webnovel

A Story You Can Tell

PERINGATAN! Rate 18+ Mengandung kekerasan Fuguel, lelaki tanpa ekspresi itu telah kehilangan hampir semua hal dalam hidupnya. Kemudian Albert, penyihir muda yang juga pangeran dari Ririas, lari dari negerinya setelah mengetahui sebuah kenyataan yang menyakitkan. Keduanya kemudian bertemu di sebuah wilayah gersang dan melakukan perjalanan untuk mengembalikan tubuh Fuguel seperti semula. Selama perjalanan itu, mereka melalui banyak hal, bertemu dengan banyak orang, belajar mengenai arti cinta, dan belajar memaknai kehidupan. A Story You Can Tell sendiri merupakan kisah cinta. Cinta yang menjadi kekuatan atas segala tindakan, sekaligus rasa sakit terburuk yang pernah manusia rasakan.

aylenasensei · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
43 Chs

Anak dengan Pita Biru Muda

Setelah Tuan Tyr pergi, Albert berbaring di atas kasur menatap langit-langit. Anak itu begitu murung. Tak disangkanya, penyamaran yang selama ini ia lakukan selalu saja diketahui oleh orang-orang yang tidak ia harapkan. Lagi pula, hal yang paling tidak disukai oleh Albert adalah ketika dirinya diketahui sebagai pangeran. Status itu selalu menjadi beban dan justru menghantuinya.

Saat malam semakin larut, Albert justru semakin terjaga karena memikirkan kejadian sebelumnya. Meski Tuan Tyr secara pribadi meminta tolong kepadanya, tetap saja ada perasaan ragu dan ketidakpercayaan dalam diri anak itu. Besarnya luka akibat dikhianati membuat Albert sulit untuk mempercayai siapa pun. Selain itu, mendengar kisah yang Tuan Tyr sampaikan menyisakan sesuatu yang menjanggal. Bukan hanya sekadar janggalan yang mengusik pikiran. Lebih tepatnya hal-hal yang bersifat fundamental.

"Apa yang sebenarnya aku lakukan? Apa yang sebenarnya aku harapkan? Fuga melakukan perjalanan untuk mengembalikan tubuhnya. Mithyst mencoba menyelamatkan negerinya, kemudian Tuan Tyr dan lainnya turut membantunya untuk mewujudkan impian yang sangat mulia itu. Sedangkan aku? Aku selalu terlibat di dalam tujuan orang lain. Saat di sana sekalipun, aku tidak lebih dari sebuah alat. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku percaya?"

Setelah lama berpikir sepanjang malam, tau-tau matahari telah terbit dan langit mulai cerah. Di sekitar mata Albert terdapat lingkaran hitam yang membekas. Wajahnya kusam dan terlihat sangat kelelahan. Berpikir sepanjang malam tidak hanya menghabiskan energi fisik tapi juga psikisnya. Pada akhirnya, anak itu memutuskan untuk pergi.

"Kau akan pergi?" Aran melihat Albert membuka pintu mansion dan bergerak keluar. Anak itu telah membawa barang bawaannya

Albert melirik ke arah Aran dan menatapnya dengan tampang kusut. Lalu, beberapa detik kemudian Tuan Tyr muncul. Anak itu mengalihkan pandangan ke arah pria berambut perak itu dengan tatapan kosong.

"Aku yakin kau membahas mengenai menjalin kepercayaan semalam. Aku ingin keluar, kau tidak akan menghalangiku bukan?"

Aran hendak mencegah kepergiaan anak itu, tapi ayahnya melarang. "Aku tidak akan menghalangimu," ucapnya dengan intonasi yang meyakinkan. Meski begitu Tuan Tyr sendiri sebenarnya memiliki keraguan, tetapi ia mencoba untuk bertaruh dengan kemungkinan kecil anak itu akan kembali. Tuan Tyr mencoba percaya bahwa kepercayaan adalah suatu hal yang diperlukan untuk menjalin hubungan jangka panjang. Terlebih lagi, ia memilih mempercayakan murid kesayangannya ketimbang memberikan ancaman. Hal itu lebih dari cukup untuk mempertegas bahwa ia menginginkan masa depan yang lebih baik antara Rurall dan Ririas.

