webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Abang kenapa...?

Cakya memutuskan untuk pulang, karena Erca besok harus kesekolah. Di kepala Cakya, obrolannya bersama Erfly si bocah kecil itu selalu berputar di kepalanya.

Cakya sampai di rumah tepat tengah malam, pintu segera di buka oleh perempuan cantik, yang sedari tadi sudah menunggu kedatangan Cakya dan Erca putra semata wayangnya. Perempuan itu langsung mengambil alih Erca dari gendongan Cakya, kemudian membaringkan Erca ke tempat tidurnya.

Setelah memastikan tidur Erca tidak terganggu, perempuan itu melangkah menyusuri rumah mencari keberadaan Cakya, suami yang sangat dia puja.

Perlahan perempuan itu membuka pintu kamar, tidak ada siapa-siapa disana. Akan tetapi gorden kamar bergeser sebesar pintu untuk menuju balkon. Perempuan itu dengan yakin melangkah menuju balkon kamar.

Benar saja, Cakya sedang menghisap dalam rokoknya. Terlihat wajahnya penuh frustrasi dan putus asa. Perempuan itu menghampiri Cakya, meletakkan jemari tangannya dengan lembut di pundak Cakya.

"Bang...", perempuan itu bicara lembut, sembari mengelus pelan pundak Cakya.

Cakya kembali ditarik dari lamunannya, kemudian menepis kasar jemari tangan perempuan yang ada di sampingnya.

Tidak ada ucapan yang keluar dari mulut perempuan itu, guratan kecewa jelas tertulis di wajahnya yang cantik. Dengan sekuat tenaga perempuan itu memaksakan senyumnya.

"Abang udah makan...? Mau Nanya masakin apa...?", perempuan itu bertanya dengan lembut.

"G'ak", Cakya menjawab dingin, dan sesingkat mungkin. Tanpa repot-repot melihat wajah lawan bicaranya.

"Atau... Abang mau Nanya...", perempuan itu tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena Cakya kembali menyela.

"G'ak, Cakya ingin sendiri", Cakya bicara dingin, tatapannya langsung berhasil menusuk tepat ke jantung Nanya.

"Abang kenapa...?", perempuan itu bertanya lembut, berusaha meraih jemari tangan kiri Cakya.

"Tinggalin Cakya sendiri, kamu ngerti g'ak...!!!", Cakya menghardik perempuan yang ada disampingnya.

Kali ini cara Cakya berhasil memukul mundur perempuan yang ada disampingnya, pertahanannya runtuh seketika. Perempuan itu berlalu dari hadapan Cakya, menghempaskan dirinya kasar keatas kasur, tangis tertahannya pecah. Sekuat tenaga perempuan itu menutup mulutnya, agar suara tangisnya tidak terdengar oleh Cakya.

Cakya mengusap kasar mukanya dengan frustrasi. Lagi-lagi Cakya membuat istrinya menangis. Cakya meninggalkan rokoknya yang baru dihisap setengah kedalam asbak begitu saja, kemudian menyusul istrinya yang masih telungkup di atas kasur.

Cakya duduk di sudut kepala tempat tidur dengan kaku, "Cakya minta maaf, pikiran Cakya lagi kalut saat ini", Cakya bicara lirih.

Perempuan yang dibuat menangis oleh Cakya, duduk dengan perlahan. Kepalanya tertunduk dalam, tidak berani menatap wajah Cakya.

"Nanya yang salah bang, terkadang Nanya yang terlalu berharap. Nanya sering lupa, kalau pernikahan kita ini hanya sebatas perjanjian diatas kertas semata. Nanya yang tidak tahu diri, terlalu berharap banyak atas pernikahan ini", perempuan itu bicara dengan suara paling rendah.

Cakya kembali mengusap kasar mukanya, "Dari awal Cakya sudah bilang, ini bukan rencana yang baik untuk kita jalani. Tapi... Kamu memaksa", Cakya bicara dengan nada frustrasi, tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana di depan perempuan yang satu ini.

Dia rela memberikan segalanya untuk Cakya. Nanya memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya menjadi dosen, saat Cakya setuju untuk menikah dengannya, Nanya memutuskan untuk sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga, agar fokus mengurus Cakya dan putra semata wayangnya.

Awalnya Nanya berfikir Cakya perlahan akan luluh, setelah dia menyerahkan segalanya kepada Cakya, bahkan Cakya yang berhasil mengambil keperawanannya yang dia jaga dengan sangat baik sepanjang hidupnya. Akan tetapi Cakya malah tidak pernah menyentuh Nanya sedikitpun, setelah malam pertama mereka.

