webnovel

Tiga Pengantin Baru Darrasah

Darrasah adalah nama sebuah area/wilayah yang berada di Kairo. Kampus Al-Azhar sendiri ada di Darrasah. Bukan hanya itu, pun masjid Al-Azhar, masjid Sayidina Al-Husain juga ada di Darrasah. Toko-toko buku banyak di Darrasah. Tiga di antaranya yang banyak dikunjungi Mahasiswa Asing ialah: Darul Ushuluddin, Mujallad al-Arabi dan Dar el-Manar. Ketiga-tiganya berada di depan kampus Al-Azhar Kairo.

Darrasah adalah kawasan pelajar, santri dan mahasiswa. Di Darrasah ada banyak tempat Talaqqi. Tiga di antaranya adalah Madhyafah Syekh Ismail Shadiq al-Adawi, Madhyafah Syekh Said Imran ad-Dah, dan Raudhatun Na'im. Tak jarang guru-guru besar al-Azhar mengajar di dalamnya. Sekarang sudah banyak sekali Mahasiswa Asing, Masisir khususnya-telah bermukim di Darrasah.

Dulu ramai sekali yang mukim di Hayyu Asyir, sekarang Darrasah pun akan mengimbangi jumlah Hayu Asyir. Lagipula sewa rumah di Darrasah tidaklah terlalu jauh bedanya dengan yang di Bawabat dan Hayu Asyir.

Jumlah Masisir saat ini lebih kurangnya sepuluh ribu jiwa. Setidaknya lebih dari seribu orang telah bermukim di Darrasah. Selebihnya di Hayu Sadis, Hayyu Sabik, Hayu Tamin, Bawabat, Gami', Hayu Asyir, Tabbah, Zahra', Rab'ah el-Matarea, el-Marg dan lainnya.

Jamal bin Saifudin kuliah di Fakultas Ushuluddin. Agus bin Salim Fakultas Syariah dan Hukum, dan Ridwan bin Syamsudin kuliah di Fakultas Bahasa Arab. Mereka adalah Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), mereka tinggal di Darrasah. Mereka satu flat di lantai lima, satu rumah beda kamar. Rumah mereka di depan kampus Al-Azhar, tidak jauh dari masjid Mu'adz.

Namun mereka beda daerah. Jamal dari Pidie Jaya, Aceh. Agus dari Nganjuk, Jawa Timur. Ridwan asli Padang Sumatera Barat. Mereka sama-sama sudah lima tahun di Mesir, tahun depan wisuda. Umur pun jampir seperempat abad.

Adalah hal yang lumrah bagi para jomblo membahas soal menikah di umur yang bisa dibilang telah matang. Tak terkecuali mereka bertiga. Sebenarnya bukan hanya mereka saja berada di flat lantai lima, tetapi ada sepuluh orang dan mereka bertiga adalah senior. Tiga sahabat sengaja beda kamar dan bergabung dengan junior agar bisa mengayomi adik-adiknya. Tetapi akhir-akhir ini sering sekali tiga sahabat itu mengumpul bertiga di kamarnya Agus.

"Jamal, ente kan udah mapan secara umur dan rezeki. Ente pembimbing jama'ah umrah. Duit ente banyak. Kenapa ente belum berani nikah?"

"Kata siapa ane belum berani nikah? Bentar lagi kok, tunggu aja undangannya. Yang ada ente tuh yang udah ada calon tapi belum mau mengahalalkan."

"Ya ni si Agus nyuruh-nyuruh orang nikah. Dia aja belum." kata Ridwan membela Jamal.

"Ente juga, Wan, katanya bulan depan? Benar nggak tu?" tanya Jamal.

"Mohon doanya saja lah."

