"Gimana, Kak? Udah?" tanya gadis yang tadi menyuruh Hilmi.
"Udah, Mbak ...," jawab Hilmi.
"Eh, jangan panggil Mbak. Panggil Rara aja, hehe."
"Oh ... iya, Rara."
"Nah, cakep!" sahut Rara, "oh iya ... nama kakak siapa kalo boleh tau?"
"Hilmi ...," jawab Hilmi seraya memberikan tangan kanannya.
Dengan hangat, Rara menyambutnya.
Tiba-tiba, pria yang mengganggu Hilmi dan wanita tadi datang, menepuk pundak Hilmi. "Eh! Pelayan baru ya, Bro?"
"Eh, iya Mas."
Pria itu mengambil tangan Hilmi dari Rara dan bersalaman dengan kuat. "Kenalin. Ayman, kepala koki di toko donat ini."
Belum sempat Hilmi membalas, Rara berkata, "Hm ... jangan sok keren di depan warga baru. Lagian masih enakan donat bikinan Tata, haha ...."
Ayman mengernyitkan keningnya. "Yeh ... Tata tuh bagian goreng sama kasih toping aja, Ra. Yang bikin adonannya saya."
"Nah kan! Kalo donatnya udah digoreng terus dikasih topping ... jadi enak! Fix! Donat buatan Tata yang enak!" balas Rara dengan semangat. Membuat Ayman makin geram dan menyipitkan matanya.
Hilmi hanya bisa tertawa kecil menyaksikan pertengkaran mereka yang bodoh. Mempertahankan opini masing-masing dengan damai, namun tetap membuat panas di hati lawan.
"Terserah." Ayman lalu pergi ke dapur dengan wajah masam.
Hal itu membuat Rara tertawa, karena berhasil membuat Ayman kalah debat.
"Haha ... yah ... Kak Ayman jangan ngambek dong, Kak." Rara tertawa meledek sambil melirik Ayman yang sudah mulai menjauh darinya.
Hilmi menggelengkan kepalanya dan ikut tertawa bersama Rara. Kemudian mengambil tas yang ada di belakangnya.
Ketika berbalik, tiba-tiba ada Nadira yang berdiri di belakangnya sambil melipat kedua tangannya. Melihat segala canda yang sedari tadi terjadi.
"Eh, Mbak Nadira," sapa Hilmi sambil senyum lebar, "lucu ya, Mbak?"
Nadira tersenyum dan mengangguk. Hilmi pun menoleh ke arah Rara untuk menunjukkan ekspresi Nadira, namun Rara sudah kembali ke tempat kerjanya semula.
"Loh? Kok malah pergi, enggak sopan atuh kan ada Mbak Nadira. Masa gak disapa," ucap Hilmi sambil memperhatikan Rara.
Rara yang melihat Hilmi berada di dekat Nadira pun memberi kode peringatan. Memasang wajah takut akan disemprot oleh atasannya itu.
Seketika Hilmi sadar, berbalik ke arah Nadira yang masih tersenyum dalam keadaan tangannya yang terlipat di depan.
Namun kali ini Hilmi sadar, itu bukanlah senyuman rasa senang atau bahagia, melainkan rasa ingin marah yang diluapkan dengan cara lebih sadis.
"Lanjutin ketawanya, biar kerjanya makin asik. Terus jadi gak bener, deh." Nadira masih memasang senyuman sadis di wajahnya.
Jantung Hilmi sontak langsung berdetak. Bukan karena jatuh cinta, tapi lagi-lagi takut diterkam serigala cantik berbulu beruang madu. Menggemaskan, namun ganas.
"Permisi, Mbak ...." Hilmi langsung pamit undur diri. Takut sekali jika Nadira memarahinya di depan pelanggan-pelanggan yang damai sentosa.
Hilmi mengambil tasnya dengan segera. Untung saja, kali ini Nadira masih bersikap tidak terlalu ganas. Syukur Hilmi dalam hatinya.
***
Tok tok tok ...
Suara pintu di ruangan Nadira terketuk. "Masuk!" teriak Nadira yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Ketika pintu itu terbuka, tampak Hilmi yang berada di baliknya. Nadira memalingkan tatapannya yang semula fokus ke arah laptop.
Hilmi melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Nadira menaikkan alisnya, melihat ke arah Hilmi yang tampak menyatukan kedua tangannya dalam satu genggaman.
"Permisi, Mbak ...," ucap Hilmi memulai percakapan.
"Ya? duduk." Nadira kembali menatap laptop, melanjutkan pekerjaannya.
Hilmi menarik kursi hitam yang berada di depannya, duduk dengan posisi kaki merapat dan tangan di atas paha.
