webnovel

Dayah Perbatasan Darul Amin Dulu

Saya masuk Darul Amin awal tahun 2008. Kira-kira dua bulan di Darul Amin, saya dan teman-teman lainnya ikut jadi panitia menyiapkan acara pelantikan bapak pimpinan baru kami yang akan dilantik esok harinya. Tugas kami bahian angkat-angkat kursi, bantu-bantu. beliau ialah, ayahanda kami, abuya kami, Drs. H. Muchlisin Desky, MM, yang dilantik langsung oleh bapak bupati yang aktif tahun itu, bapak, Ir. H. Hasanudin Beruh, MM, di tanah lapang atas atau di kantor utama Darul Amin sekarang.

Tidak lama setelah beliau dilantik, didatangkanlah guru-guru kami lainnya yang terhormat dari berbagai daerah. Beliau-beliau adalah alumni Pondok Modern Gontor, satu almamter dengan buya. Dan sistem pendidikan Kuliyatul Mu'alimin al-Islamiyah (KMI) pun mulai diterapkan perlahan.

Selepas shalat magrib di masjid Darul Amin (2008) berdirilah secara bergantian guru-guru kami depan seluruh santri untuk memperkenalkan diri kepada kami setelah beberapa hari di Darul Amin. Beliau-beliau adalah: Ustadzuna Noor Arif asal Karawang dan istri beliau Ustadzatuna Laila Fajriah asal Aceh, bagian pengasuhan santri. Ustadzuna M. Anggung, asli Bekasi, bagian bahasa.

Saya ingat betul bagaimana beliau memperkenalkan diri, "Saya Muhammad Anggung. Bukan Agung, bukan Anggun, tapi di tengah-tengah: Anggung." jelas beliau. Lalu Ustadzuna Taufiq Lubis, asal Medan bagian pramuka. Belum lama beliau di Darul Amin, langsung membawa kontingen Darul Amin ikut andil LP3K di Lheokseumawe antar pondok Modern tingkat provinsi.

Ustadzuna Uri Khatansyah asal Bangka Belitung, paling jauh, bagian Tapak Suci (pencak silat). Pertama dan terakhir kalinya beliau bawa santri Darul Amin ke Pesantren Misbahul Ulum Lhokseumawe untuk fighting. Aku juga ikut sebagai peserta lomba. Lawanku udah kelas pelatih sementara aku baru latihan sebulan waktu itu. Namun karena berat badannya sama denganku, akhirnya bertarung juga. Tentu saja aku kalah, untung aja aku tidak babak belur. Pukulanku tidak lebih tiga kali masuk. Sedangkan ia berkali-kali bahkan aku kena tekel pakai gaya balik badan itu, memutar ke belakang dan kaki kanan main di bawah, harus cepat melakukan gerakan itu agar lawan bisa tumbang. Aku pun bisa jurus itu, tapi tak sekali pun bisa aku praktikkan saat bertanding padahal sewaktu latihan tak jarang aku pakai. Lupa aku apa nama jurusnya? Jurus menggunting atau apa?

Beliau-beliaulah pengajar dan perintis pertama sistem Gontor di Darul Amin.

Luar biasa perjuangan beliau datang dari daerah yang jauh ke sebuah perkampungan di Lawe Pakam. Tanoh Alas nama desa itu. Di sana ada pondok bernam Darul Amin yang bisa diibaratkan hidup 'segan mati tak mau' masih gelap-gelap, lampu yang hidup bisa dihitung pakai jari, pojok-pojoknya angker, semak-semak, pohon-pohon tinggi melebihi gedung, hampir tidak berani lewat sendirian di malam hari di jalan utamanya, belum rapi, belum bersih, peserta didiknya sebagian menetap dan sebagiannya pulang pergi, sebagian dapur umum, sebagian lagi masak sendiri.

Hal yang terasa cepat sekali diubah oleh guru-guru kami dari Gontor ialah pemerataan. Orang tua kami diundang untuk silaturahmi bersama bapak pimpinan, ada hal penting yang ingin disampaikan buya. Dua di antar poin penting dalam silaturahmi bersama wali santri itu ialah tidak boleh lagi ada santri yang masak sendiri, semuanya harus dapur umum. Sebelum keputusan itu direalisasikan aku sempat masak sendiri kurang lebih dua bulan. Dan tidak boleh lagi ada yang pulang pergi, semuanya harus berasrama. Yang sedang sudah terlanjur, membiarkan mereka hingga tamat terlebih dulu.

Bulan berikutnya ayahku datang ke Darul Amin membayarkan uang dapur umum dan membawa kompor dan peti tempat pakaianku ke rumah.

