***
"Assalamu'alaikum, Mang Ujang!" teriak Hilmi ketika baru saja tiba di warung kopi milik mang Ujang.
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, wih semangat banget. Tumben, Mi," balas Mang Ujang dengan senyum yang bermekaran.
"Iya, dong ...," jawab Hilmi sambil menaikkan alisnya dan tersenyum lebar.
Kemudian Hilmi mengambil satu bakwan hangat yang ada di etalase warung mang Ujang.
Melihat Hilmi yang begitu semangat, mang Ujang pun bingung dan penasaran. "Cie ... ada apa gerangan, nih?"
"Gapapa ...," jawab Hilmi sambil mengunyah bakwannya dengan nikmat.
"Ah, kasih tau dong ... mainnya rahasia nih. Saya kan jadi ... pemasaran."
"Penasaran, Mang ...."
"Nah, itchu." Mang Ujang memainkan alisnya, kode agar Hilmi membuka suaranya.
Namun, Hilmi hanya menatapnya tanpa berbicara sedikit pun. Tersenyum dan menyimpan kesenangannya sendiri.
"Nasi uduk, Mang ... satu." Hilmi menunjukkan telunjuk kanannya.
"Gak ada. Abis!" Mang Ujang mengambil sebuah lap, lalu membersihkan etalasenya.
"Hah? Masih subuh lho, Mang. Masa udah abis?"
"Abis ... tapi kalo kamu cerita, baru ada."
Hilmi menyipitkan matanya ke arah mang Ujang.
"Saya udah kerja, terus gajinya udah dikasih duluan." Hilmi mengambil uang sepuluh ribuan dalam sakunya. "Nih, nasi uduk."
"Wih ... Alhamdulillah kalo gitu, Mi. Bisa sarapan nasi uduk tiap hari kamu."
"Iya, dong. Alhamdulillah ...."
Mang Ujang kemudian menyiapkan satu piring nasi uduk untuk Hilmi.
Sementara itu, Hilmi yang sedang asyik makan bakwan, mengambil satu gelas bening. Di isilah gelas itu dengan air yang ada di teko berbahan aluminium.
Ketika hendak meminumnya. "Woah!" Hilmi kepanasan karena airnya masih panas.
Mang Ujang kaget, melihat ke arah Hilmi. "Waduh, Mi. Itu baru aja mateng airnya, udah diminum."
"Duh, lidah saya mati rasa, Mang."
"Hahaha ... lidah boleh mati rasa, tapi kalo hati jangan."
Mang Ujang mengambilkan segelas air dingin untuk Hilmi. "Nih ... minum."
Hilmi pun mengambil gelasnya dengan cepat dan segera meminumnya.
"Nih, Mi. Nasi uduknya." Mang Ujang meletakkan piringnya di atas meja, tepat di depan Hilmi.
Melihat Hilmi yang masih kepanasan, mang Ujang pun menertawakannya.
"Yeh ... malah ketawa. Enggak baik tau, Mang ... tertawa di atas penderitaan orang lain."
"Hahaha ... emangnya kamu orang, Mi?"
"Bukan, saya Maung!"
***
Nadira baru saja sampai di toko donat tempatnya bekerja. Ketika hendak keluar dari mobil, dia tak sengaja melihat Hilmi yang sedang membersihkan kaca dinding toko donat itu.
Nadira melihat jam di gawai-nya. Terlihat di sana menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit.
"Pagi banget. Toko aja baru dibuka jam 8 ...," gumam Nadira dalam hatinya.
Bukannya keluar dari mobil, Nadira malah sibuk memperhatikan Hilmi. Padahal tujuan dia datang lebih pagi setiap hari, adalah untuk memulai pekerjaannya lebih awal.
Ya, lebih awal dia bekerja, maka pekerjaannya akan lebih cepat selesai. Jika cepat selesai, lebih cepat juga dia pulang.
Namun kali ini, seakan dia lupa semua tujuannya. Karena semua pikiran sudah tertuju pada Hilmi.
Setelah Hilmi selesai membersihkan kaca dinding dan melangkah menuju dapur, mulai menghilang dari pandangan Nadira.
Seketika itu juga Nadira tersadar kalau dia sudah setengah jam membuang waktunya hanya untuk melihat Hilmi melakukan pekerjaannya.
"Hah, udah jam berapa ini. Bisa-bisanya dari tadi cuma liatin orang, kurang kerjaan banget sih kamu, Nad." Nadira pun segera turun mobilnya dengan perasaan menyesal dan sesekali menggerutu.
Ketika Nadira masuk ke toko. Hilmi yang baru saja keluar dari dapur menyapanya. "Selamat pagi, Mbak."
