"Mbak?" Hilmi ingin memastikan bahwa Nadira baik-baik saja.
Namun, Nadira yang serba cuek dan masa bodoh pun juga seperti itu pada dirinya. Dia juga merasa Hilmi bukanlah orang yang tepat untuk dijadikan tempat sambat.
"Udah, kamu balik kerja sana!" perintah Nadira.
"Tapi Mbak gapapa, kan?"
"Gapapa, udah kerja sana! Jangan cari-cari kesempatan buat istirahat, deh."
Hilmi pun langsung menuruti perintah atasannya yang cantik itu. Baru saja hendak keluar, tiba-tiba datang laki-laki aneh yang kemarin membantu mereka memperbaiki mikser yang rusak itu.
"Permisi, Mbak," sapanya dengan sopan.
"Ya? Masuk," jawab Nadira.
Hilmi yang berpapasan dengan laki-laki itu pun meledeknya. "Hati-hati, Mas. Mbak Nadira galak," bisiknya seraya menunjuk ke arah Nadira dengan bola matanya.
"Haha! Iya, Mas," jawabnya dengan agak keras. "Mbak, masa kata dia Mbak galak," cepu laki-laki itu seraya mengarahkan telunjuknya ke arah Hilmi.
Sontak hal itu membuat Hilmi terkejut dan panik. Bisa-bisanya dia berkata dengan bar barnya kepada Nadira.
"Hilmiiiiiii!" geram Nadira.
"Maaf, Mbak! Bercanda!" Hilmi pun langsung kabur untuk menghindari amukan serigala ganas.
Nadira menghembuskan napasnya berat. Laki-laki itu hanya tertawa puas setelag berhasil mengerjai Hilmi. Kemudian, dia menghampiri Nadira.
"Saya boleh duduk, Mbak?" tanyanya.
"Nanti!" Nadira masih terlihat kesal.
Dengan sabar laki-laki itu pun menunggu redanya amarah Nadira.
Setelah beberapa menit, barulah dia dipersilakan untuk duduk.
"Ada apa kamu ke sini?" tanya wanita imut itu. "Oh, iya. Nama kamu siapa?"
"Arhan, Mbak."
Nadira membulatkan bibirnya.
"Saya ke sini mau nanya. Kalo saya kerja di sini boleh enggak, Mbak?"
Kali ini giliran mata Nadira yang membulat. "Mau ngambil posisi apa kamu?"
"Apa aja deh, Mbak. Jadi pelayan atau OB juga gapapa," Arhan tersenyum ramah.
Nadira tidak ingin asal dalam merekrut karyawan di sini. Dia pun menanyakan beberapa hal tentang Arhan. Dan ternyata, dia adalah anak tunggal yang tinggal sendiri.
Orang tuanya sudah meninggal sejak dia masih balita dan dibesarkan oleh neneknya yang baru saja menyusul kedua orangtuanya itu.
Nadira paham betul bagaimana perasaan Arhan saat ini. Hidup tanpa seorang ayah saja sudah membuat Nadira begitu menderita. Bagaimana dengan Arhan? Pasti dia merasa putus asa dan terasa berat jika berjuang sendirian. Apalagi sanak saudaranya yang jauh, berbeda pulau.
Karena kemarin Arhan sudah membantunya tanpa meminta imbalan sedikitpun, dengan penuh tanggungjawab dan rasa kemanusiaan, Nadira pun menawarkannya untuk menjadi office boy di sini.
"Wah, beneran, Mbak?" tanya Arhan dengan senyum sumringah di wajahnya.
Nadira mengangguk. "Iya, kamu boleh kerja sekarang juga."
"Terima kasih banyak ya, Mbak!" kata Arhan dengan begitu semangat. "Kalo gitu saya permisi dulu. Sekali lagi terima kasih Mbak!"
"Iya, sama-sama."
Arhan pun segera keluar dari ruangan itu sambil jingkrak-jingkrak seperti bocah yang baru saja dapet door prize es krim satu gerobak.
Nadira yang melihatnya hanya bisa menggeleng dan tertawa kecil. Semangat Arhan membuat Nadira tertular dan kembali bersemangat.
***
Setelah jam jeda salat zhuhur sudah selesai, Nadira yang merasa stres bekerja di atas dengan terus-menerus menatap layar laptopnya, memutuskan untuk main ke bawah, melihat keadaan toko donat, sekalian mengecek kinerja karyawannya.
Melihat Hilmi yang sedang membersihkan meja, pikiran jahil Nadira berniat untuk mengganggunya.
"Mi!" teriak Nadira membuat bahu Hilmi terlonjak sedikit.
