Mayang masih sibuk dengan jadwal konsultasi pasiennya. Setelah lulus SMA, Mayang sengaja mengambil kuliah Psikologi dan kedokteran, sehingga Mayang bisa membuka praktek pskiater sekaligus punya bekal Psikologi.
Sejak di bangku sekolah, Mayang memang suka memperhatikan sikap orang. Akan tetapi dia sangat mencintai dunia medis. Akhirnya Mayang nekat mengambil 2 jurusan kuliah sekaligus.
Terdengar suara ketukan pintu, saat Mayang selesai dengan semua pasien-pasiennya. "Masuk...", Mayang bicara dengan setengah berteriak.
"Maaf dok, ada yang mencari dokter...", pegawai administrasi Mayang bicara dengan sangat sopan.
Mayang memasang kacamatanya, kemudian melihat jadwal cek-up pasiennya. "Saya sudah tidak ada janji lain lagi dengan pasien...", Mayang bicara bingung, dengan mengerutkan keningnya.
"Bukan dok...", perempuan muda itu langsung menyela.
"Lho... Kata kamu, ada yang nyari saya...?", Mayang bertanya bingung, segera melepaskan kacamatanya.
"Iya, katanya teman dokter", perempuan muda itu segera menjelaskan.
"Suruh masuk saja", Mayang bicara pelan.
"Baik dokter...", perempuan muda itu tersenyum lembut.
Selang beberapa detik kemudian pintu ruangan Mayang kembali terbuka, terlihat perempuan dengan kantung mata yang cukup jelas muncul dari balik daun pintu. Wajahnya terlihat lelah, terlihat jelas kalau dia tidak tidur semalaman.
"Astagfirullah... Kak Nanya...?", Mayang tidak percaya dengan yang ada didepan matanya saat ini.
"Kamu lagi sibuk g'ak...? Ada yang mau aku omongin sebentar", Nanya bicara dengan suara paling pelan.
"Duduk kak, kakak sudah makan...? Mau aku pesanin apa...?", Mayang segera menawarkan makan kepada Nanya.
Badannya terlihat lebih kurus dari yang terakhir kali Mayang ingat. Nanya hanya menggeleng lemah sebagai jawaban.
"Sebentar kak", Mayang meninggalkan Nanya sendirian di ruangannya, kemudian melangkah ke meja resepsionis.
"Lingkan, saya minta tolong boleh...?", Mayang bicara lembut.
"Iya dok, ada apa...?", perempuan muda yang dipanggil Lingkan tersenyum lembut.
"Tolong kamu kerumah ambil ketringan 3 kotak, yang satu buat kamu, dua lagi tolong siapin bawa keruangan saya", Mayang memberikan perintah.
"Siap dok, kalau begitu saya permisi dulu", Lingkan berlalu pergi meninggalkan Mayang.
Mayang kembali masuk kedalam ruangannya, duduk di samping Nanya.
"Kak Nanya kenapa...?", Mayang bertanya lembut.
Satu baris pertanyaan Mayang, langsung berhasil meruntuhkan pertahanan Nanya. Tangisnya langsung pecah, Mayang segera menarik Nanya kedalam pelukannya.
10 menit kemudian tangis Nanya mulai mereda, Nanya melepaskan pelukannya setelah mendengar suara ketukan pintu. Nanya memilih berdiri menatap keluar kaca jendela, menghindari tatapan dari pegawai Mayang.
Lingkan meletakkan 2 kotak makanan lengkap dengan 2 botol air mineral keatas meja.
"Kamu masih ada yang mau dikerjakan lagi...?", Mayang tiba-tiba bertanya sesaat sebelum Lingkan meninggalkan ruangan Mayang.
"Udah g'ak ada dok, laporan pasien sudah saya salin semua ke data komputer seperti biasa", Lingkan menjawab santun.
"Kamu boleh pulang, saya juga mau ada urusan keluar sebentar lagi bersama teman saya", Mayang bicara lembut.
"Baik dok...", Lingkan bicara bingung. Tidak biasanya Mayang mau menutup kliniknya, padahal baru jam 3 sore.
"Kalau kamu pulang, jangan lupa pintunya ditutup saja. Takut ada yang masuk nanti, saya di dalam, tidak dengar", Mayang kembali memberikan perintah.
"Baik dokter...", Lingkan mengangguk patuh.
"Terima kasih Lingkan", Mayang bicara sesaat sebelum dara manis itu berlalu pergi.
"Kak, makan dulu. Mayang dapat kiriman ketringan dari ibuk", Mayang bicara pelan.
Nanya kembali duduk disamping Mayang, dengan enggan meraih kotak nasi yang ada dihadapannya.