***

Jamal adalah pembimbing jama'ah umrah. Setiap libur kuliah ia pergi umrah. Setidaknya setahun sekali. Dia umrah backpacker dari Mesir bersama teman-temannya. Sampai di sana ia langsung dapat job sebab sudah kenal dengan beberapa bos travel di Indonesia. Rezekinya cukup menyakinkan. Paling tidak ia membawa pulang sebesar empat puluh juta selama sebulan di Makkah. Bukan hanya sebagai pembimbing, namun dia juga mendorong kursi roda jama'ah yang sudah tua, yang tidak kuat berjalan kaki dan membadalkan umrah orang lain. Selesai mendorong dia dapat 300 riyal atau satu juta seratus tiga puluh satu ribu rupiah.

Sudah dua kali ia minta nikah pada kedua orang tuanya, tetapi belum diizinkan karena masih tahun kedua dan ketiga kala itu. Dan sekarang dia sudah tahun kelima di Mesir dan tingkat akhir di kuliah. Kebetulan ayahnya juga umrah tahun ini. Setelah melaksanakan umrah, ia pun menghadap ke ayahnya yang sedang duduk di depan ka'bah waktu sebelum subuh.

"Ayah, izinkan aku menikah, Ayah. Aku cinta padanya. Aku khawatir dia dinikahkan orang tuanya dengan orang lain, Ayah." Ujar Jamal meminta izin sembari mencium tangan ayahnya.

Tampaknya ayahnya luluh. Disapu-sapunya punggung anaknya Jamal.

"Pulang dari umrah ini, silakan menikah, Anakku. Nanti ayah tambah biaya."

"Tidak perlu ayah keluar duit. Tabunganku saja cukup insyaAllah. Tapi kalau tidak memberatkan, aku tidak mungkin menolak pemberian, Ayah."

"Juga tidak mungkin dan tak pantas rasanya kalau ayah tidak bantu biaya pernikahanmu, Jamal. Pulanglah ke Mesir dan menikahlah dengan orang yang kamu cintai. Siapa namanya, Jamal?"

"Rini, Ayah."

"Orang Malaysia?"

"Iya, Ayah."

"Baik. Tapi setelah menikah kalian harus pulang ke Aceh."

"Baiklah, Ayah."

Selesai umrah itu ayahnya kembali ke Aceh dan Jamal masih menetap seminggu di Makkah, karena belum sampai sebulan. Begitu selesai umrah, dia langsung mengabari Rini dan mereka kembali ke Malaysia. Ayah Jamal tidak setuju menikah dengan gadis Malaysia dulunya karena kekhawatiran ayahnya kalau lah Jamal betah di Malaysia dan tidak mau balik ke kampung halaman kelak. Tetapi karena do'a-do'a Jamal selama dua tahun ini dan izin di depan Ka'bah itulah Jamal dapat restu ayahnya. Adapun ibunya ikut kata ayahnya saja.

Awal kenapa Jamal bisa kenal dengan Rini adalah ketika Jamal jadi pasien Rini di ujian peraktek. Ketika itu Jamal menanam akar giginya yang patah sebab terpeleset di tangga yang baru dipel oleh pembersih tangga, ketika itu Jamal hendak salat Jum'at.

Rini adalah kuliah kedokteran gigi di kuliah Thib Banat kampus Al-Azhar Kairo. Awalnya Rini tidak suka pada Jamal walaupun sudah sering chat via WA. Tetapi ketika kedua orang tua Rini ibadah umrah dan dibimbing oleh Jamal, ketika itu juga Jamal berterus terang pada kedua orang tua Rini. Hal itu pun disampaikan ayah Rini ke Rini. Sejak itu pula lah Rini yakin pada Jamal bahwa Jamal serius. Lambat laun rasa kagum dan suka menyelimuti hati Rini.

Setelah menikah, sebulan di Malaysia dan dua minggu di Aceh, Jamal dan Rini kembali ke Mesir dan menyewa rumah di Darrasah. Tidak jauh dari rumah yang ia tempati sebelumnya bersama Agus dan Ridwan.

