Seperti janjinya. Sepulang sekolah, Cakya mengantarkan Erfly kerumah sakit. Menjenguk ayah Erfly yang sedang sakit, sekalian berkenalan dengan keluarga Erfly agar bisa lebih dekat.
"Assalamu'alaikum...", Erfly mengucap salam, setelah membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam...", ayah dan ibu Erfly menjawab hampir bersamaan.
Erfly menyalami ibu dan ayahnya seperti biasa. Dibelakang disusul oleh Cakya melakukan hal yang sama.
"Siapa ini...?", ibu Erfly bertanya disela senyumnya.
"Saya Cakya Dirgantara Utama", Cakya menyebutkan nama lengkapnya.
"Apa... Hubungan kamu dengan Dirgantara Utama...?", ayah Erfly langsung menyela.
"Itu... Ayah saya Om", Cakya menjawab santun.
"Suruh dia keluar dari sini", ayah Erfly yang sebelumnya ramah, dan melemparkan senyuman hangatnya saat Erfly dan Cakya muncul di hadapannnya, langsung berubah drastis bicara dingin memberi perintah, setelah mendengar nama lengkap Cakya.
"Yah... Ada apa ini...?", Erfly bertanya bingung dengan perubahan sikap ayahnya.
"Maaf Om, saya ada salah...?", Cakya berusaha menenangkan ayahnya Erfly.
"Keluar...!!!", ayah Erfly berteriak penuh amarah.
Cakya tidak punya pilihan lain, "Kalau begitu saya permisi Om, Tante", Cakya menyalami ibu Erfly. Sedangkan ayah Erfly langsung mengalihkan tatapannya kearah lain, saat Cakya mengulurkan tangannya. Cakya kembali menarik tangannya, kemudian menoleh kearah Erfly. "Cakya... Pulang dulu", Cakya bicara lembut, sebelum meninggalkan Erfly.
"Ada apa ini...?", Erfly bertanya sengit mengejar jawaban dari ayahnya.
"Kamu jauhi keluarga Dirgantara Utama...! Mereka tidak baik untuk kamu...!!!", ayah Erfly menjawab dingin, sama sekali tidak bisa memberikan penjelasan untuk memuaskan rasa penasaran Erfly.
Erfly berniat menyusul Cakya. Akan tetapi ayah Erfly langsung menahannya hanya dengan satu kalimat. "Besok kita pindah ke Bandung", ayah Erfly bicara dingin.
Erfly berbalik menatap ayahnya penuh dendam. "Erfly bukan anak kecil yang bisa seenaknya ditarik kesana kemari. Dan... Anda tidak punya hak untuk mengatur hidup saya...!!!", Erfly bicara dengan nada yang paling dingin, terlihat jelas matanya menahan amarah.
Erfly meninggalkan ruang rawat inap ayahnya. Tidak perduli bagaimana ayah dan ibunya berteriak berkali-kali memanggil namanya.
***
Alfa keluar dari ruang operasi dengan kening penuh peluh, wajahnya terlihat lelah.
"Bagaimana Dirga dokter....?", Sinta mengejar Alfa, begitu melihat Alfa muncul dari daun pintu ruang operasi.
"Operasi berjalan lancar. Saat ini Dirga akan dipindahkan ke ruang ICU. Kita masih harus melakukan pemeriksaan lanjutan. Semoga semua baik-baik saja", Alfa menjelaskan dengan suara yang lemah.
"Terima kasih dokter", Sinta menjabat tangan Alfa penuh rasa syukur.
"Saya permisi kalau begitu", Alfa mohon diri, kemudian langsung menuju ruangannya. Alfa segera merebahkan dirinya ke atas sofa, setidaknya dia bisa beristirahat sebelum jam prakteknya.
***
Erfly melangkah perlahan menyusuri hutan belantara. Sudah hampir 2 jam dia berjalan tanpa henti. Hingga akhirnya dia sampai ketempat tujuannya. Langit mulai melukis mega merah.
Pemandangan yang ada dihadapannya saat ini, berbeda dari yang biasanya. Terdengar suara orang mengaji dengan tartil diatas batu besar.
Erfly melangkah mendekati danau, kemudian merendam kakinya agar tidak keram. Erfly menatap lelaki yang sedang mengaji dengan khusuk. Erfly melakukan gerakan seminim mungkin, agar tidak mengganggu konsentrasi lelaki itu.
Selang beberapa menit kemudian, lelaki itu menutup Al-qur'annya dan mencium Al-qur'annya, kemudian memasukkannya kembali kedalam tas kecilnya. Lelaki itu segera sadar ada sepasang mata yang memperhatikannya.
"Astagfirullah... Erfly...?", lelaki itu bicara pelan, kemudian kembali mengalihkan tatapannya kearah lain.
"Tumben naik mas...?", Erfly bertanya asal.
"Lagi bosan saja dirumah sendirian. Yang lain lagi keluar kota, mengantarkan adik yang ikut tes masuk pondok. Jadi... Saya pikir dari pada pulang, mending disini. Nanti malam juga jadwal saya lagi yang piket", lelaki itu menjelaskan panjang lebar. "Kamu... Sendiri...?", lelaki itu balik bertanya, setelah melihat tidak ada siapa-siapa lagi selain mereka berdua.
"Iya mas Satia. Erfly sendiri...", Erfly menjawab dengan suara paling pelan.