"Kak Nanya harus tetap sehat, kasian Erca kalau kak Nanya sakit. Siapa yang akan mengurus Erca...?", Mayang bicara lembut, kemudian mengusap pelan punggung tangan kiri Nanya yang ada disampingnya.
Nanya hanya tersenyum pahit, kemudian memasukkan suapan kecil kedalam mulutnya. Mayang sengaja tidak mengajak Nanya berbicara, sampai Nanya menghabiskan makanannya.
"Kak Nanya kenapa...?", Mayang mulai angkat bicara setelah Nanya menghabiskan makanannya.
"Aku g'ak tahu harus ngapain lagi", Nanya bicara dengan nada putus asa.
"Ada apa kak...? Cakya lagi...?", Mayang hanya menebak asal.
"Bertahun-tahun aku berusaha untuk bertahan dan berharap, suatu saat Cakya akan membuka sedikit saja hatinya.
Akan tetapi... Aku selalu saja menjadi bayang-bayang Erfly. Bahkan begitu putra satu-satunya kami lahirpun. Cakya menamainya Erca 'Erfly dan Cakya', aku...", Nanya tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena tangisnya kembali pecah.
"Kak...", Mayang menggenggam jemari tangan kanan Nanya lembut. "Dari awal, Mayang sudah pernah mengingatkan kak Nanya. Ini akan sulit buat kakak, akan tetapi... Kakak malah memaksa. Mayang mau bilang apa...?", Mayang bicara dengan anda suara paling pelan.
Saat menghadapi wanita yang satu ini, Mayang selalu kehabisan kata-kata untuk diucapkan.
"Apa lagi yang diperbuat manusia yang satu itu...?", Mayang kembali bertanya asal.
"Kemarin dia memandu peserta KPA dari Lombok. Dia... Ketemu Erfly...", Nanya tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Mayang sudah menyela terlebih dahulu.
"Butterfly...?!", Mayang bertanya bingung dan penuh tanya.
Nanya menggeleng lemah, "Bukan, putrinya Butterfly", Nanya bicara pelan.
"Lalu...?", Mayang bertanya penuh antusias, perasaannya campur aduk begitu mendengar nama Erfly disebut.
Mayang senang karena akhirnya dia bisa tahu kabar malaikat penolongnya, sekaligus miris karena melihat Nanya yang terpukul dan terluka.
"Cakya akhirnya tahu kalau Erfly selama ini tinggal di Lombok. Dan... Dia sudah menikah", Nanya bicara dengan nada yang sama, sangat pelan.
"Menikah...?", Mayang berusaha menekankan pada informasi yang dia dengar.
"Erfly menikah dengan Satia...", Nanya kembali melanjutkan.
"Mas Satia...?", Mayang kembali memastikan kalau dia tidak salah orang.
"Entahlah, yang Nanya dengar dari bang Cakya, katanya dia petugas yang sering menjaga kaki gunung tujuh dan sering menemaninya saat mendaki di gunung tujuh", Nanya memberikan informasi yang dia ketahui.
"Terus...? Apa yang membuat kak Nanya sedih...? Harusnya kak Nanya senang, tahu Erfly sudah menikah. Kecil kemungkinan Cakya akan kembali bersama dengan Erfly lagi", Mayang berusaha menghibur Nanya.
"Hari ini bang Cakya kembali ke gunung tujuh, katanya memandu KPA pendakian ke gunung Kerinci", Nanya kembali melanjutkan ucapannya.
"Cakya sudah biasa melakukan pendakian, sudah bukan hal yang baru lagi untuk Cakya kak. G'ak perlu di pikirkan, kakak g'ak usah terlalu khawatir", Mayang kembali berusaha menghibur Nanya.
"Aku rasa g'ak sesederhana itu, bang Cakya melakukan pendakian memiliki tujuan lain", Nanya bicara lemah.
"Maksudnya...?", Mayang mengerutkan keningnya karena tidak mengerti dengan arah tujuan ucapan Nanya barusan.
"Bang Cakya melakukan pendakian, untuk mencari informasi lebih jelas tentang keberadaan Erfly. Bang Cakya masih penasaran, alasan kenapa Erfly meninggalkan bang Cakya 10 tahun silam", Nanya bicara dengan putus asa.
Hatinya terasa sakit, membayangkan Cakya akan kembali bertemu dengan Erfly.
Sosok perempuan yang selalu dia puja-puja.
Perempuan sempurna tanpa cela, tidak perduli seberapa dalam perempuan satu itu menancapkan luka di hatinya.
Tetap saja, Erfly selalu punya tempat spesial disudut hatinya.
Mayang kembali menarik Nanya kedalam pelukannya, tangis Nanya kembali pecah seketika. Mayang ikut merasakan sedih untuk Nanya, akan tetapi disisi lain dia bersyukur Erfly baik-baik saja.