webnovel

Part 13

  "Apa yang kau katakan?" Tanyaku berusaha meredam amarah, terutama di depan tuan putri yang kini terlihat bingung melihat reaksiku.

  "Ahh tenanglah, aku hanya mengatakan, lain kali berhati-hati karena kita tak pernah tahu jika menyinggung orang yang salah" Jawabnya terburu-buru sembari mengangkat kedua tangan, berusaha membuktikan dirinya sama sekali tak memiliki niat buruk. Ia mengambil dua langkah mundur sembari mempertahankan senyum gugupnya itu, kemudian membungkukkan tubuh, memberi hormat "Kalau begitu, aku akan pergi, selamat menikmati malam kalian!" Serunya, berlari semakin menjauh dan akhirnya menghilang di balik kerumunan orang.

  Tuan putri berjalan ke samping, penasaran laki-laki berambut hitam dengan kacamata hitam itu menghilang ke mana, lalu menoleh kepadaku, tampak sedikit khawatir "Zent tak apa-apa?" Tanyanya pelan, takut pertanyaannya itu akan melukai hatiku. Setidaknya, itulah yang kutangkap dari sepasang mata biru tersebut. 

  "Aku baik-baik saja tuan putri, terima kasih telah mengkhawatirkanku" Jawabku lembut sembari menyunggingkan senyum manis.

  "Zent tenang saja! Papa adalah seorang Duke! Orang kepercayaan raja! Jadi Zent dalam masalah, papa bisa membantu!" Tukasnya tetap berusaha menenangkanku dengan senyuman khas miliknya yang mampu membuat dinginnya malam menjadi sebuah kehangatan "Ayo! Acaranya sudah mau dimulai!" Seru tuan putri lalu menarik tanganku untuk segera ikut bersamanya mendekati panggung.

  Semenjak diriku sampai di sini, baru kali ini aku mengetahui gelar milik Mr. Anderson. Aku sudah menebak dirinya adalah seseorang yang memiliki kedudukan tinggi, tapi siapa sangka ternyata adalah seorang Duke. Jadi, apakah kota ini miliknya? Tapi kalau begitu, siapa yang tinggal di dalam istana? Apa gunanya seorang Duke jika berada pada wilayah yang sama dengan Sang Raja? Bukankah gelar Duke diberikan demi menjaga sebuah wilayah kerajaan?

  Kau tahu? Aku takkan memikirkan hal-hal berat lagi untuk malam ini, hal-hal yang membuat otakku terasa begitu berat hingga kepala terangguk-angguk berusaha menahannya tetap stabil. Seperti kata laki-laki mencurigakan tadi, mari kita nikmati malam ini terlebih melihat tuan putri tampak bahagia seperti sekarang, membuat hatiku terasa lebih nyaman. Jujur saja, aku memang seseorang yang sangat lemah terhadap anak kecil, sehingga hal-hal kecil seperti ini pun sudah dapat membuatku bahagia, sebuah kebahagiaan yang begitu berharga, begitu krusial sampai ingin kusimpan dalam memori selamanya.

  Di saat bersamaan, sama seperti saat komputer mengalami glitch, pemandangan di sekitarku berubah beberapa kali, menunjukkan lokasi yang sama namun dengan langit berwarna hitam-kemerahan dan tubuh-tubuh tak bernyawa berserakan begitu saja di atas jalanan yang tadinya tampak rapi serta indah, kini tampak rusak dan kotor oleh genangan darah maupun bekas-bekas pertempuran, sebuah pertempuan besar. Bangunan-bangunan megah, sekarang juga hanya merupakan sebuah reruntuhan, memiliki lubang-lubang besar dengan beberapa bagian masih terbakar oleh api. 

  Ketika aku melihat ke atas, tak jauh dari tempatku berdiri, sebuah pulau apung terlihat miring dan sudah begitu dekat dengan tanah, hanya beberapa meter saja sebelum akhirnya menimbun lebih dari seperempat kota. Reruntuhan berukuran besar tampak bergelinding turun menimbulkan bunyi mengerikan layaknya tanah longsor sebelum menciptakan sebuah getaran kuat disertai suara menggelegar begitu menghantam tanah. 

