Cubitan Nadira langsung melayang di lengan kanan Hilmi. Suruh siapa jujur banget jadi orang, awokwoak.
"Sakit, Mbak," lirih Hilmi.
"Gak peduli!" balas Nadira dengan nada judesnya.
Rara yang berada di samping mereka pun hanya bisa tertawa kecil seraya menjaga mulutnya dengan tangan kanan agar tidak kemasukan lalat.
"Apa, Ra? Kenapa? Mau saya cubit juga?" kata Nadira yang agak kesal dengan Rara. Walaupun ancaman itu hanya becanda.
Mendengar ancaman Nadira, gadis imut itu pun menggelengkan kepalanya sambil menunjukkan dua jari mengajak ingin berdamai.
Nadira menghembuskan napasnya berat lalu kembali memandang ke arah jalanan yang ramai dilalui pengendara.
Keadaan hening seketika. Hilmi yang sudah lelah menyandarkan tubuhnya ke dinding yang ada di belakangnya. Hal itu diikuti Rara.
Nadira menghirup udara malam yang terasa dingin dan menghembuskannya lagi dengan berat. "Enak ya udaranya. Dingin, adem," ucap Nadira dengan tenang.
Karena tidak ada respon dari dua makhluk yang ada di dekatnya, Nadira pun melihat ke arah mereka berdua.
"Yeh ... malah tidur, dong," kesal Nadira dengan nada pelan.
Karena melihat mereka begitu tenang dan nyaman bersandar, Nadira yang juga terlihat lelah ikut menyandarkan tubuhnya di dinding dan kemudian memejamkan kedua matanya.
Benar saja, rasanya begitu nikmat. Seperti tak ada beban yang memberatkan punggungnya.
***
"Mi, nanti tolong bawain minuman saya ke atas, ya," pinta Nadira dengan nada elegannya.
"Iya, Mbak." Hilmi menurut sambil tersenyum sopan.
Kejahilan Nadira seketika muncul. "Enggak usah senyum-senyum. Mirip badut mampang tau gak kalo kayak gitu," ledek Nadira.
Karena tahu Nadira hanya bercanda—meskipun nadanya serius, Hilmi hanya meresponnya dengan senyuman yang sengaja dilebih-lebihkan.
Nadira pun mengernyitkan dahinya dan langsung beranjak dari sana.
Setelah beberapa lama, Hilmi ke dapur untuk memeriksa apakah minumannya sudah selesai dibuat oleh Ayman atau belum.
"Man, udah dibikin minumannya?" tanya Hilmi.
Ayman yang sedang mencetak adonan donat pun menjawab, "Ngga jadi sekarang, Mi. Katanya nanti aja, tuh minuman yang udah jadi akhirnya saya yang minum."
Hilmi hanya memonyongkan bibirnya tanda mengerti.
"Kamu mau? Minum aja, Mi." Ayman mempersilakan.
"Boleh nih, Man?"
"Iya, minum aja. Haus pasti, kan?" Ayman tersenyum hingga terlihat giginya yang kinclong seraya menunjung Hilmi tanda menebak.
Hilmi hanya cengengesan seperti bocah yang minta uang jajan lima ribu malah dikasih sepuluh ribu.
Tanpa basa-basi lagi, Hilmi segera mengambil gelas berisi jus mentimun yang terlihat segar dengan bulir-bulir air di luar gelasnya.
Tak butuh waktu lama, segelas jus mentimun itu pun langsung ludes dan masuk ke dalam perut Hilmi.
"Seger, Man," katanya sambil tersenyum pada Ayman.
"Sepuluh ribu aja, Mi." Ayman membalas senyuman Hilmi seraya membuka tangannya meminta uang.
Sebelum melihat kepolosan Hilmi yang langsung merogoh kantong celananya, Ayman berkata, "Bercanda Hilmi sayang." Disusul dengan tawa kecilnya yang puas meledek Hilmi.
Hilmi langsung tersenyum, senyumnya itu seperti orang nahan BAB. Tanpa pikir panjang lagi, dia pun segera mencuci gelasnya dan kembali bekerja.
"Makasih ya, Ayman sayang," Hilmi balas dendam menggoda Ayman.
"Sama-sama, Beb." Itu Ayman.
Tata yang melihat tingkah laku mereka berdua pun hanya bisa menyeringai karena merasa geli sekaligus terhibur.
Dua jam berlalu, keadaan toko donat mulai sepi, mengingat adzan zhuhur akan segera dikumandangkan kurang dari satu jam lagi.
"Kak Hilmi!," teriak Rara memanggil pelayan donat yang tampan itu.
Hilmi pun menoleh dan melihat aba-aba Rara yang menyuruhnya untuk datang menghampiri si kasir yang menggemaskan itu.
