webnovel

Mengutarakan Isi Hati

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07:20 WIB, semua santri keluar dari pondok mereka masing-masing, dengan kitab yang menempel di dada, serban yang melilit di kepala, ayunan langkah yang pasti, seperti bala tentara yang lagi baris-berbaris, disertai dengan bunyi terompah di atas jalan yang menghempas bebatuan kecil.

Mereka berangkat ke sekolah untuk mempelajari Wahyu Ilahi dan beberapa kitab agama lainnya, untuk bekal kehidupan dunia dan akhirat.

Lain halnya dengan Ahmad, hari ini dia tidak masuk sekolah karena harus menepati janji kepada Ayah Mudir untuk membersihkan pekarangan sekolah.

Cangkul yang bertengger di bahu, sebuah handuk yang membalut lehernya, tidak lupa sebuah kitab juga ikut berada di tangannya.

Pemuda itu mulai berjalan menuju bak pemandian untuk menguras airnya dan menggosok dinding semen dari lumut yang menempel padanya.

Perlahan tapi pasti bak pemandian itu pun selesai dibersihkannya, sehingga tempat berkumpulnya aliran air dari Sungai Batang Gadis, yang menjadi kebutuhan sehari-hari para santri untuk minum, mencuci dan mandi menjadi tampak bersih.

Santri bermata sayu itu kemudian beralih membersihkan lorong-lorong jalan kecil yang berada diantara bangunan pondok tempat pemandian.

Cangkul yang berada di tangan mulai diayunkan, lambat tapi pasti sehingga rumput yang menjadi tamu tak diundang pun mengalah tanpa ada perlawanan yang berarti ketika mulut besi itu mengenai tubuh mereka.

Beberapa tetes air yang bersumber dari pori-pori tubuhnya mulai bermunculan.

Handuk yang berada di lehernya mulai difungsikan untuk membersihkan air yang bernama keringat itu.

Tak lama baginya untuk menyelesaikan pekerjaan itu.

Ahmad kemudian mengangkat ke dua kakinya untuk pergi lokasi putri.

Ketika cangkul mulai diayunkan, terdengar bunyi bel istirahat pertama berdering dari kantor, sebagai tanda bahwa waktu istirahat untuk melaksanakan Sholat Dhuha telah tiba.

Ahmad menghentikan pekerjaannya untuk sementara dan berteduh di bawah sebuah pohon nangka yang rindang.

Satu persatu santriwati melangkahkan kakinya keluar dari kelas mereka masing-masing, ada yang menuju asrama, dan banyak juga yang langsung menuju ke masjid, dengan berbekal mukenah yang berada di dalam tas kecil mereka.

Tengah asik menghapus keringat yang bercucuran di wajahnya, terdengar suara lembut dan halus menyebut namanya," Ahmad,"anak muda itu pun mencari sumber suara yang tidak asing lagi di telinganya.

Ketika dia menoleh ke belakang, ia melihat tiga orang gadis yang berbaju gamis berwarna putih, memakai rok berwarna hijau dan jilbabnya yang putih berjalan menghampirinya.

Malu bercampur harap menyelimuti perasaannya,

"Sedang apa antum disini,?" Tanya seorang dari mereka yang tak lain adalah Latifah.

" Sedang...Kebersihan, "jawab Ahmad dengan suara yang terbata-bata, rupanya kedua teman Ifah pengertian,

" Ifah...,"begitu panggilan akrab gadis itu.

"Kami duluan ya," sambung keduanya, mereka pun meninggalkan Ahmad dan Latifah di bawah pohon yang buahnya banyak getah itu.

Kedua insan itu terdiam, untuk menyusun kata-kata yang akan disampaikan.

"Sudah lama saudara tidak mengirim surat kepada saya,"kata Latifah memulai pembicaraan.

" Saya takut kalau-kalau kedatangan surat saya yang hanya berisikan keluhan, hanya mengganggu aktivitas saudari,"jawab Ahmad.

"Ah.., tidak," semua surat yang saudara alamatkan kepada saya, sangat indah isinya dan menyentuh perasaan yang mendalam bagi setiap orang yang membacanya, susunan kalimatnya begitu bagus sehingga saya tidak bosan-bosan untuk selalu membacanya, sampai saya meneteskan air mata,"sambung Latifah sambil menundukkan kepalanya, tersipu malu.

"Saudari...," apakah kamu tidak marah kepada saya, bila mengatakan sesuatu kepadamu?,"begitu beratkah kata yang akan saudara sampaikan sehingga membuat saya berang,"jawab Latifah sambil memandang laki-laki yang berada di hadapannya.

Kembali perasaan takut membelenggu perasaan pria itu, takut kalau cintanya bertepuk sebelah tangan.

Namun dia tidak kuasa untuk memendam perasaan hati yang bergejolak dalam dirinya, ibarat sebuah balon yang sudah penuh dengan udara dan siap untuk meledak kapanpun.

Laki-laki berbadan kurus itu mulai memberanikan diri!

"Bolehkah saya mengisi relung hati saudari?,"ucapan Ahmad terhenti sampai di situ, kedua anak Adam itu kembali membisu.

"Tweet...! Suara bel berbunyi panjang, menandakan waktu istirahat untuk Sholat Dhuha sudah habis dan jam pelajaran selanjutnya akan dilanjutkan kembali.

Semua santriwan dan santriwati bergegas untuk masuk ke kelas masing-masing.

Latifah masih berdiri tertegun kaku memikirkan tentang apa jawaban yang akan dia berikan kepada santri yang sedari kecilnya kerap dirundung malang itu.

Sesekali dia mengalihkan pandangannya ke atap sekolah yang berbentuk gonjong, menandakan bahwa peraturan di pesantren itu sangatlah ketatnya.

Dia teringat ketika hendak menjadi santri di pesantren itu, bahwa konsekuensinya adalah tidak boleh menjalin hubungan cinta, baik antara sesama santri maupun orang umum.

Tanpa menjawab pertanyaan Ahmad, Latifah melepaskan tatapannya kepada laki-laki yang tepat berdiri di depannya lalu memutar arah meninggalkan anak muda itu sendirian.

Dengan langkah yang gemulai, serta kepala tertunduk Latifah menuju ke kelasnya,"Latifah,"sapa Ayah Anwar yang mengajar pelajaran Fiqh, " I'anatut Tholibin," (Nama sebuah kitab).

"Ia Ayah...," jawab Latifah.

"Kenapa kamu keringat dingin?, apakah kamu demam?" Kalau kamu sakit, lebih baik istirahat saja, gak usah dulu ikut belajar dengan Ayah, nanti kamu bisa mencatat ketinggalan dari temanmu,"kata Ayah Anwar.

"Tidak... Ayah, saya tidak apa-apa," jawab Latifah.

Dia memang tidak mengalami penyakit medis, namun pikirannya lagi berkecamuk antara cinta dan kasihan.

Sementara itu, Ahmadpun kembali ke pondok setelah menyelesaikan pekerjaannya.

Dia langsung mengambil wudhu, untuk melaksanakan Sholat Dhuha.

Dalam sholat dia menyampaikan segala pengharapannya kepada Allah SWT yang mengatur semua keadaan dan memberikan perasaan cinta ke dalam hati setiap hamba.

               🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫

Siguiente capítulo