webnovel

DeaSea

Vol 3. Di Balik Perjodohan Perjalanan Nasya Ansena di sekolah baru dengan siswa yang digandrungi para siswi. Dimulai dari pertemuan singkat, Nasya mengecap buruk pemuda yang ditemui. Ditambah fakta yang beredar dalam waktu sehari di sekolah barunya. Label playboy sudah melekat pada diri Alrino Yudantara. Tidak ada satu orangpun yang bisa mengubah julukan itu, hingga dia bertemu pada seorang murid baru. Nasya, si gadis yang sulit membuka hati untuk seorang Al. "Ngapain kamu nyuruh aku fotoin Kak Al sama Cantika?" Bela menoleh cepat pada gadis yang berjalan di sisi kanannya. "Buat apa, Nasya?" "Supaya aku ada alasan, menolak Kak Al mentah-mentah." Menarik sudut bibirnya, lalu meneruskan, "Alrino Yudantara itu buaya. Dia enggak pantas buat aku, kan?" Vol 2. Deodoran Sean Harap bijak memilih bacaan. Cerita mengandung 17++ Bagi yang masih di bawah umur, harap menjauh ya. Terima kasih :) Pengorbanan seorang Nadea terus berlanjut hingga di masa-masa pernikahannya bersama lelaki cinta pertama Dea. Haruskah Dea mengubur mimpi-mimpinya? haruskah Dea mengorbankan dirinya demi kebahagiaan sang mertua? atau, dia tidak perlu memikirakan pendapat orang lain di hidupnya? Bukan Dea namanya jika dia tidak berkorban demi kebahagiaan orang tercinta. Walau hatinya sendiri taruhannya. Vol 1. Dari Nadea untuk Sean Anak remaja yang benar-benar buta akan arti suka, arti sayang, dan tidak tahu arti cinta dengan lawan jenisnya ini, mendadak paham. Tanpa disadari, dia mengalami getaran hebat di dalam dadanya. Dan anak perempuan itu adalah aku, Nadea. Cerita cinta ini memang penuh pengorbanan. Pengorbanan dari perasaanku, yang hanya dianggap teman dekat olehnya. Tapi kataku, aku tak sendirian. Memang, aku tidak sendirian walaupun terpisah jauh dari kedua orang tuaku yang bermasalah. Di sekolah itu aku memiliki sahabat dekat, yang kuanggap sebagai kakakku sendiri. Bahkan melebihi Nadiya, saudari kembarku. Alin namanya, dia adalah gadis pecinta jepit pita garis keras. Dia yang menyemangati dan mengingatkanku di saat tahu kalau aku mencintai teman sekelasnya. Alin juga yang membuatku tertawa saat seorang Nino menggodanya. Dia benar-benar sahabat terbaikku. Ini yang kutanyakan, bisakah kisah ini berakhir dengan manis, semanis senyumku? Aku tidak tahu jawabannya. Namun aku mengharapkan hal baik yang lebih dari itu, bukan sekadar seulas senyuman. Dan aku percaya penuh pada Tuhan, bahwa ketulusanku suatu saat pasti menuai hasil yang memuaskan. BISA TEKAN TOMBOL + DI KANAN BAWAH UNTUK MENGETAHUI UPDATE KARYA INI. TERIMA KASIH :D

kocakaja · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
316 Chs

Belajar Mencintaimu

Selamat Membaca

°•°•°

Senyumku merekah. "ALIN!" teriakku senang karena melihat sahabatku sudah duduk anteng dibangkunya dengan alat pendengar yang kutahu untuk mendengar alunan lagu itu.

Terhitung, baru dua hari dia tidak masuk sekolah. Tapi, dua hari itu pula aku sudah merindukannya. Kulihat dia tadi menoleh sejenak kearahku dengan tersenyum singkat lalu kembali menunduk.

Aku cepat-cepat duduk di bangku sebelahnya. "Hei! Bukannya dijawab malah sok-sokan cuek. Dasar!" tanganku sudah menarik benda yang ada di telinga sebelah kanannya.

Alin menyipitkan matanya ke arahku. "HIIIH...! Ngeselin banget! Aku cuma pengen dengerin lagu doang... Kalau mau gangguin orang jangan aku, yang lainnya aja sana!" kembali menunduk, namun kali ini ia menidurkan kepala di atas meja.

"Dasar! Emang nggak kangen apa sama aku?" Alin mengarahkan telapak tangan kanannya kearahku. Kupikir dia ingin mengajakku toast, nyatanya tidak. Ia menggerakan tangannya ke kanan lalu kiri sebanyak tiga kali, yang bertanda bahwa dia tidak rindu padaku. "Lah, songong amat! Ya udah deh, besok-besok kalau diajak buat nemenin jalan, aku nggak bakalan mau." aku mendengar kekehannya.