"Kenapa, Ra?" tanya Hilmi kepada Rara.
"Dipanggil kak Ay tuh," jawabnya.
Karena ingat Hilmi akan membawakan minuman untuk Nadira, dia pun bergerak cepat ke dapur dan langsung mengantarkan minuman pesanan atasannya itu.
Setelah sampai di ruangan Nadira, Hilmi melihat wanita imut itu sedang menyandarkan tubuhnya di atas meja dengan kedua tangan yang dilipat untuk menopang kepalanya.
Perlahan Hilmi mendekatinya. Setelah diperhatikan, ternyata matanya terpejam. Wanita itu terlihat layu dan lesu. Sepertinya kelelahan, begitulah pikir Hilmi.
Melihat atasannya yang selalu tegas dan tampil sangar, ternyata dia juga merupakan sosok wanita seperti biasanya.
Nadira memang pekerja keras, Hilmi salut padanya. Baru di usianya yang masih kepala dua, Nadira sudah bisa menjadi pemimpin di toko donat yang terkenal ini.
Orangtuanya pasti bangga memiliki anak yang mandiri dan sekuat ini. Jangankan mereka, Hilmi yang bukan siapa-siapanya pun sangat menyukainya, ehh ... maksudnya bangga juga.
Setelah beberapa saat Hilmi mengagumi atasannya itu, dia pun tersadar kalau minuman yang dipesan Nadira adalah es jus.
Jika dibiarkan terlalu lama pasti akan mencair dan rasanya menjadi hambar. "Duh, gimana ya," gumam Hilmi kebingungan.
"Kalo dibangunin nanti ngomel-ngomel kayak mak lampir. Kalo enggak dibangunin nanti esnya mencair." Setengah mati Hilmi jika sudah berhadapan dengan atasannya yang satu ini.
"Bangunin aja kali, ya? Ganggu gak, ya? Duh, pilihan kali ini benar-benar sulit, Bung!" Hilmi tak henti-hentinya bergumam.
Setelah beberapa saat berpikir untuk mengambil keputusan yang tepat, tiba-tiba saja Nadira terbangun dari tidurnya yang sangat lelap.
"Akhirnya bangun sendiri. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, Engkau menyelamatkanku dari serangan singa ganas ini," batin Hilmi merasa lega.
Karena terlalu lama terbenam dalam tidurnya, mata Nadira terlihat bengkak. Wajahnya sangat menunjukkan bahwa wanita itu benar-benar kelelahan. Matanya yang bengkak memunculkan tanda tanya bagi Hilmi.
"Ini, Mbak. Minumannya." Hilmi meletakkan minuman itu setelah Nadira memandangnya dengan mata yang masih menyipit.
"Kamu dari kapan di sini?" tanya Nadira yang mulai curiga.
Entah disaat sadar ataupun disaat nyawanya belum kumpul seperti sekarang, nada judes dan prasangka buruknya tetap tidak berkurang sedikitpun.
Belum sempat Hilmi menjawab, Nadira melanjutkan kata-katanya, "Kamu liatin saya tidur dari tadi, ya? Enggak sopan banget, sih. Bukannya dibangunin." Nadira mendengus kesal.
"B–bukan gitu, Mbak." Hilmi panik tingkat dewa. "Tadi saya mau bangunin Mbak, tapi takut Mbak keganggu, makanya saya mikir-mikir dulu."
Melihat wajah Nadira yang seperti iblis baru bangun tidur, Hilmi terlihat panik dan berdoa semoga masih ada harapan untuk hidup.
"Bohong!" tuduh Nadira makin menjadi-jadi.
"Suwer dah, Mbak." Hilmi menunjukkan dua jarinya ingin berdamai karena pasrah.
Karena terlalu lelah berdebat, Nadira pun hanya bisa menghembuskan napasnya berat.
Melihat minuman di atas meja, Nadira pun mengambil gelas itu dan meminumnya. Hatinya pun sedikit adem dan tenang.
Tapi, karena melihat Hilmi yang masih berdiri di depannya membuat hatinya memanas lagi.
"Ngapain kamu masih di sini?" tanya Nadira dengan nada yang sedikit meninggi namun tetap saja terdengar lesu dan pelan.
"Maaf, mata Mbak Nadira kok bengkak? Abis nangis?" tanya Hilmi dengan nada rendah karena khawatir dengan kondisi atasannya itu.
Nadira pun membuka gawai untuk melihat keadaan wajahnya dengan kamera. Benar saja, wajah Nadira benar-benar amburadul. Matanya bengkak dan terlihat kulit yang sedikit memerah di beberapa bagian.
Dia pun menaruh gawai itu dan menghembuskan napasnya dengan perlahan.