bakal malu sekali jika mereka tidak jadi menikah sebab tetangga dan sanak saudara semuanya telah tahu mereka tunangan. Al-Fatihah pun sudah dibacakan, mahar telah dipatokkan, syaqqah/شِقَّة/flat telah disediakan, barang-barang rumah telah dibelikan, gaun pengantin telah disiapkan, tanggal menikah pun telah ditentukan.
Adapun barang-barang rumah seperti tallagah/kulkas, ghassalah/mesin cuci, kompor gas, dan sebagainya diisi oleh abuya ukhti. Begitu kesepakatan kedua keluarga. Ketika barang-barang rumah itu diantar dari toko dengan Naqel/mobil angkutan semacam pick up, ukhti girang bukan buatan! Kedua calon keluarga telah menyiapkan segalanya, tinggal ijab qabulnya saja.
Seusai walimah nantinya kehidupan rumah tangga siap dimulai karena telah dari jauh hari punya properti. Jika batal, ukhti pasti merasa terpukul sekali, ia akan berkata-kata: yalahwi berkali-kali. (Kalimat yalahwi/biasanya diucapkan saat mendapat kabar buruk atau musibah, juga saat terkejut/kaget) Terlebih betapa ukhti cinta mati pada calon suami. Keduanya telah akrab saling sapa dengan kalimat: Bathatthi بطتطي
Kalimat "batthah" lebih dominan diucapkan oleh lelaki kepada perempuan. Biasanya laqab "Batthah" ditujukan pada mereka yang badannya berisi, agar selamat dari kata "gemuk" apa ya? Bergizi kali ya. Untuk laki-laki tinggi kekar dan berisi laqabnya Abu Gabal, untuk perempuan syarat gizi laqabnya batthah. Tapi istri pada suaminya yang berisi juga kadang manggil, "batthatti"
Akhuya yang paling besar sejam lalu diperintah baba membeli 'isy dan ful di mahalli Ammu Kamboudi untuk malam ini dan bekal sahur jam tigaan nanti pagi, tetapi ia belum kembali. Barangkali akhuya bertemu teman tongkrongannya si Mansi.
"Yal wad, kunta fein yadh? Thithla' badri min zaman wa taakhar ketir awi keda leih yabni?" Kau lagi dimana ha? Pergi dari tadi tapi kok lambat kali?
"Ma'laiys yaba, hak-ak alai, elmahal bita' Ammu Kamboudi zahmah awii yaba." Maaf, Ayah, aku salah, tempat paman Kamboudi sesak kali, Yah.
"Zahmah? Balasy kaddaab yabnil ka*b! Ikhlash Yadh! Ihna mustannik!" Sesak? Jangam bohong! Cepat! Kami lagi nunggu kau ni!
"Hadir yaba!" Oke, Yah.
Biasanya kalau sudah telat begini baba bakal dharb alaih bil gazmah/الجزمة sih, hansyuf ba'din ya akhi Fathi. Bakal dilempar dengan sepatu sih, kita lihat aja nanti ya bang Fathi.
Masyayikhina, mu'allimuna wa maulana sedang mensyarah dars di madhyafah/tempat ngaji depan hadirin penuntut ilmu, mereka yang hadir talaqqi, pelajar-pelajar azhari.
Bagi mereka yang tidak punya kesibukan, masih di jalan dalam kendaraan, menumpuk di tepian pantai Alexanderia, menunggu senja di pesisir Damietta, ngadem di dalam flat-flat yang dari luar terlihat kelabu karena debu namun dalamnya bak singgasana ratu (rumah orang kaya aja sih, yang sederhana ya biasa aja) duduk di kedai kopi dan memadati Khan el-Khalili.
Ada juga yang keluar rumah seminggu tiga sampai empat kali saja. Selebihnya di rumah. Bekerja dari rumah, menyibukkan diri dengan membaca buku/kitab, menonton, mengedit vidio, nge-War di Omlet Arcade, belajar membuat animasi, Zoom meeting, menambah vocabularies dari bahasa yang sedang ia tekuni semisal bahasa Ibrani, menghafal, mendengarkan pengajian, menulis, nerjemah, olahraga di sutuh, dan rutinitas apa saja yang bisa dilakukan di rumah, pun memasak.
