Selamat membaca
°•°•°
"Dea...!" seraya melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku.
"Dea! Hei, Dea...!" Kini giliran mencubit pipi kiriku dengan pelan, tapi persis bayi yang tengah merasa gemas begitu melihat boneka beruang.
Dengan santai aku berucap, "kenapa?" bukan gimana-gimana, aku cuma masih berpikir tentang yang tadi pagi.
"Kamu yang kenapa? Kamu nggak mau ke kantin?" aku menggeleng dan enggan menyahut lagi. "Ini udah istirahat kedua, Deaaa... kamu nggak laper apa...?"
"Laper sih, tapi aku males ke kantin."
"Mau titip aja?" aku menengadah, melihat wajahnya. Tubuh tegap Sean sudah menjulang di sisi kananku.
"Kamu mau nitip aja, De?" tanya Alin yang membuatku mengangguk kecil sembari menatapnya.
Tapi, karena perasaan tak enak dan sungkan yang menyerangku, aku buru-buru menggeleng dan membalasnya cepat, "eh, nggak usah deh... em, aku ke kantin sama kalian aja."
"Gimana sih... buat bingung orang aja..." dengus gadis berjepit itu saat bangkit dari duduknya dan melirikku sekilas, dia mulai mengeluarkan ponsel dari salah satu kantong rok seragam.
"Ya udah, ayo." ajak Sean yang kuangguki.
Aku memilih jalan bersama Alin ketimbang Sean, karena takut dianggap negatif oleh siapa pun yang melihat kedekatanku bersamanya. Jadilah aku dan Alin di belakang Sean, membuntutinya. Dan... benar saja firasatku! Ini tidak tanggung-tanggung, sang ratu idaman Sean hadir di depan mataku sekarang. Padahal baru beberapa puluh langkah, kini suara Elisa mampu membuatku sontak memandang penuh ke arahnya.
"Kamu baru keluar kelas?" suara Elisa terekam oleh telingaku, tedengar penuh kegirangan. "Aku kirain udah ke kantin," katanya lagi dengan senyuman lebar seraya menempatkan diri di samping pacarnya. Sean tak mengatakan banyak kalimat, dia cuma mengiyakan.
Sekarang gadis itu malah berjalan sembari melirik sedikit ke belakang. Pelan-pelan kepalanya memutar ke arahku, menengok, dan memberikan senyum simpulnya. Dengan perlahan juga kuanggukkan kepala dan melemparkan sebuah senyuman tipis. Sesudah itu Elisa kembali menatap depan.
Sontak aku meminta ke Alin yang sejak tadi memainkan ponselnya dengan suara pelanku. Terkesan bisik-bisik begini, "kita makan berdua aja ya..." kutunjuk pasangan yang di depan kami berdua menggunakan dagu. "...aku nggak mau gangguin mereka."
Dia mengacungkan satu jempol. "Iya, aku paham kok De..." Alin ikut bebisik, "...semangat ya!"
"Amin." tersenyum senang karena jawaban tulusnya. "Makasih ya."
"Sama-sama Dea." aku kembali menatap depan. Di mana pasangan serasi itu yang jalan berdampingan. Entah apa yang mereka perbincangkan, aku kesulitan menerima suara-suara mereka lantaran jarakku dan Alin yang sudah cukup jauh dari keduanya.
Jujur, aku sangat bingung dari tadi. Pikiranku tidak bisa lepas dari jaket, maksudku jaket kembar yang Sean berikan padaku. Bukankah itu untuk pacarnya, si Elisa? Kenapa jadi buat aku? Aneh. Begitu ingin kutanyakan, Sean malah duduk di bangkunya dan tenggelam bersama salah satu buku yang dia ambil dari dalam tas. Tak lama Alin pun datang. Sampai akhirnya jam pelajaran dimulai. Jadi, sampai saat ini aku belum menanyakan perihal pemberian laki-laki bermata teduh itu.
Sekarang, sesuai permintaanku, putri jepit pita itu memilih tempat duduk yang jauh sekali dari bangku yang disinggahi Sean bersama sang kekasih. Dengan senang hati dan sukarela, Alin memesankan menu untuk makan siang kami.
Aku menunggunya sambil bertopang dagu dan tiba-tiba teringat muka si bocil, bocah tengil. Sayang sekali, hari ini Nino tidak masuk sekolah, alias absen. Kalau saja dia ada, mungkin aku bisa terhibur sedikit dengan tingkah-tingkah usilnya ke Alin. Hehe, bukannya aku bermaksud ingin bahagia di atas penderitaan orang lain ya! Tapi entah kenapa, wajah kesal Alin membuatku selalu ingin tertawa, hehe.