"Hm ... sebelumnya saya minta maaf kalau misalkan ... permintaan saya di luar peraturan toko, Mbak." Hilmi berbicara dengan nada pelan.
"Hm." jawab Nadira yang masih nampak sibuk.
"Hm, sekali lagi saya minta maaf banget ya, Mbak. Saya boleh nggak, kalau ...."
Hilmi menggantung kata-katanya. Membuat Nadira yang ingin cepat-cepat mendengarkan menjadi sedikit geram.
"Aduh, udah deh langsung ngomong aja ke intinya. Pusing tau gak saya dengerin lama-lama."
"Eh iya, Mbak. Jadi ... boleh nggak ya kalau gaji saya diambil awalan?" tanya Hilmi dengan nada agak takut.
"Hah? baru kerja udah minta gaji. Ya enggak boleh lah."
Mendengar jawaban Nadira, Hilmi menjadi bingung apa yang harus dia katakan agar tetap bisa mendapat gajinya malam ini.
Sambil memegang perutnya, Hilmi hanya terdiam menunggu kata-kata Nadira selanjutnya. Apapun, dia berharap Nadira akan mengatakan apapun yang membuatnya lepas dari rasa gundah ini.
Karena Hilmi hanya terdiam, Nadira pun meliriknya. Namun, dia tidak berbicara sepatah kata pun. Tetap melanjutkan pekerjaannya yang hampir selesai.
Waktu berlalu. Sudah lama Hilmi menunggu dan tetap duduk di ruangan yang dingin itu. Benar-benar menunggu Nadira untuk berbaik hati padanya.
Pekerjaan Nadira pun selesai. Dia mematikan laptopnya dan menutupnya. Lalu memasukkannya ke dalam tas dan merapikan barang-barangnya.
Ketika hendak berdiri untuk pulang, dia masih heran mengapa Hilmi masih terdiam di sini. Tidak berkata apapun pula. Hanya menatap kosong meja kerjanya.
Nadira kemudian duduk kembali dan bertanya. "Emangnya buat apa sih, Mi?"
Setelah lama Hilmi mematung, dia menatap kembali ke arah Nadira. Hilmi merapatkan kedua bibirnya sambil tersenyum rata.
"Saya ... udah enggak punya uang, Mbak. Dari pagi belum makan," jawab Hilmi sambil tersenyum menyamarkan rasa laparnya.
Nadira tersentak. Pernyataan Hilmi benar-benar membuat dia mengingat akan masa lalunya. Sengsara dan seperti tidak ada apapun yang bisa dia perjuangkan.
"Orangtua kamu?"
"Di kampung, Mbak. Itu juga belum bisa ngirimin saya uang saku. Enggak enak juga mintanya," jawab Hilmi yang dihiasi dengan senyuman.
"Orangtua kamu aja enggak bisa ngasih kamu, apalagi saya?"
Hilmi hanya bisa terdiam. Memasang wajah yang benar-benar pasrah.
Nadira tertawa. Hilmi pun ternganga melihat Nadira tiba-tiba tertawa. Disaat keadaan lapar seperti ini, Hilmi melihat tawa Nadira yang entah kenapa membuatnya merasa senang dan melupakan rasa laparnya.
Nadira tiba-tiba berhenti tertawa. "Kenapa ngeliatin saya kayak gitu?"
"Imut, Mbak ...," jawab Hilmi yang seketika sadar, "Eh ...." Hilmi menutup mulutnya dengan tangan.
Tanpa basa-basi lagi, Nadira kemudian merogok tasnya. Lalu memberi sejumlah uang untuk Hilmi.
"Nih ...." Nadira memberi uang itu kepada Hilmi.
Dengan hati yang sangat senang Hilmi menerimanya. "Makasih banyak, Mbak!"
"Iya ... makan yang banyak. Biar gak kurus kering."
"Hehe ... iya, Mbak. Mbak juga jangan lupa makan yang banyak ya, biar gak sakit."
Hilmi memasang senyuman manis kepada Nadira, membuat Nadira merasa geli dan sedikit risih.
"Ah ... udah, udah. Saya pulang. Jangan lupa kunci pintu semua ruangan. Kunci pintu depan juga." Nadira meninggalkan ruangan itu.
"Siap, Bidadari."
Nadira mengehentikan langkahnya. "Apa tadi kamu bilang?"
"Siap, Mbak Nadira."
Nadira terdiam, sepertinya tadi dia salah dengar. Pikirnya. "Oh."
Hilmi pun tersenyum menahan tawanya. Betapa bahagianya dia bisa bertemu wanita seimut dan sebaik Nadira.