Alin lantas menatapku. "Bisa aja ngancemnya... Iya-iya, aku kangen sama kamu. Tapi, aku masih pengen dengerin lagu dulu sebelum belajar. Boleh?" aku yang mendengar penjelasan singkatnya pun tak ingin egois. Mungkin saja si Alin masih lelah atau butuh hiburan. Aku pun mengangguk sebagai jawaban untuk penawarannya itu. "Oke... Makasih Dea." dia memelukku dan kembali ke dunianya tadi. Sebelum memanjakan kepalanya lagi, ia menyunggingkan senyum cerahnya padaku dan tak lupa untuk membetulkan letak earphonenya yang tadi sempat kulepas secara paksa.

Baru saja aku sibuk melepaskan jaket yang melekat di punggungku, aku dikejutkan dengan suara teriakan seseorang dari luar kelas. "Buruan! Di belakang sekolah!" heran, perasaan ini masih pagi. Bahkan tadi sebelum aku masuk kelas, jamku masih menunjukkan pukul enam lebih lima belas menit. Tapi kenapa sudah ramai?

"Belakang mana?" sahut beberapa siswa yang tertangkap oleh pendengaranku. "Gudang! Udah buruan, cepet!"

Aku yang ikut penasaran pun segera berlari keluar kelas. Menarik salah satu lengan siswa yang kebetulan tengah berlari ingin melewatiku. "Eh, sorry. Mau tanya dong, kenapa sih kok anak-anak pada lari? Tadi aku sempet denger ada yang nyebut-nyebut gudang. Emang ada apaan?"

Terlihat ia tengah mengatur napas. "Itu... Huh... Ada yang berantem. Palingan juga si Nino. Duluan ya, takut telat nonton." kembali melanjutkan langkah lebarnya yang terhenti sejenak karena ulahku. Namun belum lama dirinya melangkah, ia menoleh kearahku. "Aku Rio, salam kenal cantik!" seraya melambaikan tangan dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Sedangkan aku geleng-geleng bak emoji yang jadi pajangan mobil.

"Aneh-aneh aja kamu, dasar! Eh... Tunggu, Nino? Nino sahabatnya Sean?" gumamku karena anak yang bernama Rio itu sudah pergi. Baru saja aku mau menyusul yang lain untuk ke arah gudang, tanganku sudah dicekal.

"Ada apa De?" tanya Alin dengan muka kantuknya tanpa benda yang menyumpal di kedua telinganya tadi.

Aku berdecak kesal. "Aku kira siapa Lin-Lin... Ituh, ada yang berantem di gudang sekolah. Katanya sih si Nino, tapi aku nggak tau Nino yang dimaksud itu Nino yang mana. Menurutmu, eh... Tungguin! Dasar!" belum selesai ngomong, Alin sudah lebih dulu lari meninggalkanku. Aku pun berlari menyusulnya yang sudah jauh di depanku sana. Aku menggeleng. "Cepet amat larinya... Alin!"

"Lama, buruan!" sahutnya tanpa menoleh kearahku barang sedetikpun. "Keburu nggak tau masalahnya!" sambung gadis berpita putih itu sambil mempercepat larinya.

"Aku bukan pelari Alin! Huh... Tungguin!"

Tawanya terdengar kencang. "Terserah!" selepas itu ia hilang dari pandanganku.

"Gila, ajaib bener tuh anak." aku pun berhenti guna mengatur napas.

"Nih ambil." aku yang melihat botol mineral terulur didepanku pun segera meraihnya. "Capek ya?" tanyanya diiringi dengan kekehan.

Aku mengangguk. "Makasih ya..." balasku setelah meneguk minuman itu sampai tersisa setengah botol selepas itu mengarahkan kedua manik mataku untuk meliriknya. "S-Sean." sambungku setengah terkejut. Ia mengangguk cepat lalu pergi tanpa mengucapkan apapun.

°•°•°

Bel istirahat kedua baru saja berbunyi dan di sinilah aku, duduk manis dibangku kantin menunggu Alin membawakan pesanan kami.

Aku masih bingung dengan apa yang terjadi tadi. Sean, laki-laki itu yang berhasil membuatku pusing karena tingkahnya. Semenjak tidak adanya Alin kemarin, aku terus menjauhi Sean di kelas dan di manapun dia berada, termasuk di pikiranku. Memang sih aku juga belum terlalu dekat dengannya, tapi memang itu yang aku lakukan. Aku berusaha memantapkan hati untuk menjauh darinya, aku mengingatkan diriku sendiri jika aku berhasil melakukannya berarti perasaanku sebelumnya itu bukanlah cinta, tapi cuma kagum belaka. "Tapi, semakin ngejauh, kenapa dia-nya malah semakin deket?" lirihku frustasi.

"Dia siapa?" tanya Alin yang sudah datang dengan tangan yang sibuk meletakkan pesananku dan dirinya.

"Enggak ada." aku pun turut andil menyusunnya diatas meja.

"Bo'ong banget." lalu mendudukkan tubuh langsingnya didepanku.

Aku memutar bola mata. "Mau aku cerita atau nggak, palingan kamu juga udah tau jawabannya." si penyuka jepit bentuk pita itu terkekeh.