Sebagian orang yang mengenalnya menganggapnya tidur 24 jam, padahal tidak, dia tidurnya normal juga, sama seperti orang-orang yang punya dua mata yaitu empat hingga enam jam sehari. Tidak pernah tidur hingga sepuluh jam. Bahkan kadang dia malah hanya 4 jam sehari. Tetapi memang demikian, orang-orang yang suka keluar rumah menganggap yang di rumah tidak berbuat apa-apa, padahal di zaman ini banyak sekali para kereatif yang memiliki kreativitas justru mereka yang waktunya lebih banyak di rumah.
Namun apa pun itu, dalam hal ini yang suka keluar rumah memang lebih disenangi tetangga daripada asyik di rumah saja. Meskipun tetangga yang suka keluar umah itu juga betah berhari-hari di rumah tatkala ia libur ngantor. Ya begitulah, kadang kita suka mengatai orang lain yang juga ada pada diri kita sendiri.
Pak Imam setengah jam lalu masuk masjid. Dia menyalakan lampu dan AC, menghidupkan radio saluran qari bersanad, lalu duduk di pojok, terkadang di dekat sajadah imam, ia membaca al-Quran. Sesekali matanya melihat ke jam dinding sebab tidak bawa hp dan jam tangan, kira-kira satu menit sebelum adzan ia akan mendekat ke mikrofon kemudian mengumandangkan adzan.
Dia telah sepuh. Jalannya hampir membungkuk, suaranya serak, tetapi jamaah segan mengganti mua'dzin sebab tak enak hati, hormat pada yang tua/ragil kebir. Lagipula jamaah telah terbiasa mendengar suaranya, kalau diganti bakal ada sesuatu yang terasa hilang dan dirindukan. Alasan paling tanpa perdebatan ialah khawatir tidak ada yang serajin dan seistiqamah dirinya.
Kalaulah sampai beliau tidak datang
ke masjid, ammu Ridha bakal nanya,
"Ya, Hag Hamada, entu fein ya hag? Wallahil azhim wahesnak ya, Hag!" Pak aji Hamada, Anda di mana duhai pak haji? Kami rindu kali samamu, sumpah!
Nama lengkapanya Muhammad Mahmud Muhammad. Tetapi biasan dipanggal Hamada sebab memakai nama Muhammad. Dia belum haji tetapi dipanggil pak haji sebagai bentuk penghormatan kebiasaan bertutur sapa, ucapan adalah doa. Sebenarnya namanya hanya muhammad saja. Mahmud adalah nama ayahnya, muhammad nama kakeknya, lalu ayahnya memberinya nama muhammmad, juga. Terlihat betapa negeri ini mencintai sayiduna, nabiyuna, qudwatuna Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.
"Allahu Akbar Allahu Akbar" kalimat itu terdengar kukuh, makhrajil hurufnya belum rapuh, bunyi 'hayya alal falah' tidak runtuh, dan kerja sama antar gedung memantulkan suarannya bagaikan gemuruh. Kadang lagi adzan berkumandang, di gang rumah kami ada pula yang sedang gaduh.
Suara pak imam menghampiri semua telinga di saentero Gamaliyah, tak terkecuali Ammu Sami yang masihi. Menyentuh qalbu mukmin, menjangkau jendela-jendela rumah yang mulai dibuka karena musim panas hampir tiba. Jendela-jendela itu telah tutup sejak awal musim dingin bulan desember tahun lalu, membangunkan Abu Gabal yang sedang tidur pulas di lantai sepuluh dari bakda subuh sebab ia piket malam di gerbang masuk Babul Futuh.
Ramadhan karim, Syahru shiyam, syahrul hayah. Ramadhan mulia, bulan puasa, bulan kehidupan. Selamat menunaikan ibadah puasa.