Adapun Agus, dia adalah pedagang gamis, dia dropsiper. Gamis yang dia jual bermacam merek. Mulai dari al-Haramain, al-Maghribi, al-Ashili, al-Hasyimi dan juga ad-Daffah. Harga satu gamisnya ia jual seharga 250 ribu sudah termasuk ongkir khusus pulau Jawa. Adapun di luar jawa yang ongkirnya 50 ribu ke atas, maka harga per-pcs adalah 280 ribu. Dan jika ongkirnya lebih murah, maka harga gamisnya tentu lebih murah. Jika membeli dua dapat free ongkir, dan memang ia tidak menerima jika hanya diorder satu gamis saja, sekali lagi: minimal dua.

Untung yang ia dapatkan cukup banyak karena pelanggannya pun banyak, hampir 350 orang. Pelanggan tetap tidak sampai lima puluh orang, namun perorang kadang memesan dua sampai empat kodi. Agus pun menabung.

Sebulan ia mendapatkan untung sebesar 4500 Pounds, atau empat jutaan rupiah. Itu kalau Agus tidak malas, tetapi kadang ia menuruti malasnya, dia tidak mau menerima orderan yang tidak kodian. Secara finansial ia juga sudah mampu menikah dan yakin bisa menghidupi rumah tangganya. Calonnya? Jangan ditanya. Bahkan sebetulnya dialah yang duluan dapat calon daripada Jamal dan Ridwan. Tetapi malah Jamal yang duluan ke pelaminan.

Awal Agus kenal dan jatuh cinta pada calonnya itu ialah ketika hendak Talaqqi bersama Syekh Sidi Fauzi al-Konate di masjid Al-Azhar bakda salat ashar.

Namanya Aina. Dia tinggal di Hayu Bawabat Tiga Ketika itu Aina dari Bawabat hendak Talaqqi di masjid al-Azhar dan singgah membeli kitab di toko buku Darul Ushuluddin. Kitab itu laris hingga sisa satu eksamplar dan sudah dibawa Agus duluan ke kasir.

"Sudah habis." kata penjaganya ketika Aina menanyakan kitabnya. Aina tampak lelah, jalannya terburu-buru sejak dari stasiun bus. Karena Agus kasihan melihat Aina yang kelelahan, ia pun memberikan kitab itu pada Aina.

"Pakai kitab saya saja, Ustadzah. Nanti sehabis Talaqqi kembalikan ke saya tidak apa-apa. Saya bisa menumpang dengan teman."

"Hah, benaran, Ustadz?!"

"Ya benar. Pakai saja."

"Gimana kalau saya beli saja, Ustadz?"

"Jangan. Karena saya juga mau baca kitab ini sehabis ngaji. Lagipula katanya kitab ini sebulan lagi baru ada."

"Oh, ya sudah. Tolong tuliskan nomor WA antum di cover bagian dalamnya ini, Ustadz. Supaya nanti mudah saya mengembalikannya. Kan nggak mungkin saya nyari antum dengan jumlah hadir yang saya lihat sangat banyak seperti hari sebelumnya di halaman Facebook al-Azhar al-Syarif."

Begitu pengajian usai, Agus pulang ke rumah. Dia lupa membuka pesan WA. Bahkan dia lupa dengan kitab yang ia pinjamkan pada seorang mahasiswi. Malamnya setelah salat isya barulah ia aktifkan data hp-nya. Agus membaca pesan masuk dengan nomor baru itu,

"Assalamu'alaikum, Uatadz. Ini saya Aina yang tadi minjem kitab antum. Saya sudah di luar depan masjid, antum masih di dalamkah, Ustadz?" pesan itu masuk seusai magrib.

"Wa'alaikumsalam, Ustadzah. Astaghfirullahal 'adzim... Maaf banget Uatadzah. Saya lupa. Baru ngatifin data ini. Maaf kalau Ustadzah telah lama menunggu tadinya. Adapun kitabnya pakai saja dulu nggapapa. Saya bisa minjam punya teman. Atau tidak dikembalikan juga tidak apa-apa kok, Ustadzah. Syukur-syukur bisa jadi amal jariyah." balas Agus dengan disisipkan stiker menangis dan senyum. Di satu sisi dia merasa bersalah dan dia juga merasa senang. Modus level senior buaya emang!