"Basa-basi boleh lah." balasnya yang membuatku berdecak dan memutar bola mata jengah.

"Dasar! Udah lah makan dulu aja, pengen ngebalikin mood nih."

Alin pun tersenyum. "Iya, nurut kok."

Tidak bohong. Aku akui kalau aku sulit mengusir Sean dari pikiranku. Tadi pagi adalah bukti jika dia sudah berhasil menggagalkan rencanaku itu. Sebenarnya aku masih malu dengan kejadian dua hari lalu, terlihat sekali bahwa aku sungguh berharap padanya. Padahal aku sendiri baru saja mengenalnya, mana mungkin dia juga menyukaiku? Sudah jelas padahal kalau dia mengatakan itu hanya kata-kata biasa. Tamparan keras itu membuatku sadar, aku sudah kelewat berani menyukainya atau bahkan malah sudah jatuh cinta padanya. Garis bawahi, jatuh cinta. Mungkin.

Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Aku menggeleng, aneh-aneh saja. Aku pun menarik tisu gulung yang ada di atas meja.

"Kamu kenapa De?" aku rasa Alin sadar kalau aku tengah menangis dalam diam.

Aku menggeleng. "Baksonya."

Alin menautkan alis, bingung. "Pedes?"

Aku teresenyum kecil sambil menjawab asal, "iya."

"Gitu aja nangis! Cemen!" beruntungnya aku punya teman seperti dia, polosnya kelewatan.

"Hehe, biarin dong, wle!" detik terakhir aku menjulurkan lidah guna mengejek. Alin cuma menggeleng melihat tingkahku. Tak membalas, ia asik melanjutkan aktivitasnya, mungkin dia memang kelaparan. Lantas jariku sibuk mengelap air mata dan membersihkan ingus yang tanpa permisi menyerang hidungku.

Merasa diperhatikan, aku mengedarkan pandangan ke segala penjuru kantin. "Sean!" teriakku dalam hati. Buru-buru aku melemparkan pandangan ke arah Alin lagi.

Beruntung atau sial, Alin ternyata tengah melihatku lalu spontan bertanya, "kenapa?" kemudian ia meraih minuman dingin yang kutahu itu es teh, minuman yang sering dibelinya. Karena masih terkejut, aku hanya mampu menyengir lebar. Aku sadar tindakanku saat ini konyol, tapi itulah ekspresi pertamaku.

"Hehe, kayak ngeliat hantu tadi." jawabku mengarang lantaran bingung mau membalas pertanyaannya lagi.

Alin tersedak hingga terbatuk-batuk. Refleks aku menepuk punggungnya pelan. "Emang beneran hantu De? S-setan gitu?" tanyanya tergagap. Kupikir dia mulai ketakutan. Main percaya aja!

"Kayaknya... Em, buruan yuk masuk!" karena kulihat jam di ponselku sudah menunjukkan detik-detik berakhirnya waktu istirahat.

Alin berjalan di sampingku setelah ia mengangguk dan begitu sudah beranjak dari tempat duduknya. "Kok kayaknya? Emang bentuknya kayak gimana?"

"Hih... Kepo!"

Ia mengangkat bahu. "Yaudah sih kalo nggak mau cerita. Aku juga nggak maksa." aku pun mengiyakan, bingung juga mau jawab apa. Orang tadi juga ngasal.

Di kelas, suara gaduh lah yang menyambut kedatanganku bersama Alin. Aku yang tak terlalu peduli pun bergegas duduk di bangku untuk menyiapkan buku pelajaran yang sebentar lagi akan berlangsung.

Oh iya, masalah pagi tadi yang ribut di gudang sekolah itu memang benar Nino, Alin yang mengatakannya. Alin saja tahu dari siswa yang bernama Rio. Laki-laki yang sempat kutanyai didepan kelas tadi. Alin mengatakan bahwa Nino dengan kekasihnya tengah bertengkar. Aku yang tak terlalu pusing dengan masalah Nino pun hanya bertanya sebatas itu. Karena percuma juga, Alin sendiri pun tak tahu siapa kekasih Nino dan cerita detail lainnya.

"Nanti pulang sekolah belajar ya." aku menelan ludah. Menatap orang yang entah sejak kapan duduk dibangku depanku karena sedari tadi aku sibuk menatap buku.

"Belajar apaan?" bukan suaraku melainkan suara Alin yang bertanya karena perkataan Sean memang tidak bisa dibilang pelan.

"Belajar mencintaimu." kulihat pipi Alin memerah. "Dih, gitu aja baper! Alay!" aku tertawa begitu saja, membuat sepasang mata Alin mendelik menatapku.

"Apa sih No, jangan gangguin anak orang!" tutur Sean memperingati.

"Heeem, iya-iya. Ya belajar kelompok lah, emang apa lagi?" kusetujui dengan anggukan kepala yang dibarengi oleh jawaban gadis di sebelahku yang nyatanya mengiyakan juga.

°•°•°

Gimana? Kurang? Maaf... masih dan terus berusaha.

See You

God Bless You

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

kocakajacreators' thoughts