Bagaimana kesan pertama santri Darul Amin ketika guru-guru baru kami datang? Kaget! Tapi juga senang. Walaupun ada beberapa santri yang tidak suka karena diwajibkan dapur umum, tetapi di kemudian hari baru ia sadar betapa rapinya rencana Darul Amin ke depan dengan jadwal-jadwalnya yang mulai terisi dan padat. Kalaulah harus masak lagi, betul-betul tak sempat makan, sebab lonceng mulai berbunyi secara terstruktur dengan jam, menit dan detik ke berapa. Kalau telat siap-siap angkat paha. Klepak! Merah-biru bekasnya.

Sebelum guru-guru kami dari Gontor datang, lonceng telah bunyi kami masih menggoreng ikan teri di asrama. Tapi kini tidak bisa lagi, lonceng berbunyi harus bergegas, lari! Lonceng kami milik pemerintah, besi panjang berdiri layaknya batang pohon yang tinggi. Ada yang berwarna coklat dan ada yang tidak berwarna, berakar memanjang melintang di atasnya, terhubung ke rumah-rumah, tentu saja banyak anda temui di tepi-tepi jalan. Beberapa kembaran lonceng itu berdiri tegak di dekat gedung kelas kami. Itulah yang dipukul oleh Ustadzana Uri. Dari Darul Amin terdengar hingga ke bukit Islamic Center sana bahkan Kampung Bakti.

Bagaiman kami tidak kagum dan bangga dengan guru-guru kami waktu itu? Mereka begitu serius, begitu rajin, begitu tepat waktu, begitu kompak, padahal jumlah mereka sedikit, semangatnya berbukit-bukit!

Satu-satunya guru Gontor kami yang berkeluarga ialah Ustadzuna Noor Arif, Adapun buya kami masih akan menikah waktu itu. Selebihnya masih lajang. Semangat juang mereka begitu mantap! Nurut dan hormat mereka ke buya tak diragukan lagi, satu visi dan misi merintis dan memajukan Darul Amin.

Kami selaku santri benar-benar terayomi, terawasi selama 24 jam. Siang dan malam kami dibalut disiplin Pondok Modern, hingga-hingga bertanya dalam hati? Hal baru apa? Perubahan baru apa yang bakal kami terima setelah ini? Dan kami mau tidak mau harus siap! Harus setuju! Harus ikut! Meskipun sifat kekanakan kami sebagai santri kadang ingin melawan semua disiplin-disiplin itu! Maklum, remaja memang begitu, hanya menginginkan kesenangan jangka sekarang, bukan jangka mendatang yang masih panjang.

Bahasa Arab dan Bahasa Inggris kami mulai disisipi setiap paginya dengan kosa-kata baru. Saya suka sekali moment ini. Ustadzuna Anggung sebagai bagian bahasa. Tidak banyak, dua sampai tiga kosa-kata (mufradat) saja. Hingga tak disadari kosa-kata itu makin banyak, memenuhi buku tulis kami, sehingga akhirnya kami bisa menjawab dan mengerti yang diucapkan Ustadzuna Anggung dan guru kami lainnya dalam bahasa arab dan inggris. Aku benar-benar tidak berani bicara selain dua bahasa itu.

Jangankan bahasa Alas, bahasa indonesia saja kena panggil sehabis magrib. Keluar dari kantor bagian bahasa jalan berasa pincang. Aku pernah dipukul di paha sampai tidak sanggup berdiri. Gara-gara di-Jasus oleh teman sewaktu mandi tanpa sengaja terpleset bahasa Alas, hanya bilang, "eno", kebeteluan yang masuk bahasa kemarin magrib sedang mandi di kamar mandi yang sama denganku. Udahlah, selepas magrib di hari itu, pincang lah. Menangis? Anak petani tak semanja itu, Kawan! Tak pernah pula aku melapor ke orang tuaku aku dipukul sekuat itu, kalau pun melapor, kaidah yang ayahku gunakan cuma satu: kau pasti salah makanya kau dipukul.

Pramuka kami aktif, tiap hari Sabtu selepas makan siang wajib ikut pramuka, berdiri di tanah lapang, ikut acara dan kegiatan lainnya di bawah terik matahari. Ustadz Taufiq Lubis sebagai bagian pramuka.

Disiplin kami mulai tidak bisa ditawar dengan kasih sayang, bila melanggar berturut-turut, gundul! Cukur halus. Ustadzuna Uri, melihat muka beliau saja membuat kami sengan tidak berani kita dekat-dekat dengan kalimat, 'cabut lewat pagar' Logat khas melayu orang Belitungnya kadang beliau padukan dengan logat orang Medan, "Gundul kau!"

