webnovel

Purnama itu tugasnya tersenyum, bukannya malah cemberut

Mayang baru saja mau menutup kliniknya setelah Nanya pamit pulang, akan tetapi Gama tepat parkir di depan Mayang.

"Ojek neng...?", Gama bertanya pelan, kemudian melemparkan senyuman terbaiknya.

"Bentar bang, nutup pintu dulu", Mayang menjawab santai.

Gama turun dari motor, kemudian membantu Mayang menutup pintu klinik.

"Lingkan mana...?", Gama bertanya pelan, karena biasanya Mayang di bantu Lingkan pegawainya untuk menutup klinik.

"Mayang suruh pulang duluan tadi", Mayang menjawab santai.

"Baik banget bos yang satu ini, jadi makin tayang nich...", Gama menggoda Mayang.

Mayang hanya tersenyum mendengar candaan Gama.

"Mau kemana kita...?", Gama bertanya setelah kembali duduk dengan nyaman diatas motornya.

"Kemana aja Gam...", Mayang menjawab malas.

Gama tidak bertanya lagi, perlahan Gama mulai menarik gas motornya perlahan. Gama menyusuri jalan menuju arah Bukit Sentiong. Saat menemukan penjual jagung bakar, Gama memutuskan untuk berhenti. Kemudian memesan jagung bakar untuk dirinya, dan pisang bakar untuk Mayang.

Setelah memesan jagung dan pisang bakar, Gama menuju warung kecil yang ada disamping penjual jagung bakar, Gama membeli 2 botol air mineral. Selanjutnya Gama memilih untuk duduk di atas trotoar jalan, menyusul Mayang yang telah lebih dulu duduk, menatap lepas jauh ke atap-atap rumah.

Gama sengaja menyikut lengan kanan Mayang dengan tangan kirinya. "Purnama itu tugasnya tersenyum, bukannya malah cemberut", Gama nyeletuk asal untuk membuyarkan lamunan Mayang.

Mayang hanya memaksakan senyum pahit kepada Gama.

"Ada apa...?", Gama bertanya pelan, sembari menyodorkan satu botol air mineral ketangan Mayang.

"Tadi sebelum Gama datang, kak Nanya baru pulang", Mayang bicara dengan suara paling pelan.

"Kak Nanya...? Ngapain dia ke klinik Mayang...?", Gama bertanya bingung.

Mayang meminum sedikit air dari botol sebelum mulai angkat bicara. "Kenapa lagi, hanya satu orang yang bisa buat kak Nanya nangis bombay. Keponakannya Gama", Mayang bicara kesal.

"Kenapa lagi bocah yang satu itu...?", Gama bertanya lembut.

"Dia naik gunung", Mayang bicara pelan.

"Biasanyakan juga naik gunung itu anak, terus masalahnya dimana...?", Gama kembali bertanya.

"Kali ini dia naik gunung karena mau menyusul Erfly...", Mayang bicara lirih.

"Erfly...? Butterfly...?", Gama mengerutkan keningnya, merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Putrinya Butterfly. Selama ini ternyata Erfly ada di Lombok, dan dia menikah dengan mas Satia", Mayang bicara dengan nada suara yang berapi-api.

Gama tetap duduk dengan tenang, meneguk air minum dari botol yang ada di tangannya.

Mayang mengerutkan keningnya, melihat sikap Gama yang biasa saja mendengar informasi yang baru saja dia lempar.

"Gama sudah tahu Erfly di Lombok selama ini...?", Mayang tiba-tiba menebak.

Gama tidak menjawab, hanya mengangguk pelan.

"Gama juga tahu kalau Erfly menikah dengan mas Satia...?", Mayang kembali mengejar jawaban.

Gama ragu sejenak, kemudian menit berikutnya Gama mengangguk pelan.

"Dan... Gama diam saja selama ini...?", Mayang kembali bertanya kesal, tidak mengerti dengan jalan pikiran Gama.

"Buat apa...?", Gama bertanya diluar dugaan Mayang.

"Buat apa...? Gama masih nanya buat apa...?", Mayang bertanya kesal.

"Setelah Nadhira mengantarkan Gama ke hotel waktu itu, dan menyampaikan pesan dari Erfly. Gama berusaha keras untuk mencari informasi soal Erfly, Gama kembali lagi ke Kafe tempat Erfly mengajak Gama makan.

Gama curiga itu milik Erfly. Dan setelah bertemu dengan salah satu pegawai kafe. Gama dapat info, benar... Kafe itu milik Erfly. Dan... Dari pegawai kafe juga Gama tahu kalau Erfly sudah menikah.

Awalnya Gama sempat g'ak percaya Erfly udah nikah, tapi... Pegawai kafe akhirnya memperlihatkan foto pas pernikahan Erfly. Dan... Itu Satia. Kolonel Rully, yang memindahkan Erfly dari rumah sakit DKT. Ternyata... Dia TNI AU, saat bekerja di sini, hanya dalam proses penyamaran, dapat tugas dari satuan khusus", Gama akhirnya menjelaskan panjang lebar yang dia ketahui.