Besok adalah bulan kehidupan. Tidak ada lagi yang kelaparan karena tidak dapat membeli makan. Besok semuanya bisa memilih makan daging atau ayam, silakan duduk manis di kursi-kursi kosong yang berjajar -jajat di tepi jalan, atau berdiri di barisan antre. Biasanya maidaturrahman baru ada di hari kedua.
Ramadhan karim, ramadhan gannah, ramadhan bukrah. Ishha naim wahidid daim. Ramadhan mulia, ramadhan surga, ramadhan esok, bangunkanlah yang tidur dan Esakanlah Yang Maha Kekal/berdzikirlah pada Allah.
"Ishha ya, Gama'ah! Ishha! Ishha! Ishha naim wahidid daim! Ramadham karim!" Bagun duhai sekalian! Bangun! Bangun! Bangunlah yang tidur dan dzikrullah, ramadhan mulia!-seseorang berkeliling membangunkan penduduk Gamaliyah dan sekitarnya untuk sahur, ia memukul thablah/canang di gang-gang rumah.
"Shahin ya, Basya!" jawab Ammu Arabi dari lantai tiga.
Sudah pada bangun duhai anak muda!
Berbahagialah duhai hati yang lapang nan terang. Semoga kita senantiasa istiqamah beribadah berjamaah. Min awilha ila akhiriha, dari hari pertama hingga terakhir nantinya.
Mesir sudah terasa seperti negeriku sendiri. Hampir tidak ada yang aku tidak suka dari negeri ini. Kelak bakal banyak hal yang kurindukan, tak terkecuali suasana bulan ramadhan.
Jika nanti anak cucuku bertanya padaku, "Oh ya, Pak E/Oh ya, Kek, seperti apa sih Mesir itu di mata Pak E/kakek?"
Aku bakal jawab, "Mesir adalah negeri yang memerintahkanku agar selalu mengingat-Nya, negeri yang mengajakku memperbanyak shalawat kepada Rasul-Nya, negeri yang mengajarkanku mencintai al-Azhar dan ulamanya, negeri para nabi dan auliya' negeri al-Qur'an, negeri yang mencontohkan padaku berbagi antar sesama, negeri ramadhan karim. Begitu Nakku/Begitu kempuku." Kempu juga berarti cucu menurut bahasa daerah Aceh Tenggara. Semoga jawaban itu tidak terkesan berlebihan di benak pembaca.
"Oh begitu. Luar biasa ya, Pak E/Luar biasa sekali, Kek!"
Kelak hal apa yang bakal membuatku ingin sekali berkunjung lagi ke negeri ini? Tentu saja bukan hanya karena rindu pada Al-Azhar, tabarukkan ke makam-makam ahlul bait dan auliya', bukan hanya karena ingin memberi sedekah kepada yang membutuhkan dengan mengulurkan tisu di jalan, bukan hanya karena ingin melihat lantai tujuh tempatku berteduh, juga bukan hanya tempat-tempat wisatanya yang menawan. Melainkan juga nostalgia Darrasah di bulan ramadhan, bulan qur'an, bulan iman. Sungguh terasa betul nuansa iman dan islam di negeri ini, pun di negeriku Indonesia tentunya. MasyaAllah.
Sungguh aku akan menitikkan air mata haru saat langkah pertamaku menapak di Darrasah di tahun itu nantinya. Ya Rabb semoga saja bisa kembali lagi di hari tua. Seperti Buya Darul Iman Aceh Tenggara.
Mesir adalah negeri yang suasana ramadhannya lebih meriah daripada lebaran. Setelah salat idul fitri, turun dari masjid, seakan kemeriahan dan kebahagian di bulan ramadhan berakhir begitu saja. Menutup pintu dan jendela, masih pagi, pejamkan mata dan berlabuh di alam mimpi.
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Shallallahu alaihi Wwasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Maksudnya: "Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan pengharapan, maka akan diampunkan dosanya yang telah lalu." [Riwayat al-Bukhari (38) dan Muslim (760)]
Sekali lagi, Ramadhan Mubarak. Laa hawla walaquwata illa billah. Washallallahu ala sayidina muhammad wa ala alihi wa sahbihi ajma'in.