  Salah satu tabung besi hitam pulau, kehilangan sebagian besar badannya hingga menimbulkan percikan listrik yang menjadi alasan utama pulau tersebut kini miring dan perlahan jatuh ke bawah, tinggal menunggu waktu saja. 

  Baru saja diriku akan mengambil sebuah langkah, seseorang memanggil namaku dengan penuh kekhawatiran. Begitu menoleh ke samping, mataku melebar, tersentak melihat sebuah tangan kecil menggenggam tanganku tanpa sebuah tubuh, darah menetes satu demi satu, menciptakan sebuah genangan baru. Buru-buru diriku mencari pemilik tubuh tersebut, menemukan dirinya berada beberapa meter jauhnya, terbaring di atas tanah dengan mata tertutup, tak lagi menghembuskan napas. Ia tampak begitu kotor akan campuran darah maupun tanah. 

  "Zent!"

  Aku tersentak sadar, terengah-engah mencari udara, tak menyadari diriku sudah menahan napas entah berapa lama. Tuan putri terlihat panik, memanggil namaku berulang kali sampai cukup menarik perhatian orang di sekitar yang juga mulai khawatir memerhatikan seorang laki-laki tampak mengalami serangan jantung. Keringat mengalir, membasahi wajah dengan mulut yang terasa begitu kering seakan baru saja menelan pasir. Dada terasa sesak, sakit dan menyiksa. 

  Sekuat tenaga diriku berusaha menenangkan diri, fokus terhadap genggaman tangan mungil yang kini meremas tanganku oleh rasa takut. Berkatnya, aku dapat kembali bernapas normal, menghembuskan napas panjang, kemudian memberikan sebuah senyum lembut pada tuan putri yang mulai berkaca-kaca, menahan sebuah tangis "Tuan putri, maafkan aku, aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku sudah baik-baik saja sekarang" Ucapku pelan, berlutut di hadapannya kemudian menghapus air mata yang mulai mengalir menuruni pipi menggemaskan tersebut.

  "A-apakah hiks.. Apakah ini karena- hiks hiks, karena aku memberi Zent terlalu banyak cemilan? Hiks hiks, papa pernah bilang- hiks, ka-kalau terlalu banyak makan- hiks, ce-cemilan, gigi akan sakit. Hiks hiks, t-tapi aku melihat dada Zent yang sakit, hiks, a-apa papa salah?"

  "Tidak tuan putri, Mr. Anderson sudah benar. Jika tuan putri memakan banyak cemilan dan tak menyikat gigi, maka gigi tuan putri akan terasa sakit. Aku baik-baik saja tuan putri, tak perlu takut oke?" 

  Gadis kecil itu menghapus air mata, menghela napas panjang lalu menatapku mantap "Zent benar! Aku adalah seseorang yang berani dan seseorang yang berani tak boleh menangis!" Serunya.

  Perkataan barusan, membuatku menggeleng pelan, tak setuju "Bukan seperti itu tuan putri"

  "Eh bukan?" Tanyanya balik, tampak bingung dengan mata yang masih sembab.

  "Justru seseorang yang berani adalah seseorang yang mau menunjukkan perasaan mereka dan tidak menyimpannya dalam hati. Tak apa-apa jika tuan putri ingin menangis, selama tuan putri tak menjadi seseorang yang terlalu manja. Dengan tuan putri menangis, Zent jadi tahu perasaan tuan putri dan dapat mengerti keinginan tuan putri. Tuam putri tenang saja, lihat" Aku mengangkatnya naik ke atas pundak agar dia dapat merasa lebih tenang sekaligus dapat melihat panggung lebih baik "Bagaimana? Zent kuat bukan? Apa sekarang tuan putri percaya Zent baik-baik saja?" 

  Tuan putri mengangguk cepat, tersenyum lebar dengan kepala yang terus menoleh kanan maupun kiri, melihat dunia dari sebuah sudut pandang yang baru dan membuatnya begitu bersemangat sampai lupa terhadap kejadian barusan "Zent Zent! Aku tinggi! Aku bisa melihat semuanya!!" Serunya bahagia yang juga membuat orang-orang di sekitar kami ikut tertawa melihatnya, ikut merasakan kebahagiaan gadis kecil di pundakku. 