"Terus...? Kenapa Gama diam saja selama ini...? G'ak pernah ngomong masalah ini sama Cakya...?", Mayang kembali bertanya.

"Buat apa...? Buat menambah luka Cakya agar lebih dalam...? Sudah terlalu sakit untuk Cakya, dia di tinggal oleh Erfly hanya dengan selembar surat. Mayang tahu sendiri keadaan Cakya bagaimana. Mayang bisa bayangkan sendiri bagaimana keadaan Cakya nantinya, menerima pukulan bertubi-tubi seperti itu", Gama bicara dengan nada putus asa.

"Terus Mayang harus ngapain sekarang...? Mayang g'ak tega melihat kak Nanya seperti ini terus", Mayang bicara lirih, air matanya tanpa sadar mengalir tanpa permisi.

Gama menghapus lembut jejak air mata Mayang.

"Dari awal kak Nanya sudah tahu risikonya, di hati dan pikiran Cakya hanya ada Erfly. Kak Nanya masih tetap dengan pendiriannya, biarkan saja seperti ini adanya", Gama menasehati dengan lembut.

***

Wulan masih sibuk mondar-mandir menyusun makanan ketring yang baru saja datang. Sudah hampir seminggu Wulan menginap dirumah temannya yang akan melangsungkan pernikahan.

"Wulan, bagaimana ketringannya...?", seorang perempuan manis menggunakan kebaya bertanya lembut.

"Alhamdulillah aman, kamu coba cek dulu saja. Kalau ada menu yang mau dirubah atau ditambahkan untuk acara resepsi besok. Tinggal bilang saja, Wulan bisa langsung telfon ibunya kak Mayang kok", Wulan bicara antusias.

Perempuan itu langsung menyerbu kepelukan Wulan, "Terima kasih Lan, kalau g'ak ada kamu, aku g'ak tahu akan jadi apa pernikahan ku nanti", perempuan itu bicara pelan, pipinya basah dengan air mata.

"Ngomong apa sih, itu gunanya sahabat", Wulan bicara lembut, menghapus jejak air mata perempuan yang ada di hadapannya ini.

"Mbak, maaf... Itu orang WO nya nanya. Kamarnya mau dihias sekalian hari ini g'ak...? Mereka nanya, lokasinya yang mana saja", seorang anak lelaki bertanya lembut.

"Ya pasang sekaranglah, kan acaranya udah besok, gimana sih...!", perempuan yang ada dihadapan Wulan bicara panik.

Wulan mengusap pelan lengan kanan sahabatnya, "Mending kamu lanjut foto deh di dalam. Biar aku saja yang menemui mereka", Wulan bicara lembut.

"G'ak apa-apa Lan...? Aku jadi g'ak enak ini sama kamu", perempuan manis itu bicara enggan.

"Kalau g'ak enak, kasih kucing aja", Wulan tertawa renyah. "Udah, kamu masuk sana", Wulan mendorong sahabatnya untuk segera masuk kedalam rumah.

"Mana orang WO nya...?", Wulan bertanya kepada anak lelaki yang ada di sampingnya.

"Itu kak, ada di depan", anak lelaki itu bicara pelan.

Wulan melangkah perlahan mengikuti arahan bocah lelaki yang tadi. Terlihat seorang perempuan bersama seorang lelaki yang menggendong anak kecil di tangan kanannya, sedang berdiri membelakangi Wulan.

"Maaf, mbak yang dari WO bukan...?", Wulan bertanya pelan.

Perempuan itu berbalik dengan anggunnya, "Iya mbak, saya Tasya", perempuan itu mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Wulan.

"Wulan...", Wulan menyebutkan namanya, kemudian melemparkan senyuman terbaiknya.

"Jadi... Lokasi mana yang kita pakai mbak...? Biar barang-barangnya bisa langsung diturunkan sama anak-anak", Tasya bertanya langsung keintinya.

"Oh... Sebelah sana mbak, mari saya tunjukkan", Wulan menawarkan diri untuk mengantarkan Tasya.

"Sebentar mbak", Tasya menghampiri lelaki yang sedari tadi membelakangi Wulan, karena asik bermain dengan anak kecil digendongan tangannya.

"Kang, Tasya kesana dulu sama mbak Wulan. Titip dedek sebentar", Tasya bicara lembut.

Lelaki yang sedari tadi membelakangi Wulan menoleh menatap kearah Wulan.

Langit Wulan serasa runtuh seketika, dadanya terasa sesak, bahkan air matanya mengalir tanpa permisi.

Orang ini...?

Kenapa dia ada disini...?

Kenapa dia bersama anak kecil...?

Lalu siapa anak kecil dan perempuan ini...?

Next chapter