"Jangan bilang kabur karena ada masalah lagi...?", Satia bercanda, kemudian tertawa renyah.
"Erfly berantem sama ayah", Erfly menjawab pelan.
"Salah ngomong", Satia bergumam pelan, kemudian memukul pelan mulutnya.
HP Erfly berbunyi, Erfly segera membuka wa yang masuk kedalam HPnya. Ternyata itu data Pdf untuk ayahnya. Erfly bermaksud langsung melanjutkan data tersebut ke ayahnya.
Akan tetapi tidak sengaja Erfly melihat ada logo Dirgantara Furnitur. Erfly membaca dengan teliti laporan tersebut, darahnya terasa mendidih membaca semuanya lembar demi lembar. Air matanya mengalir tanpa permisi.
Satia menghampiri Erfly, "Dek... Kamu g'ak apa-apa...?", Satia bertanya bingung.
"Jadi... Karena ini ayah begitu membenci Cakya...?", Erfly bicara lirih. "Terus...? Erfly harus bagaimana sekarang...?", tangis Erfly pecah seketika.
Satia tidak berani bertanya lagi. Dia hanya terpaku mematung disamping Erfly, menatap lurus kedepan. Membiarkan Erfly melepaskan semua beban dihatinya.
***
Sudah jam 9 malam, Erfly tidak muncul juga ke ruang inap ayahnya. Bahkan Erfly tidak bisa dihubungi. Ibu Erfly sudah mencoba mencari Erfly kerumahnya, tetap sama saja, tidak ada yang melihat Erfly pulang.
Ibu Erfly memutuskan untuk kembali menemani suaminya di rumah sakit. Ibu Erfly menelfon Alfa, barangkali Alfa tahu kemana Erfly pergi kalau lagi punya masalah.
"Alfa...", ibu Erfly bicara lirih.
"Ada apa bunda...?", Alfa menjawab dengan suara berat, khas suara orang bangun tidur.
"Kamu... Tahu Erfly dimana nak...?", ibu Erfly bertanya pelan.
"Erfly...? G'ak Bunda, Alfa baru saja selesai melakukan operasi. Memangnya ada apa bunda...?", Alfa bertanya bingung. Bukannya dari kemarin Erfly tidak pernah pergi kemanapun setelah pulang sekolah.
"Erfly... Bertengkar dengan ayahnya. Kemudian dia pergi, dan belum pulang sampai sekarang. Bunda sudah coba ke rumah, juga tidak ada. Bunda bingung Fa", ibu Erfly bicara disela tangisnya.
"Alfa coba tanya teman-temannya deh bunda. Sebaiknya, bunda istirahat saja. Nanti Alfa kabari", Alfa memberikan saran.
"Terima kasih Alfa", ibu Erfly bicara hangat menutup telfon.
Alfa segera menelfon Gama. Biasanya Erfly selalu cerita kepada Gama kalau ada apa-apa. Telfon Alfa diangkat hanya dalam deringan kedua.
"Malam dok, ada apa...?", Gama bertanya bingung.
"Kamu... Lihat Erfly tidak...?", Alfa langsung bertanya keintinya.
"Erfly... Tadi sepulang sekolah langsung kerumah sakit bersama Cakya dok. Setelah itu Erfly tidak menghubungi Gama lagi. Ada apa....?", Gama malah balik bertanya.
"Dia berantem sama ayahnya. Terus... Tidak bisa dihubungi sekarang", Alfa menjelaskan secara garis besar.
"Gama coba cari ke tempat Erfly biasa pergi dok", Gama segera memberikan solusi.
"Terima kasih Gam...", Alfa mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Gama.
"Kenapa Om...?", Cakya yang berada di samping Gama langsung bertanya saat Gama menutup telfon.
"Erfly menghilang", Gama bicara cemas.
"Lagi...?", Cakya bertanya heran.
Gama mengangkat bahunya, kemudian beranjak turun dari tempat tidur Cakya.
"Om mau kemana...?", Cakya bertanya bingung.
"Nyari Erfly...", Gama menjawab sembari melangkah semakin menjauh dari hadapan Cakya.
Cakya memasang jaketnya, kemudian meraih kunci motornya.
"Abang mau kemana...?", ibu Cakya berteriak dari arah dapur melihat Cakya terburu-buru keluar dari kamarnya menuju pintu.
"Nyari Erfly...", Cakya menjawab dengan tanpa menghentikan langkahnya.
"Hati-hati abang...!!!", ibu Cakya berlari menyusul Cakya yang telah berlalu bersama motornya.
Cakya menuju puncak, kemudian bukit sentiong. Akan tetapi Erfly masih tidak dia temukan. Cakya menuju kafe favorit Erfly, bahkan lasehan seafood yang selalu dia datangi. Hasilnya sama saja, Erfly tidak ada dimana-mana.
***
Sudah berjam-jam Erfly menangis. Bahkan matahari sudah tergelincir digantikan oleh bulan.
Satia masih tidak berani beranjak dari tempatnya semula.
Erfly menghapus air matanya, kemudian menarik nafas panjang. "Mas g'ak turun...? Katanya jadwal piket", Erfly bicara dengan suara yang serak.
"Mas g'ak mungkin ninggalin kamu dalam keadaan kayak gini...", Satia bicara pelan, enggan meninggalkan Erfly sendirian.