sekolah Ahmad langsung pergi ke sawah untuk membantu kedua orang tuanya.
Dengan pakaian sekolah yang masih melekat di badannya, dia pergi menyusul Ayah dan Ibunya yang sudah dari pagi tadi berangkat ke sawah.
Ahmad menelusuri jalanan tanah yang masih berwarna merah, kalau musim penghujan tanah itu lengket di sandal, sehingga membuatnya sulit untuk berjalan.
Dari kejauhan anak itu melihat sawah yang terbentang luas dengan padi yang baru ditanami, begitu juga dengan pepohonan karet yang berdiri dengan begitu rapi, seolah-olah bala tentara yang membentuk sebuah barisan.
Ditambah lagi dengan suara desiran air sungai dari bendungan irigasi, yang selalu siap untuk mengairi sawah para petani.
Sekali-kali terdengar suara nyanyian indah dari pohon bambu yang saling bergesekan antara satu dengan yang lainnya, karena hembusan angin sepoi-sepoi sehingga menciptakan sebuah harmoni suasana di sawah yang menyenangkan.
Pandangan Ahmad pun tertuju kepada dua orang dewasa yang lagi asik menunduk untuk membersihkan rumput yang tumbuh di sekitar padinya.
Rumput harus dibuang agar tidak mengganggu pertumbuhan padi itu dengan sempurna.
Sesekali nampak juga mereka membuang keong ke daratan.
Ahmadpun mendekati mereka yang berada di tengah tumpukan padi yang mulai tumbuh dengan berjalan di atas pematang sawah, anak laki-laki itu pun sampai lalu mendekati kedua orangtuanya.
"Lagi marbabo Umak?. "
Kata Ahmad memulai pembicaraan.
" Olo amang....
Jawab si Ibu.
" Gimana sekolahmu hari ini?."
Lanjut Ibunya bertanya.
" Alhamdulilah, asik Emak..."Jawab Ahmad santai.
Ahmad kemudian menuju ke sopo sembari menghampiri Ayahnya yang terlebih dahulu istirahat dari Ibunya.
Sopo adalah gubuk yang terbuat dari kayu/ papan berukuran kecil.
Ahmad mengganti baju sekolahnya dengan pakaian kerja untuk turun ke sawah membantu Sang Ibu.
Kemudian Pak Ramli yang merupakan Ayah Ahmad langsung menyodorkan sebuah cangkul berukuran kecil kepada anaknya itu.
Tidak berapa lama berada di tengah sawah, terdengarlah suara merdu dari corong masjid tempat dia tinggal, "Masjid Al Munawar namanya.
Dengan 2 buah menara yang berada disebelah kanan dan kiri masjid, membuat suara muazzin kedengaran semakin lantang dan menancap ke lubuk hati yang paling dalam, sehingga membuat semua petani naik ke pematang sawah untuk memberhentikan pekerjaan mereka sementara seraya melaksanakan Sholat Fardhu Ashar.
Setelah selesai melaksanakan sholat, Pak Ramli menyuruh anaknya agar pulang duluan, supaya nanti tidak terlalu letih ketika sampai di pengajian, sebab Ayah dan Ibu Ahmad setiap harinya sampai di rumah sudah menjelang Waktu Maghrib.
Ahmad pun meminta izin kepada orang tuanya untuk pulang duluan.
Sesampainya di rumah, Ahmad pergi ke masjid untuk mandi di pancuran, karena biasanya masyarakat menggunakan jasa masjid untuk mandi, mencuci, buang hajat dan lain sebagainya.
Hal ini sudah merupakan tradisi sampai sekarang.
Setibanya dia di rumah, rupanya Ayah dan Emaknya sudah berada di dalam rumah, ia pun masuk dan mempersiapkan diri untuk pergi mengaji.
Sudah merupakan kebiasaan di kampungnya, setiap selesai melaksanakan Sholat Maghrib maka Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan anak-anak tidak ada yang keluar rumah, mereka sibuk dengan mengaji dan membaca Al Qur'an.
Televisi ketika itu belum berapa orang yang punya.