"Heh! Kenapa senyam-senyum?"
Aku mendongak, "Diya?!" aku mendapatinya yang ingin duduk di sebelah kiriku. "Tumben nyamperin, kenapa?"
"Aku cuma mau bilang, kamu disuruh nelpon Mama malem ini. Mama ada waktu jam delapan malem."
"Oke. Kok enggak nge-w-a aku aja?"
"Hpku mati. Lagian dari pada pulang sekolah kita nggak ketemu? Mending aku kasih tau sekarang." saudariku itu berdiri lagi. "Aku balik ke kelas dulu."
"Tunggu dulu!" ia berhenti sambil mengangkat alis. "Kamu bilang ke Mama kalo aku kangen?"
"Mama yang bilang sendiri," singkatnya dan setelah itu ia berlari. Aku yang mendengar cuma bisa tersenyum tipis. Aku yakin, seyakin-yakinnya kalau Diya sendiri yang meminta Mama untuk menghubungiku. Cuma gengsi Diya yang besar, membuatnya berbohong padaku.
"Diya-Diya... Aku tau, kamu sayang banget sama aku, Diya." Tapi aku tak pernah tau, apa maksud dirinya yang selalu menjauhiku. Bukan seperti saudara kembar pada umumnya.
"Ayok makan...!" seru seseorang. Ia sibuk meletakan beberapa benda berbahan kaca di atas meja. Wajahnya penuh kegembiraan dan binar bahagia. Beberapa detik kemudian, muncul suara perut :
Krucuk krucuk kruyuuuk....
Spontan saja tawa lebarku keluar, aku benar-benar tertawa setelah mendengar bunyi itu. Dari mana lagi asalnya kalau bukan dari gadis yang kini menunjukan senyuman hambar dan melirik ke kanan-kiri. "Hahaha, laper banget ya, Mbak? Ppt-ahahaha...!" kupukul pelan meja di depanku karena tak tahan.
"Sst... Malu ah! Diem dong..." aku masih ketawa, sampai pegal rahangku. "Deaaa...! Diem plisss...."
Aku pun menarik napas dalam-dalam. "Huuuh..." mencoba menahan kegelian yang menggelitiki perutku akibat suara indah alami dari ususnya. "Hehe, maaf-maaf. Bercanda, soalnya suara yang tadi itu kenceng! Kelepasan deh..."
"Udah ah...! Dimakan tuh gepreknya!"
"Iya-iya. Oke...." balasku dengan masih menahan tawa. "Hadeh, huuuh...."
Lima menit berlalu. Aku yang masih asik makan, melihat ke posisi Sean. Di sana, Elisa menyunggingkan senyum manisnya. Sesekali tangan-tangannya memukul pelan lengan Sean, bersamaan dengan itu tawa lepasnya menguar. "Dea, aku ke kelas duluan ya."
"Loh, kenapa?"
"Eh, salah-salah! Maksudku ke perpus dulu mau cari-cari buku. Takutnya kalo sama kamu nanti, kita malah telat masuk kelas."
"Oooh... Ya udah, ini biar aku beresin."
Sebelum bangkit, Alin menyeruput minuman coklat dinginnya untuk yang terakhir. "Daaa!" sambil menunjukkan gigi dan kemudian menjauh dengan sepasang kakinya yang kian berlari kencang.
Saat aku kembali mencuri pandang ke Sean, laki-laki itu malah sudah mengayunkan kakinya. Entah di mana Elisa, gadis itu menghilang dan benar-benar cuma sosok Seanlah yang tersenyum senang ke arahku. Aku mengernyit dan bertanya, "ngapain ke sini? Elisa mana? Nanti kalo dia salah paham Sean... Jangan ke sini!"
Sean mengabaikan ucapanku, dengan santainya dia duduk di sebelah kananku sambil menyahut, "Elisa itu tau kita deket sebagai temen, Deaaa..." dia geleng-geleng kepala. "...masih aja kamu kepikiran!" senyum kecilnya yang saat ini terukir, membuatku terdiam. "Kamu tenang aja, dia sendiri yang nyuruh aku nemenin kamu...."
°•°•°
Terima kasih sudah menyimak :) terutama para 'pencerna kata' Dea yang setia :* apalagi yang mendukung :*
JAGA KESEHATAN!
Minggu ini nggak ada yang mau triple up? Nggak ada yang mau ngasih saran juga? oke :(
See you :D
God bless you <3
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan membaca dengan serius