"Pak Lukman bisa ikut saya keruangan dokter Firman...?", Alfa mengajukan pertanyaan yang langsung disanggupi oleh pak Lukman.
Pak Lukman mengikuti langkah Alfa menuju ruang dokter Firman, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Dokter Firman langsung mempersilakan mereka duduk, kemudian menyuguhkan teh.
"Kalau boleh jujur pak Jendral, ini agak sulit", Alfa mulai membuka topik diskusi.
"Maksud dokter...? ", pak Lukman bertanya bingung.
"Dari hasil CT Scan Devi, ternyata ada gumpalan darah di batang otak Devi. Mungkin hal itu terjadi karena adanya benturan keras, bisa jadi saat Devi jatuh, atau dipukul oleh penyerang", Alfa menjelaskan secara perlahan agar pak Lukman mengerti.
"Lalu apa itu berbahaya...? ", Pak Lukman bertanya cemas.
"Maaf, saya harus jujur, iya pak. Saat melakukan operasi pertama pada Devi, saya berharap kemungkinan ini tidak terjadi", Alfa bicara lagi.
"Apa Devi bisa disembuhkan...?", pak Lukman kembali bertanya.
"Bisa, dengan jalan operasi ", Alfa menjawab singkat.
" Tunggu apa lagi, lakukan operasinya sekarang dokter", pak Lukman mulai gusar.
"Batang otak bukan posisi yang main-main pak Jendral. Dia langsung berhubungan dengan otak kecil dan otak besar. Bahkan mengontrol kinerja paru, jantung, mata, otot muka dan beberapa organ penting lain. Yang jadi kekhawatiran saya saat ini, Devi mengkonsumsi obat penenang dalam jangka waktu yang cukup panjang. Saya harus jujur itu bisa memengaruhi kinerja jantungnya saat ini, salah - salah Devi bisa cacat seumur hidup atau yang terburuk kehilangan nyawa dimeja operasi ", Alfa menjelaskan semua situasi tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Begitulah Alfa, dia tidak pernah mau memberi harapan kepada pasien atau bahkan hanya sebatas menghibur keluarga pasien. Alfa selalu mempertimbangkan segala sesuatu matang-matang sebelum bertindak.
" Lalu kita harus bagaimana...? ", pak Lukman mulai frustrasi. Dia menjambak rambutnya kasar karena kesal tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong putrinya.
"Pak Jendral tenang dulu. Kita harus observasi keadaan Devi malam ini, kalau dia bisa sadar malam ini. Kita akan lakukan operasi besok pagi", Alfa bicara pelan.
Ucapan itu seolah menjadi angin segar bagi pak Lukman yang saat ini merasa putus asa berjalan tanpa arah ditengah gurun. Pak Lukman mengangguk setuju dengan keputusan Alfa, tanpa berpikir panjang lagi atau meminta pertimbangan dokter Firman.
"Saya yakin Devi akan baik-baik saja pak Jendral. Alfa bukan dokter sembarangan", dokter Firman membesarkan hati pak Lukman.
" Saya akan mengusahakan yang terbaik pak Jendral. Kita sama-sama berjuang", Alfa memberikan semangat kepada pak Lukman.
Hanya anggukan lemah yang menjadi jawaban pak Lukman. HP Alfa tiba-tiba berbunyi, dia mohon diri untuk mengangkat telfon keluar ruangan.
" Ya ada apa...?", Alfa menjawab singkat begitu tahu itu dari bagian UGD.
"Ada pasien kecelakaan yang baru masuk, kakinya sepertinya patah dok", terdengar suara perempuan diujung telpon.
"Kalau ada pasien patah, kamu seharusnya hubungi bagian Ortopedi", Alfa membalas geram.
"Masalahnya tidak ada dokter jaga yang stanbye dirumah sakit saat ini...", perawat itu akhirnya jujur dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
Alfa tertawa renyah," Lalu saya harus kembali kerumah sakit, untuk mengurus pasien patah tulang...? Suster, saya bukan dokter jaga malam ini, ditambah saya dokter spesialis bukan dokter umum yang ditugaskan di UGD", Alfa menjelaskan panjang lebar. Bukan kali pertama dia dihubungi untuk mengurus pasien UGD.
"Tapi... Dok... ", suara Perawatan itu terdengar cemas dan ketakutan.
" Hubungi dokter jaga, atau dokter umum. A...satu lagi suster. Tolong batalkan jadwal kontrol pasien sampai besok", Alfa menyela ucapan perawat wanita tersebut dengan nada tegas.