Setelah meninggalkan kediaman Vysteria, Albert mampir ke tengah kota sebelum kembali ke rumah pohon. Pikirnya, ia bisa menata pikiran sebelum bertemu Fuguel jika ia berjalan-jalan di tengah kota. Terkadang keadaan bising justru lebih menenangkan ketimbang menghabiskan waktu seorang diri. Selama ia memilih untuk menjauh dari kerumunan, pikiran-pikiran negatif pastinya tidak terhindarkan.

"Meow …," seekor kucing tampak mengelus kaki Albert setibanya di pancuran air kota. Anak itu duduk sembari memperhatikan orang-orang berlalu lalang. Sedangkan kucing kecil berbulu kemerah-merahan itu tampak menggodanya.

"Halo, apa kabar?" Albert dengan senyum tipis mengangkat kucing itu tinggi-tinggi. Dari arah bawah, bentuk bibir kucing itu terlihat seperti tersenyum. "Apa kau sedang kelaparan? Maaf, saat ini aku tidak punya apa-apa."

Untuk beberapa saat anak itu bermain dengan kucing tersebut. Anehnya, ia tidak bisa berhenti untuk tidak mengajak kucing itu bercakap. Kehadiran si makhluk berbulu membuat Albert sedikit melunak. Setidaknya ia tidak berkeluh kesah untuk sementara waktu.

"Hei, apa kau tinggal di daerah sini? Apa kau punya keluarga?"

"Meow …."

"Hahaha, maafkan aku, aku tidak mengerti apa yang kau katakan." Albert tampak cengengesan. Beberapa kali orang-orang melirik ke arahnya menatap heran. Anak itu terlihat terlarut dalam dunia kecilnya.

"Apa kau punya nama?" Tanya Albert sembari memiringkan kepala. Anak itu terus memberikan pertanyaan secara sepihak. Namun, di tengah-tengah kesenangannya bermain bersama kucing, seseorang tiba-tiba memberi seruan.

"Dia tidak akan menjawab meski kau bertanya berkali-kali, lagi pula kucing tidak mengerti bahasa manusia." Tampak seorang anak berambut kecokelatan dengan pita biru muda besar yang melingkar di kerah bajunya.

Albert terkejut ketika melihat pemilik suara itu. "Juli … Julius?!"

"Benar," jawab anak lelaki itu datar. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Setelah melihat kemunculan Julius, Albert melepaskan kucing yang ia gendong. Kucing itu pun lari meninggalkan keduanya.

"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini." Albert yang duduk di tepi pancuran air memberi isyarat agar Julius duduk di sampingnya. Julius kemudian duduk, menyambut niat baik anak itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Albert mencoba berbasa-basi. Bagaimana pun, ini pertama kalinya ia bertemu dengan kembaran Julia sejak kedatangannya di Rurall setengah bulan yang lalu. Ia tidak pernah membayangkan akan menemuinya dalam kondisi seperti itu.

"Aku habis dari perpustakaan meminjam buku," jelas Julius. Memang ia terlihat membawa beberapa buku.

"Ohh. Aku dengar dari Julia kau senang menghabiskan waktu untuk membaca."

Albert mencoba bersikap ramah. Ia berusaha tersenyum sealami mungkin agar memberikan kesan baik terhadap adik dari orang yang mengurusnya tidak lama ini. Sayangnya, anak bernama Julius itu tidak menunjukkan ekspresi tertentu. Ia tidak terlihat menolak untuk bercakap tetapi juga tidak terlihat begitu tertarik. Wajahnya sangat datar memberikan kesan dingin. Bahkan mungkin lebih dingin dari Fuguel. Lagi pula lelaki itu tidak memiliki ekspresi karena kondisi tertentu. Sedangkan anak yang bersama Julius ini terlihat berbeda. Jika dibandingkan dengan kakaknya, mereka terlihat seperti siang dan malam.

"Julia memberitahuku bahwa kau banyak membantunya selama pesta malam puncak. Terima kasih."