Uang dapur umum dan spp tidak boleh telat, bila dapat kiriman atau uangnya diantar orang tua, langsung berikan ke bendahara pondok. Ustadzuna Husni sebagai bagian dapur dan keamanan santri, pemilik suara merdu, alumni Raudhatul Hasanah Paya Bundung, paling tinggi dan paling kekar se-Darul Amin. Dalam cerpen yang pernah aku tulis, aku menyebut sosok beliau dengan nama tokoh Ustadz Taqwa. Ya meskipun banyak yang telat bayar uang bulanan, mau bagaimana lagi, rata-rata ekonomi santri Darul Amin menengah kebawah, ayah ibu kami bekerja di sawah.

Andaikan kelak, saya misalnya, diposisikan sebagai guru perintis di salah satu pesantren, saya pastinya senang juga. Saya akan mencontoh semangat guru-guru kami dulu. Sebagai pejuang pertama itu adalah orang yang luar biasa, orang pilihan, mereka layak diabadikan di dalam catatan sejarah lembaga tersebut, dan tentunya akan selalu terpahat di hati dan ingatan orang-orang yang bersamanya kala itu. Jujur, setelah jadi alumni, tak jarang ingatan masa lalu terlintas, terlebih ketika melihat foto-foto Darul Amin zaman dulu. Juga teringat lagi wajah-wajah mereka, keikhlsan mereka, kegigihan mereka, keseriusan mereka, perjuangan mereka merintis Darul Amin. Memang sudah Allah takdirkan, Allah kirimkan orang-orang baik nan ikhlas ke Darul Amin untuk mendidik santri Darul Amin yang wawasannya sama sekali belum tahu bagaimana sistem pendidikan pondok Modern Gontor.

Guru-guru kami sesering dan sesempat mungkin bercerita di akhir pelajaran tentang Gontor, baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Nilai-nilai kepondok moderenan mereka tanamkan pelan-pelan, yang, 'berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas dan berpikiran bebas'. Kecintaan kami akan pondok kami makin terasa, bahkan juga cinta pada pondok Modern Gontor yang padahal waktu itu kami tidak tahu ia berada di mana?

Gambar-gambarnya sering terlihat di buku guru kami yang mereka bawa sewaktu mengajar, jadi wallpaper komputer pondok kami. Gambar masjid Jami' Gontor dan menaranya itu, kalau melihatnya hari ini ingat lagi guru-guru kami dari Gontor, ingat Darul Amin dan merasa bersyukur ada alumni Gontor yang mau datang mengajar di Lawe Pakam.

Alumni Gontor, terkhusus guru-guru kami benar-benar mencontohkan suri tauladan yang baik, membawa mahabbah, ukhwah islamiyah ke Darul Amin. Kalau mereka tidak sayang ke kami, kalau mereka tidak ikhlas atau kalau kami pun tidak senang dengan sistem yang mereka bawa, tidak mungkin rasanya kami bisa bertahan di Darul Amin hingga alumni, tidak akan tertarik ingin masuk Gontor, atau sekadar berkunjung pun tidak minat.

Begitu lulus kelas tiga KMI atau tiga SMP, ketika liburan, pulang Dari Lawe Pakam ke Alur Langsat. Sehari tiba di rumah aku minta izin ke ayah ibuku agar memasukkanku ke Pondok Modern Gontor.

"Dimana itu pondoknya?" tanya emak.

"Di Jawa sana lah pokoknya, Mak. Aku pun nggak tau di mana, cuman namanya yang aku tau. Gontor nama pondoknya, Mak."

"Yuh, jauhnya pun ke Jawa. Udahlah di Darul Amin aja, usah jauh kali ke Jawa. Tak mampu rasanya kami biaya ke sana. Lagipula kau udah pernah pindah sekolah. Jangan pindah lagi, di situ aja sampai tamat. Pokok pisang kalau sering dipindah-pindahkan, bisa-bisa ia tak berbuah bahkan tak hidup." terang emak.

Terasa sesak di dada dapat tanggapan begitu dari ibu, tapi aku tidak juga memaksakan kehendakku. Aku nurut saja segimana orang tuaku saja, semampu mereka saja, aku lanjut lagi di Darul Amin.

"Kalau gitu, belikanlah lemariku, Mak."

"Ya nanti mamak kasih uang lemari."

"Ya, Mak. Di Darul Amin pun ada jual lemari. Nanti aku beli di sana aja." jelasku. Hanya itu syarat dariku untuk mau lanjut lagi di Darul Amin. Karena memang sejak kelas satu hingga kelas tiga KMI aku meggunakan lemari pondok untuk tempat pakaianku. Lemari besar dua pintu.

