webnovel

Bab 5

"Jangan-jangan sosok Sandy yang mencekik mu, Im." Ujar ku.

"Astaghfirullah.... Bisa juga, A."

Aku pun mendekati Ima. "Kamu dicekiknya gimana, Im?" Tanya ku.

"Ima dicekik pakai tali jemuran warna hijau, A."

"Hah?" Sontak aku dan Mala terkejut serentak.

Aku segera berlari ke kamar Mala.

"Malaaaa...."

"Imaaaa...."

Ku panggil mereka.

"Iya, A." Mereka menghampiri ku.

"Angkat meja-meja. Kita lepas tali jemuran yang menggantung di plapon ini."

Dengan dua tumpang meja. Aku menaiki meja tersebut untuk melepas tali jemuran yang menggantung di plapon. Awalnya kami pikir ini adalah tali ayunan untuk bayi. Tapi ternyata ini adalah tali yang digunakan Sandy untuk gantung diri.

Talinya sudah terlepas, segera ku bakar agar tali tersebut tidak kembali lagi seperti sapu yang kami buang.

"Alhamdulillah.... Satu sudah musnah. Setidaknya kita sedikit lebih aman." Ucap ku.

******

"Lebih baik hari ini kita khusus membersihkan rumah ini, terutama di bagian gudang dan dapur." Ajak ku pada adik-adik ku. Karena hari ini hari minggu, di mana mereka berdua sedang libur bekerja.

Sungguh banyak barang-barang yang tak berguna di gudang ini. Dari puluhan botol sirup yang dikoleksi sampai bubuk kopi kemasan yang bertahun-tahun tak dibuang. Sudahnya sampah-sampah plastik yang dikumpulkan dan tak dibuang.

Ada satu kerdus yang terbungkus rapi. Kerdus yang lumaya besar dan sangat berat ketika digeser untuk disusun.

"Apa sih ini isinya? Kok berat banget?" Tanya Ima.

"Jangan-jangan mayat, Im." Ujar Mala.

"Hust.... Jangan bilang yang aneh-aneh deh, La."

"Ya siapa tau ajakan, A." Ujar Mala.

"Benar juga sih. Jangan-jangan isinya tulang belulang tengkorak manusia?"

"Tapi, kalau tulang tengkorak manusia pasti ringan, A." Ujar Ima.

"Iya juga ya."

"Sudahlah, Im. Buka aja kerdusnya." Perintah ku.

Ima pun membuka isi kerdus tersebut.

"Oh, isinya cuma baju-baju bekas, A."

"Ada fotonya juga, A."

"Sepertinya foto keluarga."

Aku pun mendekati Ima.

"Mana sini aku lihat, Im."

"A. Laki-laki ini seperti laki-laki yang menyekik ku tadi, A." Ujar Ima.

Mendengar itu, Mala segera mendekat karna penasaran.

"Yang mana, Im?" Tanya Mala.

Ima pun menunjuk foto laki-laki di pojokan.

"Apa ini yang namanya Sandy?"

"Bisa jadi, A." Ujar Mala.

Bulu kuduk ku mulai merinding. "Buruan segera kita susun lagi kerdus ini."

******

Usai membersihkan dapur dan gudang. Si pemilik rumah menelpon Mala. Kami diundang untuk berhadir diacara haulan anak sang pemilik rumah.

"Jam berapa sih acaranya, La?" Tanya ku.

"Katanya sih tadi habis isya, A."

"Berarti sekitar jam 8 malam ya?"

"Duh malam banget itu, La."

"Berani nggak nanti kita pulang ke rumah?"

"Hmmmm.... Tapi, nggak enak kalau nggak hadir, A."

"Iya, juga sih. Ya sudah, bismillah aja. Semoga tidak ditakut-takuti lagi kita bertiga."

"Aamiin..." Ucap Ima dan Mala serentak.

******

Jelang waktu sholat magrib tiba-tiba listrik di rumah kami mati lagi.

"Ini memang mati listrik atau listriknya menjegleg lagi sih?" Tanya ku.

"Coba kamu cek ke teras dulu, Im." Suruh ku.

"Nggak ah, nggak mau. Kak Mala aja yang mengeceknya."

"Nggak, aku nggak mau." Mala pun menolaknya.

"Gimana sih? Kalau nggak ada yang mau, biar aku saja yang mengeceknya. Dan kalian tunggu di sini."

Tapi, ternyata mereka pun tidak mau menunggu di dalam rumah. Mereka pun ikut mengeringi ku ke teras rumah.

"Owh bukan ngejegleg. Tapi memang seluruhnya listrik padam."