Terkadang cinta itu bermula dengan peristiwa dan pertemuan sederhana, dan peristiwa saja belum cukup, perlu kenal lebih lanjut. Satu-satunya cara di zaman ini bisa mudah kenal dengan orang lain, ya lewat japri, jalur pribadi.

Lambat laun, Agus pun berterus-terang bahwa ia suka pada Aina. Sebetulnya memang kenapa Agus bisa dengan mudah memberikan pinjaman kitab itu pada Aina adalah selain kasihan karena Aina kelelahan, Agus terkesima pandangan pertama pada wajah ayu Aina, cantik, anggun dan rajin Talaqqi pula, benar-benar idamannya.

Aina sendiri asli Solo, kuliah di Fakultas Ushuluddin. Setahun lamanya mereka kenal, akhirnya Agus pun menikahi Aina dan tinggal di Darasah. Dua puluh meter jaraknya dari rumah Jamal dan rumah yang ia tempati sebelumnya.

Agus tidaklah mudah perjuangannya mendapatkan Aina. Terlebih menyakinkan ayah Aina. Agus dianggap ayahnya Aina belum bisa bertanggung jawab hanya gara-gara Agus tidak menjawab panggilan ayahnya Aina. Ayah Aina menelepon Agus, di Solo sudah jam 7 pagi sedangkan di Kairo masih pukul tiga pagi. Agus sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Begitu bangun pagi segera saja Agus membuka WA, dan ia baca inbox yang masuk,

"Kamu belum bisa jadi suami Aina! Telat bangun pagi!"

Agus pun mengatakan hal itu pada Aina, kemudian Aina memahamkan pada ayahnya bahwa di Kairo memang masih waktu tidur, tetapi Ayah Aina belum sepenuhnya lega. Akhirnya setelah kejadian itu, Agus berusaha cepat tidur malamnya dan selalu bangun jam dua pagi. Lantas ia pun tak lupa basa-basi pada ayahnya Aina.

"Assalamualaikum, Bapak. Selamat pagi buat waktu Solo."

"Waalaikumsalam... Agus.

MasyaAllah, calon mantu bapak sudah rajin tahajud." jawab ayahnya Aina lewat pesan suara WA. (Lebai gak sih pristiwa ini? Hehe).

Kemudian Agus sering video call dengan ayahnya Aina. Agus ditanyai segala macam pertanyaan yang rumit, terutama soal hukum fiqih menurut empat madzhab. Untungnya Agus mampu menjawab, dia tidak membuka kitab karena sedang video call.

Matanya harus tertuju pada kamera, tidak boleh lirik kiri dan kanan. Selama sebulan mereka telepon vidio, sedangkan Agus belum pernah sekli pun vedeo call dengan Aina.

Setelah ayahnya merasa Agus adalah anak yang saleh, orang baik dan bisa tanggung jawab, ayahnya Aina pun membolehkan Agus menikahi Aina.

Sedangkan Ridwan. Dia adalah penjual Bagasi. Rating Bagasinya sudah Platinum. Sebulan dua sampai tiga kali dia pulang ke Indonesia. Kairo-Jakarta dan Jakarta-Kairo. Walaupun memang kadang pembeli Bagasi rute Kairo-Jakarta tidak sampai penuh. Tetapi Jakarta-Kairo selalu penuh. Karena lebih banyak yang mesan dan mengirim paket dari Indonesia ke Mesir. Bahkan Agus sendiri pun sering mengirimkan gamisnya puluhan kilo lewat bagasinya Ridwan.