"Ck! Ngage–," putus Hilmi yang tidak jadi marah setelah mengetahui bahwa Nadira lah yang mengagetkannya. "Eh, Mbak Nadira." Hilmi tersenyum ramah.
Senyumannya itu dibalas oleh Nadira dengan sangat manis dan ramah. "Wah, kenapa nih?" gumam Hilmi merasa curiga.
Tumben sekali Nadira tersenyum manis seperti itu padanya. Palingan, ada sesuatu yang membuatnya marah dan dia menutupinya dengan senyuman manis yang sadis untuk menyindir, pikir Hilmi.
Namun, senyumannya kali ini benar-benar terlihat tulus tanpa ada sedikitpun paksaan yang menodainya.
"Kenapa?" Nadira menaikkan alisnya. "Lanjutin aja kerjanya."
Hilmi pun heran dengan kelakuan atasannya itu yang tiba-tiba menjadi manis dan lembut. Seperti bukan Nadira.
Dengan perasaan gugup dan malu, Hilmi melanjutkan pekerjaannya.
"Duh, Mbak Nadira ngapain sih di sini? Bikin salting aja, mana ngeliatin terus lagi," batin Hilmi dengan perasaan sedikit kesal sekaligus senang.
"Mi," panggil Nadira. Ketika Hilmi menoleh Nadira langsung berkata, "Hm, gak usah nengok, lanjutin aja. Cuma mau nanya-nanya doang kok."
Perkataannya itu langsung dibalas senyuman dan anggukan pelan oleh Hilmi.
"Nanti malem sibuk, gak?" Nadira menaikkan alisnya.
Hilmi yang masih terus mengelap meja hingga kinclong menjawab, "Enggak, Mbak. Kenapa?"
"Makan malem berdua, yuk!"
"Hah?" Seketika tangan Hilmi kaku dan matanya membulat seakan tak percaya.
Karena melihat reaksi Hilmi yang nampak tak bersemangat, Nadira duduk di ujung kursi panjang yang mejanya sedang Hilmi bersihkan.
"Kalo gak mau juga gapapa," ucap Nadira menggigit bibir bawahnya dan menatap ke arah pelanggan yang berlalu lalang.
Kebetulan, toko donatnya saat ini sedang ramai. Jadi, untuk menatap dan melihat-lihat pelanggannya tidak terlalu canggung dan membuat mereka risih. Toh, mereka juga tidak sadar sedang diawasi Nadira.
"Bukan gitu, Mbak." Hilmi berusaha untuk membenarkan.
"Mbak, kenapa mau ngajak saya makan berdua? Padahal kan, saya cuma pelayan di sini."
Omongan Hilmi barusan seketika menyakiti hati Nadira.
Apakah dia terlalu sombong hingga Hilmi berpikiran bahwa dia tak ingin makan bersama seorang pelayan? Lagipula, kebaikan dan keramahan Hilmi membuat Nadira merasa Hilmi adalah teman baiknya.
"Udah buruan, tinggal jawab aja apa susahnya? Enggak usah banyak tanya. Mau atau enggak?" kata Nadira dengan nada sedikit kesal.
Bukan tak mau menjawab, tapi Nadira sulit untuk mengungkapkannya. Entah kenapa, dia tidak bisa berkata manis secara langsung. Apalagi jika yang dia hadapi adalah seorang laki-laki.
"Kalo ditanya mau atau enggak. Ya ... saya mau lah, Mbak." Hilmi tetap mengelap meja sambil sesekali melihat ke arah Nadira.
"Tapi–"
"Apa?" Nadira penasaran.
"Makannya jangan di restoran ya, Mbak. Uang saya takut enggak cukup, hehe."
Mendengar kata-kata Hilmi barusan membuat Nadira bertanya-tanya. Padahal kan, gaji pelayan di sini sudah mencapai upah minimum provinsi, bahkan dilebihkan dengan adanya bonus kemarin. Bagaimana bisa Hilmi bilang tidak cukup?
"Bonus yang kemarin kan ada, Mi," ucap Nadira dengan entengnya.
"Udah abis, Mbak."
Nadira melotot, "Cepet banget abisnya. Uangnya kamu cemilin, Mi?"
Hilmi tertawa mendengar kata-kata Nadira barusan. "Enggak lah, Mbak."
Karena sudah selesai mengelap meja, Hilmi meletakkan sapu tangan berwarna merah itu di lehernya. Entah kenapa, dia terlihat lebih tampan dengan hiasan kain lap itu. Nadira pun baru menyadari ketampanan Hilmi sekarang. Terima kasih, kain lap.
"Uangnya udah saya kirim ke kampung. Kebetulan, bapak saya lagi sakit, Mbak."
Nadira langsung terdiam. "Sakit apa, Mi?" tanya Nadira pelan.