"Kita perginya sekarang aja. Nanti kita sholat magrib di mushala atau di masjid saja." Ujar ku.

******

Sesampainya di rumah pak Awis. Para tamu undangan sudah pada berkumpul. Sepertinya sebentar lagi acara akan di mulai.

Para tamu perempuan dipersilahkan memasuki ruangan samping. Ruangan samping khusus untuk tamu perempuan. Sedangkan tamu laki-laki khusus di ruangan depan.

Ketika acara dimulai dan pak ustadz memulai membacakan do'a haul khusus untuk si almarhum.

"Mari sama-sama kita do'a almarhum Sandy Arifin bin Muawis"

Kami bertiga terkejut. Ternyata ini acara haulannya Sandy yang ke 10 kalinya. Berarti sudah 10 tahun Sandy meninggalkan dunia ini.

Ditengah pembacaan do'a untuk Sandy. Aku melihat sosok Sandy yang tengah mengintip dari balik pintu kamar.

"Astaghfirullah." Aku terkejut.

Sosok itu tanpa mengenakan pakaian, hanya mengenakan celana pendek dengan tali jemuran yang berwarna hijau yang masih melingkar di lehernya.

"Kenapa, A?" Tanya Mala.

"Coba kamu lihat ke arah kamar depan itu." Suruh ku.

"Emang ada apa, A?" Tanya Mala lagi.

"Kamu nggak lihat, La?"

"Lihat apa sih, A?"

"Itu ada sosok Sandy mengintip di balik pintu kamar."

"Hah? Masa sih? Kok aku nggak ada melihat ya?"

"Astaghfirullah..."

"Astaghfirullah..."

"Allahu akbar..."

Sandy menatap ke arah ku. Dengan tatapan sinis dan tajam. Tatapan yang seperti penuh dendam. Aku pun ketakutan dan menundukan kepala ku. Dan aku tidak ingin melihatnya lagi.

Setelah beberapa menit aku menundukan kepala. Aku berusaha mengangkat pandangan ku lagi. Sosok Sandy sudah tidak ada di situ lagi.

"Loh, nggak ada lagi. Ke mana dia menghilang?"

******

Para tamu undangan sudah pada pulang. Hanya tersisa kami bertiga. Kami memang sengaja agak telat pulangnya. Selain ingin membantui pak Awis beberes rumahnya, aku juga berniat ingin bertanya-tanya tentang Sandy.

Ku pandangi foto keluarga yang ada di ruang tamu pak Awis. Foto seseorang laki-laki yang menggunakan pakaian toga. Tiba-tiba pak ustadz datang dari belakang dan mengagetkan ku.

"Sandy itu namanya." Ujar pak ustadz.

"Eh, pak ustadz." Sapa ku terkejut.

"Jangan lama-lama di sini. Buruan pulang." Pak ustadz menyuruh kami pulang.

"Maksudnya, pak ustadz?"

"Dia marah sama kamu karna kamu berniat ingin menolong perempuan itu."

"Hah?" Aku tambah terkejut dan keanehan.

"Saya akan mengantarkan kalian pulang sampai depan rumah."

"Buruan pulang, nanti keburu tengah malam."

"Baiklah pak ustadz." Jawab ku.

Akhirnya kami bertiga pamit pulang dan tidak jadi membantu keluarga pak Awis untuk beberes rumah. Kami bertiga langsung pulang saja.

Memang benar, pak ustadz mengantarkan kami sampai depan rumah. Listrik di rumah sudah menyala. Pak ustadz berpesan pada kami bertiga.

"Jaga diri kalian baik-baik."

"Jangan terlalu jauh ikut campur urusan mereka."

"Tapi, kalian harus tetap menolong perempuan itu."

"Nanti saya akan bantu."

"Kalau ada apa-apa segera hubungi saya." Pak ustadz memberikan selembar kartu namanya.

"Iya, pak ustadz."

"Terima kasih banyak sudah mengantarkan kami."

"Buruan kalian masuk."

"Saya akan pulang jika kalian sudah masuk ke dalam rumah.

"Oh, iya, satu lagi."

"Jangan biarkan kalian seorang diri dalam rumah ini ketika malam hari."

"Maksudnya pak Ustadz."

"Pokoknya jangan sampai seorang diri dalam rumah ini ketika malam hari. Jika kalian seorang diri, tolong segera keluar dari rumah ini."

"Baik pak ustadz."

"Terima kasih banyak sudah mengantarkan kami sampai depan rumah, pak ustadz."

"Iya, sama-sama."

Kami pun memasuki rumah dan pak ustadz pulang ke rumahnya.

******

Jangan lupa follow 

Ig @arraudah_busana