"Baik dok. Terima kasih", perempuan diujung telpon memutuskan hubungan telpon dengan perasaan yang campur aduk.
Alfa menarik nafas panjang. Setelah merasa kembali tenang, Alfa mohon izin untuk berada di ICU agar lebih mudah mengontrol keadaan Devi.
Alfa dengan teliti mengecek keadaan Devi, setiap 30 menit sekali Alfa bolak-balik keranjang Devi. Melihat alat-alat yang berada disamping tempat tidur.
Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 wib dini hari. Itu artinya sudah hampir 12 jam sejak Devi dioperasi. Darah yang mengumpal di batang otak Devi harus diangkat dalam waktu kurang dari 24 jam, kalau tidak itu akan memengaruhi kondisi Devi. Yang jadi masalah Alfa tidak bisa mengecek kondisi Devi sepenuhnya karena dia masih dalam keadaan koma.
"Dokter, kalau mau istirahat ada ruangan kecil disamping ", suster jaga memberi saran kepada Alfa.
" Saya baik-baik saja suster", Alfa melemparkan senyumnya.
"Dokter, pasien sadar ", suster tersebut tiba-tiba berteriak saat melihat ada pergerakan dijemari Devi.
"Saya bisa pinjam stetoskop...?", Alfa bertanya pelan. Dengan cepat suster jaga memberikan apa yang diminta.
Alfa memeriksa denyut jantung Devi, begitu juga dengan nafas Devi. Kelopak mata Devi terbuka secara perlahan. "Bu Devi... Anda bisa mendengar saya...?", Alfa bertanya penuh harap.
Devi merespon dengan mengedipkan matanya. Alfa merasa sedikit lega, "Bu Devi... Bisa tolong kepal tangan kanannya...?", Alfa memberi instruksi . Devi dengan perlahan mengepal jemari tangan kanannya. "Sekarang coba yang kiri", Alfa kembali memberikan instruksi berikutnya. Devipun melakukan instruksi Alfa dengan baik.
"Tidak salah anda anak dari seorang Jendral", Alfa bicara lega disela senyumnya. Terlihat Devi melemparkan senyum lemah, walaupun matanya masih sayu karena baru sadar dari koma.
Alfa keluar menemui pak Lukman. Dengan sigap pak Lukman langsung menghampiri Alfa saat melihat Alfa keluar dari ICU.
"Devi anak yang kuat pak Jendral. Dia berjuang dengan baik. Dia sudah sadar", Alfa menjelaskan keadaan Devi.
"Alhamdulillah", pak Lukman duduk lemas karena merasa bebannya satu telah hilang dari pundaknya.
Alfa ikut jongkok dihadapan pak Lukman. "Saya akan melakukan operasi kedua 30 menit lagi, pengangkatan gumpalan darah di batang otak Devi. Kalau operasi ini berhasil, Devi akan pulih dalam seminggu kedepan", Alfa menjelaskan perawatan Devi selanjutnya.
"Apa.. Apa saya boleh menemui Devi...? ", pak Lukman bertanya penuh harap.
" Silakan pak Jendral, tapi... Devi masih belum bisa diajak bicara dulu. Keadaannya masih lemah pasca operasi. Kalau begitu saya permisi dulu, bersiap untuk operasi yang kedua", Alfa mohon diri dari hadapan pak Lukman dan Ardi.
***
Pak Lukman langsung memeluk putri sulungnya, air mata mengalir tanpa bisa ditahannya lagi.
"Syukurlah kamu sudah sadar nak...", pak Lukman bicara lega, kemudian duduk dikursi disamping tempat tidur.
Devi menghapus air mata pak Lukman dengan sayang. Pak Lukman langsung menggenggam tangan Devi, kemudian mencium tangan Devi yang menghapus airmatanya.
" Ar... di...", Devi bicara susah payah.
" Aku disini", Ardi menjawab tegas. Kemudian berdiri dibelakang pak Lukman, menggosok pundak pak Lukman berusaha memberi semangat kepada atasannya sekaligus ayah dari tunanganya.
"Aku minta maaf, aku teledor menjaga kamu", Ardi mengungkapkan rasa bersalah yang teramat dalam.
Devi menggeleng pelan, selanjutnya melemparkan senyuman terindahnya. Senyuman yang dirindukan oleh ayah dan tunangannya yang selalu menunggu dengan rasa cemas.