Dulu awal-awal bisnis bagasi Ridwan hanya sendiri saja. Karena dia hanya membawa 45 kilogram. Tetapi sekarang dia punya dua anggota, sekarang lebih seratus kilo sekali jalan. Tiga tahun berjualan bagasi, Ridwan pun berani menikah. Dia merasa sudah mapan secara finansial. Dia juga menabung, bahkan sudah sejak awal jualan bagasi ia sudah menabung untuk mahar. Semangatnya meletup ingin menikah. Kenapa? Karena dia sudah jatuh cinta pada Fauziah gadis Aceh.

Kenapa bisa kenal dengan Fauziah? Adalah ketika itu Fauziah membeli bagasinya Ridwan. Fauziah ingin mengirimi ibundanya gamis Mesir. Kata Fauziah nanti uang bagasi dan ongkirnya ditransfer ibundanya. Sampai di Indonesia Ridha mengirimkan ressi pengiriman paketnya ke Fauziah. Langsung saja Fauziah menelepon ibundanya. Ibunya minta nomornya Ridwan ke Fauziah. Lalu ibunya berkomunikasi dengan Ridwan.

Ternyata ibunya Fauziah sudah di Jakarta juga. Menghadiri pernikahan abang sepupunya Fauziah. Gamis itu mau dipakai untuk acara lusa berikutnya. Ibunya Fauziah pun mengajak Ridwan bertemu dan makan di salah satu restoren mewah di Jakarta. Ibunya melihat bahwa Ridwan orangnya amanah dengan bukti ressi pengiriman itu. Ibunya pun kagum dan penasaran dengan orangnya, ingin bertemu. Ayah Fauziah juga ikut menemani di waktu sore itu.

"Saya Ridwan, Buk. Yang bawa titipan Fauziah."

"Oh ya, Ustadz, silakan duduk. Kami sengaja belum memesan makanan karena nggak tau seleranya, Ustadz apa?"

"Wah terima kasih, Ibuk. Tapi maaf, Ibuk. Saya tidak bisa ikut makan, nggak enak merepotkan."

"Udah duduk saja. Kami malah senang bisa bertemu dengan, Ustadz Ridwan. Lagipula kami ingin mendengar langsung dari Ustadz Ridwan bagaimana kehidupan di sana. Karena tahun depan kami juga ingin berkunjung pas hari wisudanya Fauziah."

"Panggil Ridwan saja, Ibuk. Tidak perlu pakai ustadz."

"Oh, ya, Ridwan. Totalnya berapa ongkos gamisnya?"

"100 ribu saja, Ibuk. Tidak bayar juga nggak apa-apa ibuk, sebab sudah ditraktir makan ini. Dan gamisnya besok sudah sampai insyaAllah. Karena kalau Jakarta paling telat dua hari, paling cepat setengah hari. Sekali lagi nggak perlu bayar, Ibuk. Kan saya sudah diajak makan."

"Nggak, itu mah beda. Oke ibuk transfer sekarang yah?" Ibunda Fauziah pun mentransfer 500 ribu rupiah.

"Loh, kok banyak sekali, Ibuk?" heran Ridwan ketika ada pesan pemberitahuan lewat sms ke nomor Telkomselnya.

"Ya bisa buat keperluan belajarnya nak, Ridwan."

"MasyaAllah, terima kasih banyak, Ibuk.

"Sama-sama."

"Oh ya, Buk. Kalau misalkan jumpa di sini, kenapa nggak ibuk suruh saya bawa ke sini saja dan saya berikan di sini gamisnya, Ibuk?"

"Begini, Ridwan. Maaf ini yah, tadi kemari itu ibuk mau lihat kejujuran nak Ridwan. Oh ya sambil nunggu hidangan, kamu cerita kehidupan di sana, budaya orang Mesir, bagaimana belajar di al-Azhar."

"Dengan senang hati, Ibuk."

Ridwan pun menceritakan semuanya. Dia juga bercerita tentang kehdiupannya di Mesir. Dia dari keluarga yang kurang mampu dan menyambung hidup dengan berjualan bagasi. Ridwan bercerita bagaimana perjuangannya bisa kuliah di al-Azhar sampai orang tuanya menggadaikan sawah untuk biaya keberangkatannya. Dia juga cerita bahwa selain kuliah dia ikut Talaqqi walaupun tidak sesering Agus, sebab kadang dia kelelahan pulang-pergi Kairo-Jakarta dan Jakarta Kairo. Dari cara dia bicara tampak ramah, berakhlak, saleh dan gigih. Ibundanya Fauziah pun terkesan dengan Ridwan.

"Ridwan sudah menikah?" Ridwan kaget mendengar pertanyaan itu. Batinnya kontak, jiwanya ikut tergoncang, inilah yang ia tunggu sebetulnya. Bahwa dia jualan bagasi juga bukan sekadar menyambung hidup, tapi juga menabung mahar walaupun dia belum tahu mahar itu ia berikan untuk siapa.

"Belum, Ibuk." jawab Ridwan tersipu malu-malu.

"Hafal al-Qura'n?" tanya ayah Fauziah.

"Alhamdulillah hafal, Pak." jawab Ridwan.

"Kalau Ridwan tidak keberatan, ibuk ingin mendengar bacaan al-Quran nak Ridwan." pinta ibu Fauziah.

Kemudian Ridwan pun melantunkan kalam ilahi surat an-Nisa dari ayat satu sampai dengan ayat sebelas. Makhrajil huruf dan tajwid yang baik dan benar. Suara indah dan merdunya pun menyentuh lubuk hati ibundanya Fauziah.

"MasyaAllah, indahnya bacaanmu nak!" ibu Fauziah terkagum.

"Terima kasih, Ibuk."

"Kalau Ridwan tidak keberatan dan ada waktu kosong. Besok lusa kami undang ke acara pernikahan abang sepupunya Fauziah. Gimana? Ada waktu?"

"Lusa itu hari Kamis ya, Buk?"

"Ya benar."

"InsyaAllah saya bisa hadir, Buk."

Setelah pulang dari pertemuan itu, ibundanya Fauziah langsung saja telepon ke abang sepupunya Fauziah bahwa ia punya kenalan ustadz dari Kairo sedang berlibur. Dengan maksud Ridwan saja besok yang membaca al-Quran di acara nikahan.

Keesokan harinya Ridwan datang cepat dan kaget ketika disuruh ibundanya Fauziah jadi qori'. Ridwan tentu saja siap. Sudah terbiasa ia mengaji di acara-acara tertentu baik di Mesir atau pun Indonesia. Setelah hadir di acara nikah itu, selepas magrib Ridwan diantar pulang ayah Fauziah ke rumah temannya yang juga penjual bagasi yang mukim di Jakarta. Karena setiap Ridwan bawa bagasi dari Kairo, ia selalu menginap di rumah temannya itu, namanya Hamid.

Malam itu juga setelah acara nikahan, ibunya Fauziah menelepon Fauziah. Di Kairo masih jam lima sore. Sedangkan di Jakarta sudah pukul dua puluh satu WIB. Cerita lah ibunya tentang Ridwan pada Fauziah.

"Mamak suka kali lihat Ridwan, Ziah. Ganteng, hafal al-Qur'an suaranya masyaAllah bagusnya! Sungguh merdu! Dia ulet, saleh pula. Mamak mau kalau dia jadi mantu mamak, Ziah. Mamak yakin dia laki-laki yang sudah mapan dan bertanggung jawab. Gimana, Ziah?" kata ibundanya sambil bercanda dengan cara ibu ke anak putrinya.

"Masalahnya Ziah nggak begitu kenal kali sama Ustadz itu, Mak. Baru tiga kali pun lihat Ustadz tu. Itu juga karena mengirim titipan ke, Mamak."

"Nggak perlu terlalu kenal kali juga ngga papa, Ziah. Mamak udah yakin betul sama Ridwan."

"Baiklah, Mak. Nanti aku istikharah dulu."

"Baik anak mamak yang cantik. Segera kabari, Mamak yah?"

"Iya mamakku sayang."

Hati Fauziah pun berdebar. Sebenarnya dia tidak berterus terang pada ibunya. Sesungguhnya Fauziah jugalah telah lama mengagumi Ridwan. Kenapa? Sebab dia pernah dengar tentang Ridwan dari sahabatnya bahwa Ridwan juga orang yang aktif di organisasi. Ridwan pernah bergabung dengan Informatika Kairo dulunya. Dan ketika ada acara pertemuan kumpul di Hadiqah al-Azhar, Ridwan jadi imam salat magrib di tanah lapang taman Al-Azhar.

Suara merdu Ridwan itu pun diketahui Nur Laila teman satu rumahnya Fauziah. Sudah tiga kali istikharah, Fauziah yakin dan bilang ke ibunya bahwa ia mau. Ibunya senang dan segera menelepon Ridwan. Karena sejak dari makan di restoran itu ibunya sudah sering menanyakan kabar Ridha lewat pesan WA. Tiga hari setelah dapat telepon dari ibunya Fauziah, lagiupla ia masih di Jakarta, dan Ridwan pun pulang ke Padang kemudian menceritakan semuanya pada kedua orang tuanya bahwa ia ingin menikah. Fauziah disuruh pulang ke Aceh. Keluarga Ridwan juga ke Aceh, Ridwan dan Fauziah menikah di Aceh.

***

Tiga keluarga baru itu semuanya tinggal di Darrasah. Bertetangga. Tiga sahabat itu pun ingin mengadakan reunian dan makan bareng di Taman Al-Azhar (Al-Azhar Park).

Rini istri Jamal orang Malaysia memasak masakan khas Malaysia, Nasi Lemak dan Asam Laksa Penang. Aina istri Agus asli Solo memasak Sate Buntel dan Tengkleng. Fauziah istri Ridwan, tidak pandai memamasak, akhirnya dia minta tolong pada temannya untuk diajari cara memasak Kuah Pilek dengan bahan seadanya. Mereka semua memasak di pagi hari hendak siang. Para suami pun ikut membantu istrinya. Seperti belanja ke pasar Darrasah adalah tugas suami.

Sorenya mereka kumpul di Taman Al-Azhar bakda Ashar sampai waktu bakda isya. Shalat di taman. Yang imam tentu saja suaminya Fauziah.

Perginya bersama menggandeng masing-masing istri. Para suami membawa makanan, istri membawa air minum. Setibanya di depan gerbang Al-Azhar Park mereka pun membeli tiket. Sebelum makan bareng mereka gantian berfoto di depan pancuran.

"Geser lagi ke kiri, Dek. Nah gitu cakep!" Cekrek! Ridwan mengambil gambar istrinya Fauziah.

Sebenarnya yang punya kamera adalah istrinya Jamal dan dialah fotograpernya. Namun kata Ridwan pada semuanya, khusus istrinya biar dia sendiri saja yang menfotokan, Fauziah pun tidak keberatan kalau sampai hasil jepretan suaminya tidak bagus.

"Bisanya, Abang?"

"Macam nggak tau aja adek, ambo juga fotograper lah dulunya. Tapi pakai hp. Hehe." Pas dilihat istrinya, hasilnya buram! Dan mereka pun membuat challenge. Seperti istri menyuapi suaminya dengan mata suami harus terpejam. Challenge ini bukan dari masakan istri mereka, tetapi diacak. Bila benar menyebutkan semua rasa dan masakan istri siapa sampai tiga kali? Maka dialah pemenangnya.

"Humm, sepertinya ini masakannya, Rini nih, khas Malaysia. Aku pernah makan di rumah makan Malyasia." kata Agus setelah disuapi Aina.

"Yey suamiku benar!" Dan pemenang challenge ini adalah Agus. Karena dia benar menyebutkan semuanya, bay the way dia sudah mencoba semua masakan itu di rumah makan dari jauh hari.

