Selamat membaca
°•°•°
Sejak sepasang kakiku menginjak pusat perbelanjaan, jantungku tak mau mengurangi detakannya. Tiap mengayunkan kaki, tak pernah sedikitpun dadaku berdegegup tenang, selau di atas batas normal. Terkadang aku harus mengalihkan pikiran dengan meneriaki nama Elisa tanpa berucap, cukup aku yang tahu itu. Semua ini tak lepas dari peran Sean yang berdiri di sampingku.
"Coba ke sini dulu."
"O-ke." kalau tidak kusetujui memangnya aku sanggup menolak? Jawabannya sudah pasti : sangat tidak bisa.
Aku membuang napas berat tatkala tangan kirinya merangkul dan mendarat di bahuku. Itulah salah satu ulahnya yang membuat jantungku lompat-lompat di tempatnya, merangkulku seenaknya.
"Sean..." ia seketika menatapku, sebelum jari tangan kanan cowok ini meraih celana jeans panjang khusus perempuan. "lepas..." kataku sembari melirik ke telapak tangannya yang ada di bahu kiriku.
Dengan tatapan bingung ia bertanya, "kenapa...?"
Tanpa ragu aku pun menyahut, "kamu nggak mikirin perasaan Elisa?"
"Emang aku kenapa? Aku nggak ngapa-ngapain."
Bibirku berdecak akibat jawaban Sean yang seolah-olah tak paham dengan apa yang dilakukan tangannya saat ini. "Aku bukan pacarmu tapi kamu ngerangkul aku. Kalau Elisa tau dia bisa salah paham. Kita cuma temen, Sean... udah paham?"
"Temen nggak boleh ngerangkul?" kemudian terkekeh kecil. "Kamu mikirnya kejauhan, De... Aku kan udah bilang, kita nggak ada apa-apa selain temen. Harusnya kamu inget itu. Itu juga yang aku bilang ke Elisa. Jadi dia ngerti siapa kamu, buat aku. Ngerti?"
Belum sempat aku berpendapat, Sean lebih dulu menambahi, "santai aja... nggak akan ada salah paham. Tenang juga, aku nggak ada rasa apapun sama kamu. Inget, sebatas temen." Bibirnya menorehkan lengkungan, manis.
Sampai-sampai si mungil, lesung pipinya terbit tanpa malu-malu. "Rangkulan ini, bukti sayangku ke kamu..." enggak cuma rangkulan, namun Sean memberikan tepukan-tepukan halus. "...tapi tetep, sebagai temen. Harusnya kamu ngerti ini dari awal kita temenan, biar kamu enggak kepikiran hubunganku sama Elisa." Bibirnya masih melukiskan raut wajah senang dan damai. Pandangannya menelusuri celana-celana jeans perempuan yang terletak di gantungan.
Lain halnya dengan Sean, mulutku langsung bungkam mendengar satu kata darinya untukku. Aku tak tahu harus merespon jawaban Sean seperti apa. Rasa nyeri mampu menyebar di satu titik bagian tubuhku terdalam. Hanya butuh waktu hitungan detik saja, perkataan Sean itu mampu menusuk jauh.
Aku masih menatap Sean, tepatnya memandangi wajah yang tengah tersenyum itu dengan melipat bibirku. Dengan pandangan kosong, kutatap kedua mata Sean tanpa ada rasa peduli lagi akan tangannya yang menempel di pundakku. Penjelasan panjang nan lebar dari mulutnya barusan membuat lidahku kelu, enggan menyahut.
Kalau seseorang bertanya tentang perasaanku sekarang ini seperti apa, jawabannya adalah acak-acakan. Tapi, satu kata spesial yang mungkin akan selalu dan takkan lelah berlari-larian di otakku ialah, teman. Ya, kata itulah yang selalu Sean sematkan di dalam hatinya untukku. Kata penuh arti dan teramat sulit kujauhi karena aku sudah terlanjur masuk ke dunia itu. Dan pada akhirnya aku terjebak di dalam sana, di lingkaran pertemanan bersama dia ---laki-laki yang kusuka pertama kali serta yang kuidam-idamkan kala menatap matanya--- Sean. Haha, lagi-lagi aku kembali tertampar dan disadarkan!
"Aku duduk sebentar, capek." pamitku.
Sean yang tengah memusatkan perhatian pada deretan celana jeans di tempat gantungan, langsung menoleh. Sebelum dia menjawab, aku lebih dulu angkat kaki untuk mencari bangku kosong. Kedua kakiku memang sudah letih akibat berdiri selama hampir satu jam.