"Ahhh tidak, tidak …," Albert mengayun-ayunkan tangannya di depan wajah. "Justru kakakmu yang telah banyak membantuku." Kali ini senyum anak itu terlihat benar-benar dipaksakan.

"Dan merepotkanmu," Julius menambahkan setelah memperhatikan sikap anak yang duduk di sampingnya. Mendengar hal itu Albert tidak lagi menampik dan diamnya memberi kesan setuju.

Setelah diam beberapa detik kecanggungan yang dirasakan Albert menjadi-jadi. Ia tidak tahu lagi harus membangun percakapan seperti apa. Adik Julia jauh lebih sulit diajak berkomunikasi ketimbang apa yang anak itu bayangkan. Hal itu membuat Albert sedikit gugup.

"Kau terlihat sedang merisaukan sesuatu, apa kau tidak apa-apa?"

Mendengarnya, Albert tersenyum kaku. "Yah berkat kau," pikir anak itu.

"Aura yang kau pancarkan terlihat sangat pucat, kau seperti memikirkan sesuatu yang berat." Julius kemudian bangkit, berdiri di hadapan Albert. Mata keduanya saling menatap lekat-lekat. Hal yang Albert pikirkan ketika melihat anak itu adalah betapa jernihnya mata kecokelatan yang ia miliki. Jauh lebih jernih ketimbang iris mata saudaranya.

"Aku baik-baik saja."

"Benarkah? Kalau begitu aku permisi." Julius kemudian menundukkan kepala lalu berbalik. Ia berjalan meninggalkan anak yang masih duduk di tepi pancuran air itu.

"Tunggu!" Tanpa sadar Albert mencoba mencegah kepergian Julius.

"Ada apa?" Julius berbalik lalu memiringkan kepala.

"Mmm …," Albert terlihat kebingungan. Tak satu pun kata kunjung terdengar dari mulutnya.

"Kalau tidak ada yang ingin kau katakan, aku pergi dulu."

Baru saja Julius akan beranjak dari tempat ia berdiri, Albert bangkit dan menunjukkan ekspresi yang serius. Anak itu kemudian melontarkan sebuah pertanyaan. "Seandainya kau bermusuhan dengan seseorang, dan orang itu meminta pertolongan padamu, apa kau akan mengabulkan keinginanya?"

"Pertanyaan apa itu?" Julius mengerutkan kening, ekspresi pertama yang ia tunjukkan sejauh ini. Anak itu mendengus kemudian menjawab pertanyaan Albert. "Tergantung kondisinya. Jika hal itu menguntungkan, mungkin aku akan membantu. Misalnya, jika aku membantunya kali ini, dia akan memberiku imbalan yang setimpal, atau jika aku membantu, dia bakal balik membantu di masa depan." Mendengar jawaban itu, Albert terlihat tidak puas. Anak itu menunjukkan ekspresi masam.

Julius menghela napas panjang melihat anak yang usianya dua tahun di atasnya. "Apapun itu, jika itu aku, aku tidak mungkin membantu musuhku begitu saja. Namanya musuh yah musuh. Tapi jika dipikir-pikir, bukankah karena dia benar-benar kesulitan dan tidak memiliki orang lain makanya ia meminta tolong kepada musuhnya?"

Mata Albert terbuka lebar, ia seperti mendengarkan sesuatu yang luar biasa. Awalnya ia tidak bermaksud untuk bertanya kepada seorang anak yang bahkan lebih muda darinya. Tapi, dorongan tersebut muncul entah dari mana. Mungkin, ketika mendegar cerita dari Julia mengenai adiknya, ia menjadi terbawa suasana. Julius dibayangan Albert adalah anak yang pintar. Dan mungkin secara tidak sadar ia berpikir akan memperoleh sesuatu jika bertanya kepadanya.

"Aku tidak tahu jika itu menjawab pertanyaanmu atau tidak. Aku mohon pamit." Anak itu akhirnya pergi. Perlahan-lahan punggungnya menyatu dalam kerumunan hingga siluetnya tidak lagi terlihat. Kemudian setelah sedikit berbincang, Albert memutuskan untuk segera kembali ke rumah pohon.

~