Saya akan menyusul kekasih saya Ahmad, untuk bersama dengannya, sekalipun kami tidak bisa bersatu di dunia, kami akan bersatu di akhirat kelak. Karena cinta kami suci, dan tidak berlandaskan nafsu belaka. " Ma..., Pa..., "Satu permintaan saya sebelum detak jantung saya tidak berdenyut lagi, kuburkan saya nanti dekat dengan kuburan kekasih saya.... Mati adalah kepastian, namun bagaimana apabila seorang kekasih yang terpisah oleh waktu yang sangat lama, tiba-tiba harus bertemu dengan kekasihnya yang sudah kaku, tidak bernyawa lagi?"karena kecelakaan pesawat yang ditumpanginya? "
Pagi itu cuaca sangat cerah, bunga-bunga harum semerbak dan beraneka warna yang berada di depan rumah mulai keluar dari kuncupnya untuk menghirup udara segar hari itu.
Begitu juga sinar matahari yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia mulai menembus ke ruang kamar rumah setiap orang.
Seorang anak laki-laki berambut ikal, bermata sayu, berkulit sawo matang dan berperawakan tinggi menarik kain selimut yang menutupi tubuhnya.
Dia membuka jendela yang terbuat dari kayu sembari menatap keluar rumah, maka tampaklah indahnya alam yang terpampang luas.
Kemudian dia memalingkan pandangannya ke sebuah gunung yang berdiri dengan tegapnya, ujungnya menjulang tinggi menggapai langit.
"Ya...Gunung Merapi, " namanya, dari akarnya muncul mata air yang sangat bersih mengalir yang bermuara ke empat buah sungai,yaitu: Sungai Sungai Silakkitang, Sungai Gareder, Sungai Aek Menunggang dan Sungai Aek Goti.
Di bawahnya terbentang ratusan hektar sawah yang baru ditanami, di tepi sawah itu berbaris ratusan pohon karet yang baru dideres, getahnya menitik tetes demi tetes sehingga memenuhi tempurung para petani karet itu.
Dipandang dari bawah laksana taman syurga, namun kalau ditelusuri pepohonan itu tidaklah lebih dari ranting-ranting pohon yang sudah masak dan dipergunakan para masyarakat sekitar sebagai kayu bakar.
Anak laki-laki itu keluar dari kamar dan menghampiri ibunya yang sedang mempersiapkan sarapan untuk bekalnya berangkat ke sekolah.
"Ahmad, kamu sudah bangun nak...? "tanya si Ibu.
Ternyata anak laki-laki itu bernama Ahmad.
" Sudah Mak,"jawab Ahmad sambil mengambil sebuah handuk dan langsung berjalan menuju ke kamar mandi.
Tak lama kemudian terdengarlah suara pintu kamar mandi terbuka.
"Rekk...Rekk...Rekk."
Selesai mandi ia berjalan menuju kamarnya untuk mempersiapkan diri berangkat ke sekolah.
Dengan pakaian yang berwarna merah putih di tubuhnya, dia keluar dari kamar dan menuju ke sebuah meja yang biasa ia gunakan dengan orang tuanya untuk makan bersama.
Ahmad membuka sebuah tudung penutup makanan yang sudah dipersiapkan oleh Ibunya, dia melihat sebuah telur yang didadar berada di atas piring berwarna putih, begitu juga sepiring sayur yang tidak asing lagi baginya dan sudah merupakan sayur kesukaannya, yaitu tumis kangkung.
Ia menggeser sebuah bangku yang terbuat dari kayu tepat berada di hadapannya, kemudian dia makan dengan begitu lahapnya.
Setelah selesai makan, Ahmad menyorongkan sepatu berwarna hitam yang sudah banyak tambalan ke kakinya.
Maklumlah, pemberian dari tetangganya, karena orang tua si Ahmad kehidupannya miskin dan tidak sanggup untuk membeli sepatu yang baru.
"Ma idia Ayah...Umak? "
Tanya Ahmad sambil berdiri mendekati Ibunya.
"Ma kehe tu saba amang. "
Jawab si Ibu.
Kemudian Ahmad mengambil tas sekolah yang berwarna biru dan langsung menyandangnya.
" Saya berangkat dulu Mak,"kata Ahmad sambil menyalam Ibunya serta mencium tangannya.
" Hati-hati di jalan! Belajar yang sungguh-sungguh ya nak...?"
Ucap Sang Emak pelan dan hampir tidak terdengar.
" Ia Mak,"jawab Ahmad dengan santun sambil berjalan meninggalkan Ibunya.
**Ma idia Ayah... Umak artinya dimana Ayah... Mak?
**Ma kehe tu saba amang artinya sudah pergi ke sawah nak...
🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