Kebanyakan surat yang biasa dibaca itu adalah Surat Yasin.
Ahmad mulai melangkahkan kakinya ke tempat mengaji, dengan Al Qur'an yang didekapkan di dadanya.
Ia menyusuri jalan bebatuan untuk sampai ditempat mengaji.
" Assalamualaikum, " ucap Ahmad sambil menaiki jenjang- demi jenjang rumah ber_kolong itu.
" Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh," terdengar jawaban yang bergemuruh dari teman-temannya menyambut kedatangan Ahmad dengan gembira.
Wajar saja, karena Ahmad merupakan murid yang dipercayai oleh guru ngajinya untuk mendengarkan dan memperbaiki bacaan teman-temannya sehingga mereka memanggil Ahmad dengan sebutan "Guru Muda."
Malam itu kondisi di tempat dia mengaji tidak seperti biasanya, tidak ada terdengar suara orang yang membaca Iqra', tidak ada terdengar suara orang yang membaca Al Qur'an, bahkan kiyai pun tidak kelihatan duduk bersama anak- anak mengaji.
Ahmad bergumam di dalam hatinya dengan beberapa pertanyaan yang menyelimuti pikirannya.
" Ada apa gerangan?"Kenapa dengan kehadiranku semua orang tertegun kaku dan membisu?"Apa yang salah dengan diriku?. "
"Apakah kain sarung yang kupakai ini ada yang sobek?"Sambil memperhatikan kain sarungnya.
" Ataukah ada caraku memasang kopiah yang tidak lurus?"Sambil memegang kopiahnya.
Ahmad merasakan ada yang aneh dengan sikap teman-temannya itu.
Tak berapa lama kemudian, keluarlah seorang laki-laki yang berperawakan agak gemuk, dengan kumis yang melintang di atas bibirnya, tidak ketinggalan juga sebuah serban yang melilit di kepalanya, "Kiyai Kholid namanya."
Dengan langkah yang pelan tapi pasti, beliau masuk menemui para muridnya yang sudah lama menanti kedatangannya.
Ketika melihat kehadiran kiyai, semua murid langsung berdiri sebagai bentuk ta'zhim. ( menghormati) seorang guru, barulah semua murid ikut duduk menyertainya.
Sejenak suasana hening kembali.
"Ahmad...Tolong kesini...!"
Pinta beliau kepada murid yang sudah lama belajar kepadanya, dan merupakan murid favoritnya untuk duduk di samping beliau.
Dengan tidak menunggu lama, Ahmad sudah berada di samping kiyai
Sambil tersenyum ramah, beliau menatap wajah Ahmad agak lama, anak laki-laki itu hanya bisa tertunduk, karena tidak sanggup membalas tatapan mata dari kiyai nya.
"Ahmad...Tak terasa sudah tamat pelajaran mu, sudah khatam Al Qur'an engkau baca, sudah hampir selesai pelajaranmu di jenjang Sekolah Dasar (SD).
Tetapi saya masih menganggapmu seperti anak berusia 5 tahun lalu, seorang anak yang diantar dan dititip oleh Ayahnya untuk belajar mengaji, dengan membawa segenggam lidi dan sebuah kain.
(Lidi dan kain itu mempunyai filosofi yang sangat dalam, lidi digunakan untuk memukul murid-muridnya apabila berbuat kesalahan yang melanggar etika, dengan hukuman yang mendidik, sebuah kain yang bermakna mengajarkan tentang Fardhu 'Ain /kewajiban pada diri sendiri dan mengajarkan agar selalu menutup aurat serta dapat menjaga harga diri dan keluarga).
"Kita semua juga masih ingat, saat kamu datang pertama kalinya, dengan gulungan kain sarung yang begitu besar sehingga lututmu kelihatan, ketika itu mukamu tampak memerah karena malu dengan tertawaan teman- temanmu.
"Saya juga masih ingat, kopiahmu sering jatuh ke lantai ketika kamu sedang ruku' dan sujud sewaktu melaksanakan sholat, seolah-olah kepala dengan kopiah merupakan suatu hal yang tidak dapat disatukan karena kamu memakai kopiah milik Ayahmu.