Adapun Jamal dia cuma bisa menyebutkan dua masakan saja, yaitu masakan istrinya dan masakan Aina. Dia tidak bisa menebak masakannya Fauziah. Sedangkan Ridwan, malah cuma bisa menyebutkan satu rasa masakan saja.

"Humm, ini masakan istriku dong. Enak banget!" katanya setelah disuapi Fauziah, padahal itu adalah masakan Aina dan Rini. Ketiga-tiganya disuapi Fauziah dia tetap bilang begitu. Padahal sudah dicubit oleh Fauziah dua kali cubitan, tetap saja dia salah sebut. Tetapi setelah ia membuka matanya, dia pun berbisik pada Fauziah, "Sebenarnya abang tau, Dekku. Tapi sengaja abang sebut itu masakan, Adek. Tahu kenapa?

"Kenapa, Bang?"

"Karena masakan adek tidak ada tandingannya!" Fauziah pun sumringah. Padahal dia sendiri sadar bahwa bukanlah dia yang masak, tapi Nur Laila, temannya. Ridwan juga melihat saat mereka masak di rumah tadinya. Memang Ridwan masih suka menggombal walaupun sudah menikah.

Dan setelah makan mereka pun tukaran hadiah. Suami memberi istri dan istri memberi suaminya masing-masing.

Agus menghadiahi Aina Tupperware warna ungu.

"Bisa untuk menyimpan makanan kita, Dik." kata Agus. Aina senang sekali.

Jamal menghadiahi Rini sebatang Siwak berwarna cokelat yang ia beli di Makkah sewaktu ibadah Umrah.

"Kan kamu Dokter gigi, jadi abang kasih Siwak saja. Agar gigi kita tetap bersih dan kuat sampai tua, Dokterku." kata Jamal sembari memberikan hadiahnya. Senyum Rini pun mengembang.

Adapun Ridwan, dia menghadiahi istrinya gantungan kunci berbentuk tabung gas warna biru.

"Agar kamu ingat tabung gas di dapur. Kalau ingat tabung gas maka kamu juga ingat dapur, agar tidak lupa masak, agar kamu semakin senang belajar masak, agar kita tidak asik membeli masakan di luar, agar lebih irit, agar kita lebih romantis dan harmonis, dan agar adek ingat abang, Dekku."

"Hehehe. Bisa aja, Abang. Tapi aku suka kok bang hadiahnya."

"Alhamdulillah kalau adek suka."

"Oh ya, Bang. Kalau misal adek nggak bisa masak juga nantinya gimana? Abang tetap perhatian sama adek?"

"Adek, soal memasak itu gampang. Nanti abang ajari. Lagipula sangatlah aneh jika soal memasak sampai dikaitkan dengan perasaan suami? Sampai tidak perhatian pula kalau istri tidak pandai memasak? Abang tidak begitu, Adek. Urusan perut beda dengan urusan hati dan jiwa, Abang sayang padamu, Dekku."

"Makasih, Abangku."

Darrasah pun cemburu pada para pengantin baru itu. Ketika itu juga Darrasah punya tiga warna: ungu, cokelat dan biru. Sunset di Taman Al-Azhar begitu indah, terlebih jika bersama kekasih halal.

***

Faktanya, menikah adalah keinginan dan kebutuhan masing-masing individual. Menikah tidak hanya mapan secara umur, tapi juga harus mapan finansial. Maka kalau kamu ingin mapan finansial, menabunglah, Kawan. Seperti tiga sahabat: Jamal, Agus dan Ridha.

***

"Darrasah adalah diambil dari bahasa Arab: darasa-yadrusu-darsan yang artinya adalah belajar. Bentuk Darrasah ialah sighat mubalaghah yang menunjukkan makna "sangat". Contohnya: Alim jadi Allahamah. Fa'il jadi Fa'allah. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah adalah Allam al-Ghuyub yaitu Maha Mengetahui sesuatu yang ghaib, suprasional." (Beben).

Sekian.

Cerita ini adalah fiksi, maaf jika ada kesamaan nama dan tempat. Terima kasih.