Bagi yang tidak punya lemari sementara boleh menggunakan lemari itu. Tapi begitu naik kelas tiga lemari-lemari besar itu tidak boleh lagi digunakan sebab akan dipungsikan untuk keperluan pondok. Temanku sebelah pintunya lagi bernama Bahagia. Kenapa ia bisa jadi teman satu lemari denganku? Gara-gara pernah adu jotos di lapangan volley sehabis pulang dari kelas belajar malam. Agar tidak dendam dan segera baikan, Ustadz kami menjadikan kami teman satu lemari berdua, tentu juga satu kamar. Karena lemari pondok telah disita, aku tidak punya lemari lagi. Akhirnya wali kelasku meminjamkan koper beliau untuk aku jadikan tempat pakaianku. Baik betul wali kelas kami itu!

Suatu hari selepas makan siang, temanku berlaqab 'jaddun' menarik-narik koper itu di depan asrama. Sebab memang seluruh santri putra hanya aku seorang yang makai koper, jadi agak lucu menurutnya. Tanpa bilang-bilang, ia dorong-dorong dan tarik-tarik koper itu di teras depan asrama.

"Ayo mudik! Ayo mudik!" ajaknya pada semua penghuni asrama sembari tawa. Aku yang baru selesai makan siang dari ruang makan dekat dapur melihatnya begitu tentu saja marah. Sebab ia belum izin.

"Bagus kau sikit, masukkan lagi balik!"

Kalaupun ia minta izin tak akan aku izinkan. Seenaknya saja membawa tempat pakaianku mondar-mandir depan asrama macam fashion show!

Setelah libur panjang aku balik lagi ke Darul Amin, naik ke kelas empat KMI. Perasaan dalam dada belum lega gara-gara tidak lanjut ke Gontor. Bahkan aku telat sehari balik pondok, mesti dintarkan dan ditemani ibu. Sebelum tiba di Lawe Pakam, aku dan ibu mampir di Pekan Lawe Desky untuk membeli perlengkapan alat tulis dan seragam aliyah. Setelah belanja aku lanjut ke pondok, ibu balik ke rumah. Tak perlu diantar sebab sudah belanja, ibu yakin aku lurus melewati kampung Bakti, tidak mutar balik lagi. Ibu percaya padaku bahwa aku akan tiba desa Tanoh Alas, masuk lewat gerbang Darul Amin, lekas melapor ke guru bahwa telah pulang, membayarkan uang bulanan, kemudian nurut segala aturan.

Di acara agenda tahunan kumpul seluruh guru dan santri bersama pimpinan, akhirnya aku mendapatkan ucapan yang membuat hatiku lapang dan yakin untuk istiqamah lanjut di Darul Amin, ucapan itu sangat menyakinkanku, kata buya pada kami semua, "Kenapa kamu ingin ke Gontor? Gontor sendiri sudah datang kepadamu?!" Akhirnya makin mantap dan yakin lagi, bismillah, di Darul Amin hingga alumni! Karena memang bukan aku saja yang ingin lanjut ke Gontor, ada beberapa orang, mungkin kabar dari salah satu kami sampai ke buya, atau memang firasat buya, aku tak tahu.

Tahun-tahun berikutnya guru-guru kami alumni Gontor terus didatangkan buya, silih berganti. Tiap ada guru baru terasa betul ada perubahan baru. Terutama semangat mereka, terasa nyetrum ke dalam jiwa. Pengalaman-pengalaman mereka yang akan mereka ceritakan ke kami, sangat termotivasi dan terinspirasi. Apalagi bidang keahlian mereka, kami sangat penasaran tentunya. Buya memang selalu menghadirkan orang-orang pilihan, yang masing-masing guru mahir di bidangnya sendiri. Karena sebagai guru perintis, guru-guru kami saling membantu, saling dukung, satu guru bisa jadi berperan di berbagai bagian, pikiran dan tenaga yang mereka keluarkan berkali-kali lipat.

Ini hanya sebatas apa yang saya rasakan di Darul Amin. Ini adalah pandangan saya terhadap guru-guru kami dan Darul Amin kala itu, tentu saja ada kekurangan dalam tulisan ini. Adapun sejarah Darul Amin hingga Darul Amin jadi Dayah Perbatasan, bisa anda samak di dalam vidio ini, yang ceritanya pernah diangkat dalam Arena Gembira Darul Amin 2020 lalu. Klik di sini, di menit ke 34:

https://fb.watch/cDXlLca_TD/

Berikut ini beberapa dokumentasi Darul Amin zaman dulu, di tahun 2008 dan 2009, ketika kami kelas satu dan kelas dua KMI: http://daudfarma.blogspot.com/2022/04/dokumentasi-darul-amin-2008-2009.html