Setelah lama berputar... eh, maksudku berkeliling, aku menemukan satu kursi yang muat untuk tiga orang. Kebetulan masih sisa dua tempat, aku segera mendudukinya. Tanpa adanya perintah, kedua kakiku refleks lurus ke depan.
"Huuuh..." desah kelegaanku lantaran berhasil istirahat. Sambil memijat pelan-pelan lututku yang terlapisi kain kembang-kembang milik dress yang kunekakan, kepalaku menunduk. Fokus memulihkan tenaga dan dada yang belum juga berhenti dalam degupan kencangnya.
Sebenarnya, kelelahan bukanlah satu-satunya alasan. Karena yang pertama aku kebingungan, bingung mau menghadapi Sean gimana lagi. Kedua, karena perasaanku butuh singgah. Biarlah hatiku menepi sejenak, walaupun waktu yang kupunya tidak sampai satu hari ini, namun setidaknya aku bisa menenangkan jantungku yang sedari tadi berdansa ria di posisinya. Ketiga, tujuanku duduk untuk membiarkan bagian-bagian tubuhku menikmati kenyamanan dari bangku ini.
Jari-jariku berhenti memijat dan beralih membuka tas selempang hitamku. Ada nada pesan dari WhatsApp yang memang kuhapal. Pesan dari Sean yang kuterima begitu mengecek ponsel. Ia mengabari kalau dirinya sudah di luar toko berisi aneka celana dan kaos-kaos perempuan ini. Kusimpan benda pipihku begitu aku bangkit.
Dengan langkah pelan aku menginjak tatanan rapinya lantai-lantai di bawah sepatu tanpa hak tinggiku, yang membungkus telapak kakiku dengan pas. Sesekali aku melempar senyuman kecil pada beberapa orang yang tak sengaja berpapasan denganku, atau pada ibu-ibu yang lebih dulu menebarkan senyum ramahnya. Terkadang jiwaku turut senang melakukan hal sederhana ini, karena bisa mengangkat keresahan hati. yap... meski tidak mengangkat semuanya sekaligus.
"Hei! Ayok..." suaraku yang tanpa sadar membuat Sean terlonjak kaget, terlihat dari bahunya yang terangkat.
Ia pun berbalik dan kini mengarah padaku. "Mau makan dulu?" tawar laki-laki berkaos hitam di depanku ini dengan raut cemasnya. Mungkin mukaku sudah menampakkan raut lelahnya. Tapi kalau lapar, aku belum.
"Emang kamu udah selesai? Kalau belum, mending makannya nanti aja. Selesaiin urusanmu dulu."
Ia menggeleng. "Makan dulu, aku nggak mau dicap temen yang nggak tanggungjawab."
"Ya udah kalau gitu, aku ikut ajalah." balasku final.
Aku dan Sean lantas sama-sama melewati puluhan orang yang menghadang perjalanan kami. Pastinya dengan langkah cepat, Sean yang memulainya. Terkesan buru-buru, dan tugasku membuntutinya saja.
Kemudian, tiap ada celah, cowok yang memiliki lesung pipi imut ini menarik tanganku. Karena dia sendiri yang mengajakku untuk ke tempat ramai ini jadilah aku yang harus bisa mematuhi keinginan Sean. Ya, aku memang selalu menuruti keinginannya.
Untuk informasi saja, sampai detik ini aku tidak tahu Sean tengah mencari barang apa dan untuk siapa. Tapi, mengingat jika sedari tadi ia mengajakku ke gerai serba perempuan, aku menduga kalau semua yang Sean lakukan ialah untuk sang pacar, Elisa. Memang siapa lagi kalau bukan pacarnya? Aku? Heh, mimpi dulu! Dasar, Dea-Dea.
Setelah lama berjalan dan napasku sedikit ngos-ngosan, tiba-tiba Sean bertanya, "di situ mau?" dengan pandangan menunjuk ke arah samping kananku.
Membuatku spontan menggerakkan kepala ke objek tersebut. Ternyata, itu adalah tempat mengisi perut bagi lidah-lidah orang Indonesia. Tentu aku mau! Bibirku pun menjawab dengan nada penuh sukacita, "boleh..." senyum singkatku tak lupa terbit. "...sama sekali enggak masalah."
"Oke!" senyum Sean turut mengembang, sekaligus tangan kirinya menarik pergelangan tanganku. Tangan lainnya, pastilah menenteng paper bag yang tidak kutahu isi apa di dalamnya.
°•°•°
Thank you para pembaca setia (selalu berharap kayak Nadea :v) maupun pembaca baru atau yang 'nyasar' (bukan nama penyanyi)
STAY HEALTHY! :*
See you <3
God Bless You :D
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius
Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!