Pernikahan mereka hanya status yang tertulis diatas kertas semata. Cakya masih saja bersikap sedingin puncak gunung es. Berbagai cara telah Nanya lakukan, untuk meluluhkan hati Cakya, akan tetapi lelaki itu masih saja dengan keteguhannya.

"Nanya sudah jatuh hati kepada Cakya, sejak pertama Nanya melihat Cakya yang menolong Nanya saat di tampar Dimas.

Nanya jatuh hati kepada sosok Cakya, lelaki lembut yang hangat, tanpa rasa ragu dan takut siap untuk terjun membantu Nanya, padahal Cakya sama sekali tidak punya kewajiban untuk melakukan itu.

Cakya bahkan bisa tutup mata, menganggap kejadian itu tidak pernah ada. Sejak hari itu, Nanya tidak bisa menyingkirkan Cakya dari pikiran Nanya.

Makanya Nanya menawarkan pernikahan ini, saat tahu apa yang terjadi dengan mama setelah Candra memutuskan pertunangan.

Nanya pikir, tidak apa-apa untuk Nanya, pelan-pelan Cakya akan luluh melihat ketulusan Nanya, tidak apa-apa untuk Nanya, pelan-pelan Cakya akan belajar untuk mencintai Nanya...", Nanya bicara panjang lebar, suaranya terdengar demikian sendu, sangat terdengar nada putus asa di dalamnya.

"Cakya ketemu Erfly di gunung, si kembar tiga anaknya Butterfly. Hasan, Husen dan Erfly...", Cakya mulai angkat bicara.

Seperti di tusuk ribuan jarum, tubuh Nanya terasa perih tidak tertahankan. 'Perempuan satu itu lagi', batin Nanya putus asa.

Hanya ada satu nama yang selalu menjadi tembok penghalang antara Nanya dan Cakya. Butterfly, perempuan yang sudah berhasil menjungkir-balikkan hidup Cakya. Akan tetapi, tidak sedikitpun Cakya menyimpan dendam atau benci untuk perempuan yang satu itu. Malah semakin disakiti, Cakya semakin memupuk perasaannya terhadap Erfly.

"Cakya cerita banyak dengan Erfly, gadis kecil bungsu dari kembar tiga bersaudara. Dari dia Cakya akhirnya tahu keberadaan Erfly, dia di Lombok selama ini", Cakya bicara lirih, menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya.

Nanya berusaha keras menahan perasaannya, tangisnya sudah menyerbu ingin keluar, pandangannya mulai mengabur karena matanya yang mulai berkaca-kaca.

"Ternyata, Erfly... Menikah dengan Satia. Orang yang selalu menemani Cakya saat berada di Gunung Tujuh", Cakya bicara dengan suara paling pelan.

"Waktu terakhir kali kita ketemu di gunung, saat Cakya melamar Erfly. Satia sempat bilang waktu pamit pulang, 'Titip Erfly, jaga dia baik-baik, jangan sakiti dia. Kalau sampai Erfly menangis, aku akan datang merebut Erfly dari Cakya'.

Cakya pikir awalnya itu hanya candaan sesaat Satia saja, ternyata... Akhirnya Cakya tahu kalau Satia beneran merebut Erfly dari Cakya. Dia serius dengan ucapannya waktu itu...", Cakya bicara dengan tidak berdaya.

"Terus... Abang mau apa sekarang...? Erfly sudah bahagia bersama Satia...", Nanya berusaha keras untuk berkomentar, menahan air matanya untuk tidak menyerbu keluar.

"Cakya harus ketemu Erfly, Cakya harus cari kebenarannya", Cakya bicara dengan keyakinan penuh.

"Untuk apa...?", Nanya bertanya frustrasi. Lebih tepatnya, Nanya takut kehilangan Cakya.

Kalau sampai Cakya bertemu kembali dengan Erfly, tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali bersama. Lalu bagaimana dengan dirinya...?

"Untuk menyelesaikan pertanyaan yang menghantui Cakya selama ini. Ada begitu banyak tanda tanya yang harus Cakya cari jawabannya. Dan... Itu semua akan terjawab, setelah Cakya langsung bertemu dengan Erfly", Cakya bicara dengan keyakinan penuh.

"Lalu bagaimana dengan Nanya...?", Nanya bertanya frustrasi.

"Dari awal kita sudah sepakat, tidak ada rasa dalam pernikahan ini...", Cakya kembali mengingatkan Nanya, kalau mereka menikah hanya untuk memenuhi tuntutan ibunya Cakya.

"Bagaimana dengan Erca...? Putra semata wayang kita...?", Nanya kembali meradang.