Nadira berhenti sekejap, terperangah dengan penampilan Hilmi yang segar. Meskipun pekerjaannya hanya pelayan dan pembantu bersih-bersih, tapi Hilmi tetap menjaga penampilannya.
"Pagi," jawab Nadira singkat dengan raut wajah tegas dan berwibawa.
Nadira pun langsung beranjak ke arah tangga meninggalkan Hilmi.
"Udah imut, baik, tegas ... rajin pula ...," puji Hilmi dengan lirih sambil tersenyum gemas.
***
"Mas, makanan saya kok enggak dianterin, sih?" tanya salah satu pelanggan laki-laki.
"Lho? Bukannya tadi pasangan Mas yang minta Mas buat ambil sendiri makanannya?" jawab Hilmi membela diri.
"Ya ampun, Mas. Kamu kan pelayan, kamu dong yang seharusnya nganterin."
Hilmi bingung atas sikap pelanggan yang satu ini. "Iya, saya memang pelayannya. Tapi ... pasangan Mas yang nyuruh Mas untuk ambil makanannya sendiri."
"Lho? Seharusnya Mas maksa, dong. Masa iya biarin pelanggannya buat ambil makanannya sendiri?"
Karena melihat sedikit kegaduhan yang berlangsung, Rara segera menghampiri.
"Kenapa ini? Kenapa ini?" tanya Rara penasaran.
"Ini, Mbak. Pelayannya gak bener. Masa saya yang suruh ngambil makanannya sendiri."
"Lho, Mas ... tapi kan saya udah bilang. Saya gak nganterin makanannya, karena pasangan Mas yang nyuruh Mas buat ambil sendiri."
"Pokoknya, kamu yang salah!"
"Lho, kok saya?"
"Aduh ...," potong Rara geram. "Jadi siapa yang salah ini?"
"Dia!"
"Mas ini."
Jawab pelanggan laki-laki itu dan Hilmi secara berbarengan.
"Hah?" sahut Rara yang masih kebingungan.
"Ra, dia yang salah dong. Kan saya nurut sama pasangannya, tapi Mas ini malah nyalahin saya."
"Lho? Kok jadi nyalahin saya? Udah jelas jelas kamu yang salah. Gimana sih pelayanan di toko donat in ...." Belum selesai berbicara, tiba-tiba pelanggan itu ditarik telinganya oleh seorang wanita.
"Aduh, aduh ... sakit, Yang!" jerit pelanggan itu.
"Bagus kamu, ya ... bagus! Udah salah, malah nyalahin orang. Kalo gak mau aku suruh buat ambil makanannya, bilang!"
"Eng–enggak, Yang. Mau kok, aku mau."
"Mau mau ... ngomong sama tembok! Udah ayo ah pulang, males aku di sini!" Wanita itu tak berhenti menarik kuping pasangannya.
"Mas! Mbak! Maafin suami saya! Dia emang ngeselin orangnya." Wanita itu tersenyum kepada Hilmi dan Rara. Lalu wajahnya berubah lagi menjadi macan ketika mengarah ke pasangannya.
"Hehe ... iya, Mbak. Gapapa ...," jawab Hilmi dan Rara berbarengan.
"Maafin kami juga, kalau pelayanannya kurang memuaskan." Hilmi merapatnya kedua tangannya dengan sopan.
"Enggak, kok. Pelayanan di sini bagus. Tadi saya dikasih cokelat sama kokinya. Makasih, ya. Saya pulang dulu, permisi." Kedua pelanggan itu pun pergi.
Namun, menyisakan tanda tanya bagi Rara dan Hilmi.
"Hah? Emangnya ... kita ada bagi-bagi cokelat gratis?" tanya Rara heran.
Hilmi menaikkan pundaknya, tidak tahu.
Rara pun melihat ke sekeliling. Dan terdapat Tata yang sedang asyik bermain dengan anak-anak di zona bermain sambil membagikan cokelat-cokelat.
Hilmi dan Rara kemudian menghampirinya.
"Ih, Tata ... itu cokelat dari mana?" tanya Rara.
"Dari hatiku ...," jawab Tata gombal.
"Aaa ...." Rara tersipu malu sambil memainkan kakinya dan jari-jarinya.
"Rara mau?"
Rara mengangguk sambil tersenyum manis.
"Nih ...." Tata menyodorkan satu cokelat kepada Rara.
Ketika Rara hendak mengambilnya. Tata menarik lagi cokelatnya. "Eits ...."
Rara manyun.
"Susu, susu apa yang paling menyenangkan?" tanya Tata dengan gemas.
"Hm ...." Rara menggeleng.
"Jawabannya ...."