  Terkadang, aku merasa sedikit iri pada anak kecil, betapa cepat mereka melupakan sesuatu sehingga hidup layaknya tak memiliki sebuah masalah. Aku harap aku juga dapat kembali merasakan hal seperti itu, hidup tenang tanpa perlu khawatir terhadap dunia yang juga membuatku berharap tuan putri tak menjadi dewasa. Aku tahu itu mustahil karena tiap mahluk hidup akan bertumbuh. Namun membayangkan dirinya mempelajari betapa busuk dunia ini di balik warna-warni yang dia rasakan ketika kecil, membuatku tak ingin kehilangan sosoknya yang riang penuh kebahagiaan bagaikan hangatnya sinar mentari. 

  Kami pun menghabiskan malam menonton acara yang digelar sembari menikmati berbagai makanan di sana yang diberikan secara gratis ketika para pedagang melihat kehadiran tuan putri di sampingku. Mereka yang awalnya terlihat kelelahan, seketika balik tersenyum penuh semangat ketika tuan putri datang menghampiri dan diberikan makanan terbaik dari yang terbaik sembari meminta agar tuan putri datang kembali mengunjungi mereka, rindu terhadap tawa riangnya yang terasa menghangatkan suasana setelah begitu lama dirinya tak menampakkan diri di luar dari mansion dan hanya memasang wajah murung.

  Tentu saja tuan putri setuju dengan mata berbinar-binar memandangi tiap cemilan gratis yang dapat dimakannya sepuas hati. Tapi perkataan tuan putri berikutnya tak hanya mengejutkanku tetapi juga mereka "Aku ingin hadiahku diberikan pada Zent. Zent takkan lama di sini, jadi aku ingin memberi Zent sebuah kenangan indah!" Ucapnya bangga terhadap rencananya itu. Namun, aku dapat mendengar kesedihan tersembunyi di balik nada riangnya. 

  Para pedagang yang semuanya berada di atas umur 35 tahun itu memandangku dari atas ke bawah lalu balik ke atas lagi, menilai apakah diriku pantas menerima perlakuan baik tuan putri, saling berpandangan lalu mengangguk bersamaan. Mereka datang mendekat, menarikku menjauh sesudah meminta izin pada tuan putri yang mengangguk cepat sembari menikmati cemilannya "Hey nak muda, sudah lama kami tak melihat nona muda tersenyum seperti itu. Kami yakin kaulah penyebabnya, tapi.. " Mereka semakin mendekat, memasang wajah garang masing-masing dengan suara penuh ancaman "Sampai kau membuatnya sedih, kami akan turun tangan sebelum Mr. Anderson bertindak dan kau harus berterimakasih untuk itu, kau mengerti?" 

  Sudah kuduga suatu saat nanti hal seperti ini akan terjadi. Siapa sangka terjadi begitu cepat dan melibatkan pria berumur. Tapi, melihat tuan putri yang bagaikan sebuah bunga di tengah-tengah padang rumput, siapapun akan memiliki sebuah dorongan untuk melindunginya jadi aku mengerti mengapa mereka begitu protektif layaknya memperlakukan putri sendiri.  

  "Aku berjanji atas jiwaku aku akan menjaganya sesuai tugas yang tuan putri berikan sebagai ksatria pribadi miliknya" Jawabku penuh komitmen tanpa mengalihkan pandangan dari pria berumur yang tampak seperti pemimpin karena hanya dia yang mengendalikan arah pembicaraan semenjak tadi.

  Ia juga menahan tatapannya seakan berusaha membacaku melalui mata, kemudian mengangguk mengiyakan, entah karena telah menemukan jawabannya atau karena mereka hanya mengetesku saja "Baiklah, kami pegang kata-katamu. Tolong, jagalah nona muda, jangan biarkan dirinya terluka, tidak setelah kepergian Sang ibu"