Sambil sedikit senyum, Ahmad terus mendengarkan kiyainya.
"Kamu hampir menangis, ketika Ayahmu berputar untuk pulang meninggalkanmu kembali ke rumah.
" Ah...Tak terasa waktu perpisahan untuk sementara pun akan terjadi di antara kita, kata laki-laki dewasa itu sambil menarik napas panjang.
Ahmad langsung memeluk kiyainya itu sambil menangis, sehingga membuat semua murid yang berada dalam rumah itu terharu dan hanyut dalam suasana.
Ketika Ahmad melepaskan pelukannya, kiyai memanggil seorang anak perempuan yang memakai kerudung putih, berkulit putih, dengan lesung pipit yang menempel di pipinya sehingga menambah pancaran kecantikan dari wajah anak perempuan itu.
Gadis itu bernama Melani.
Melani merupakan teman Ahmad sama besar, dan dia yang dipercaya oleh gurunya untuk membantu memperbaiki bacaan teman-temannya dari kalangan perempuan.
" Melani...,"panggil Sang Kiyai.
Tidak lama bagi bunga cantik itu untuk datang menghampiri kiyai.
" Olo Mamak, "jawab Melani.
Mamak adalah panggilan untuk saudara laki-laki dari pihak Ibu.
Rupanya Melani masih ada hubungan saudara dengan laki-laki bersorban itu.
Perempuan berlesung pipit itu sudah mengerti maksud dari kiyai.
Kemudian dia mengambil sebuah bingkisan yang sudah mereka persiapkan dengan teman-temannya.
Sebuah amplop yang berada di atas kain sarungpun diberikan kepada Ahmad.
Ahmad hanya bisa tertunduk malu ketika anak perempuan itu berkata,
" Kami mendengar berita yang dibawa oleh burung, bahwa saudara akan pergi jauh untuk menuntut ilmu, mendengar berita itu kami terkejut dan merasa belum siap untuk berpisah.
" Apalagi teman-teman kita di sini masih membutuhkan bimbingan dari saudara untuk memperbaiki kesalahan bacaan mereka.
Perlahan Ahmad memberanikan diri untuk menatap wajah cantik Melani.
Ahmad melihat ada perasaan kehilangan, terpancar dari mata yang sudah bening karena dibasahi air mata.
Sambil memainkan ujung jilbabnya, Melani melanjutkan perkataannya,
"Akan tetapi kami menyadari, bahwa setiap orang mempunyai sebuah cita-cita untuk dapat merubah kehidupannya agar menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.
"Dengan alasan itulah yang melemahkan kami supaya melepas mu untuk mengembangkan sayap agar bisa terbang lebih tinggi lagi dalam mewujudkan mimpimu.
"Kami tentu tidak bisa mengantarkan dikau sampai ke tujuan, oleh sebab itu kami mengumpulkan sedikit bekal untuk perjalananmu menuju ridho Ilahi, sebagai tanda keikut sertaan kami berjalan di sampingmu dalam menapaki perjalanan yang suci.
Bagaikan bendungan yang tak sanggup menahan debit air hujan yang begitu besar, membuat kedua anak mengaji itupun tidak sanggup untuk membendung air matanya yang hendak jatuh.
Melihat suasana seperti itu, kiyai pun ikut meneteskan air mata.
Dengan suara yang kedengaran putus-putus dan hampir tidak begitu jelas, Ahmad mengucapkan terimakasih, sambil tangan kanannya menerima sebuah amplop dan sebuah kain sarung beserta sekarung padi yang diserahkan oleh Melani kepadanya.
Malam itu sangat berkesan bagi Ahmad dan teman- temannya.
Mereka saling bersalaman.
(laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan), sembari menyenandungkan syair yang menambah khidmat nya acara perpisahan mereka itu.
" Thoolaa'al baadaru 'alai naa.
" Min syaaniiaatil wadaa'.
" Wajaabasy syukru 'alai naa.
" Madaa'al lillaahi daa'.
**Lagi marbabo Umak artinya lagi membersihkan padi Mak?
**Olo amang artinya ia nak...
🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫🛫