Rasanya seperti ada jeda panjang setelah Prof Zahra mengatakan Allyna harus mengulang proposal penelitiannya. Allyna masih ingat betapa susahnya dia mencari jurnal dan referensi untuk tinjauan pustaka. Dia sampai tidak tidur dua hari memikirkan metode penelitiannya. Tapi rasanya semuanya sia-sia, proposalnya ditolak dan dia harus merombaknya dari awal.
Allyna yang sudah keluar dari ruangan Prof Zahra segera duduk di kursi yang ada di deretan panjang lorong depan ruangan-ruangan dosen. Dia masih mencerna kenyataan. Ternyata proposal penelitian ditolak oleh dosen rasanya lebih menyakitkan daripada ditolak gebetan.
Detik kemudian satu pintu dari ruangan dosen terbuka. Ada satu sosok yang keluar dengan wajah sumringah. Orang itu menutup kembali pintu ruangan dosen itu dengan hati-hati. Setelah itu, dia duduk dengan lega tak jauh dari Allyna.
"Kenapa, Bel?" tanya Allyna ingin tahu.
Belinda melihat Allyna yang sedang kepo. Dia tampak seperti ingin berteriak gembira namun dia menahan diri karena tepat di depan lorong, semua mahasiswa tahu bahwa lorong itu harus terjaga ketenangannya. Apalagi karena memang disitu terdapat ruangan-ruangan dosen.
"Lusa gue sidang," kata Belinda lirih.
Allyna yang hanya melihat wajah sumringah Belinda, tak bisa mendengar dengan jelas apa yang sebenarnya dikatakan Belinda.
"Apa?" tanya Allyna lagi.
Belinda yang tak sabar kemudian berdiri dan segera menghampiri Allyna kemudian duduk disampingnya.
"Lusa gue sidang," kata Belinda kemudian tersenyum senang.
Allyna hanya tersenyum sekilas. Bukannya dia tidak bahagia satu temannya akhirnya akan menjalani sidang skripsi. Tentu saja sebentar lagi dia akan mendapatkan Surat Keterangan Lulus (SKL) dan bisa mendaftar wisuda. Masalahnya saat teman-teman Allyna sudah hampir sampai di garis finish, dia malah belum memulai sama sekali. Sungguh miris, pikirnya.
"Selamat ya, semoga lancar," kata Allyna menyemangati Belinda.
"Makasih ya," kata Belinda kemudian memeluk Allyna.
Allyna hanya tersenyum sekenanya. Walaupun dia tampak bahagia untuk Belinda, tapi disisi lain hatinya sedang semrawut karena proposalnya.
"Gue mau ke Ruang TU dulu ya, ada keperluan," kata Allyna. Dia sebenarnya ingin pergi dari sana dan menenangkan diri.
"Oh iya. Duluan aja," kata Belinda.
"Ya udah. Bye," pamit Allyna. Dia kemudian ke Ruangan TU yang ada di lantai satu. Sebenarnya dia nggak ada keperluan disana. Disana dia hanya mau ketemu Mas Ito. Staf TU yang jadi best friend-nya mahasiswa.
"Siang, mas," sapa Allyna ketika membuka pintu Ruang TU.
Mas Ito yang sedang sibuk menata berkas-berkas mahasiswa mendongakkan kepalanya untuk melihat siapa yang menyapanya.
"Eh, Allyna. Kenapa, Lyn? Kusut amat mukanya?" tanya Mas Ito santai.
Allyna menghela nafas, "Proposalku ngulang, Mas. Capek banget asli dah."
"Ngulang? Ya ampun. Lyn, tiga minggu lagi udah tahun ajaran baru lho. Dua minggu lagi aja udah deadline buat bayar UKT. Berarti kamu nambah semester lagi dong?" tanya Mas Ito.
Allyna sangat kaget, "Yang bener, Mas? Waduh gimana nih?"
"Nggak bisa ngejar sih. Mau nggak mau harus nambah semester," kata Mas Ito memberi solusi.
Allyna rasanya mau menangis, terlebih setelah melihat tumpukan skripsi mahasiswa yang diserahkan ke TU ada di meja sebelah meja Mas ito.
"Dosa apa ya aku, Mas? Sampai proposal ditolak terus gini? Yang lain udah mau lulus, bahkan ada yang udah lulus, nah aku masih baru mulai," curhat Allyna sedih.
Mas Ito kemudian menatap wajah Allyna dengan rasa iba. Gadis berusia 22 tahun dengan rambut panjang sepunggung, cantik, dan tinggi 168 cm ini rasanya tak pernah membuat masalah saat kuliah. Dia nggak pernah bolos kuliah, nggak pernah titip absen, nilainya selalu bagus. Nggak tahu kenapa saat ngerjain skripsi rasanya kok nggak berjalan mulus gini.
"Sabar, Lyn. Selain kamu masih ada si kembar juga yang baru mulai ambil data penelitian," kata Mas Ito.
Allyna merasa seperti ada secercah harapan. Matanya membelalak.
"Rana dan Rino?" tanya Allyna.
"Iya, mereka tuh kemarin curhat juga kalau salah ambil data. Kena marah dah tuh sama Prof Koko. Mau nggak mau mereka ngulang ambil data. Ya sekaligus nambah semester lagi," jawab Mas Ito memberi penjelasan.
"Wah.. Aku kira mereka udah mau seminar. Kan anak-anak udah pada sibuk. Tahu sendiri kan, Mas, yang udah lulus sibuk cari kerja. Yang masih stay, ya siap-siap mau sidang atau wisuda. Aku kira, tinggal aku sendirian," kata Allyna.
Mas Ito tersenyum agar Allyna tenang, "Tenang aja, masih ada si kembar. Kalau Belinda kayaknya nggak sampai nambah semester. Lusa kan dia sidang. Semingguan paling kelar revisi terus SKL-nya keluar. Kamu yang semangat. Sekarang mending pulang aja. Jangan main. Kerjain proposal yang harus diulang tadi biar cepet kelar," Mas Ito memberi nasehat.
"Iya, Mas. Bener juga. Aku harus semangat. Ya udah, aku pulang dulu ya, Mas," kata Allyna berpamitan.
"Hati-hati, Lyn," kata Mas Ito.
Allyna mengangguk dan keluar dari Ruang TU. Dia kemudian segera berjalan keluar kampus. Selama proposal skripsi Allyna belum disetujui, dia nggak boleh membawa mobil sendiri. Ini perjanjiannya dengan orang tuanya agar Allyna fokus dan nggak main mulu. Setelah memesan ojek online. Allyna pun pulang ke rumah.
***
Allyna sampai di rumahnya dengan selamat. Biasanya jam segini rumahnya sepi. Mamanya sibuk di butik yang sudah dirintisnya sejak Allyna masih di bangku SMP. Sedangkan Papanya pasti masih sibuk mengajar di kampus.
Allyna santai saja duduk di ruang tengah. Bi Ijah dengan sigap menyiapkan jus jambu yang segar dan camilan untuk Allyna. Dia berterima kasih dengan kebaikan Bi Ijah yang peka kalau Allyna sedang butuh penambah energi.
"Bagaimana, neng Allyn hari ini? Lancar di kampus?" tanya Bi Ijah duduk di sebelah Allyna.
"Duh, kacau banget, Bi. Aku harus ngulang proposal lagi. Capek tahu, Bi. Kalau Mama sama Papa sampai tahu, aku pasti kena marah," jawab Allyna kemudian mengunyah camilan.
Raut wajah Bi Ijah seperti tampak takut-takut saat menoleh ke belakang. Ternyata ada Bu Aida, Mamanya Allyna.
"Ngulang lagi?" tanya Bu Aida sedikit berteriak, membuat Allyna sangat kaget dan langsung melihat ke belakang.
"Mama… " gumam Allyna. Dia mendadak merasa takut.
"Allyna sayang, kenapa harus ngulang lagi?" tanya Bu Aida mendekati Allyna yang agak gemeteran. Dia takut Mamanya mengamuk.
"Ada...ada yang salah, Ma. Kata Prof Zahra metode sama kerangka aku banyak yang salah," jawab Allyna.
"Berarti kamu nambah semester, ya kan? Papa bilang tiga minggu lagi udah tahun ajaran baru. Berarti kamu nambah semester lagi kan? Bayar UKT lagi kan?" tanya Bu Aida yang kini geram.
Allyna mengangguk. Sebenarnya ini bukan masalah banyaknya UKT yang harus dia bayar. Orang tuanya tentu saja sanggup membayarnya. Tapi ini masalah disiplin dan tanggung jawab. Allyna merasa gagal menjalani tanggung jawabnya untuk lulus tepat waktu. Kedua orang tuanya yang disiplin tentu saja menganggap ini sebuah kegagalan besar.
"Kalau gitu kamu harus ikuti rencana Mama dan Papa. Kamu harus menikah dengan orang yang kami tentukan," kata Bu Aida dengan tegas.
"Tapi… Ma… Allyna kan belum lulus, kenapa harus menikah?" tanya Allyna yang bingung sekaligus ingin berontak.
"Karena kamu sudah gagal lulus tepat waktu. Karena kamu harus nambah semester dan bayar UKT lagi. Jadi, ini adalah konsekuensinya. Kamu harus menikah dan memulai kehidupanmu secara mandiri," jawab Bu Aida.
"Tapi Ma… " Allyna ingin protes.
"Nggak ada tapi-tapian. Ini sudah kesepakatan Mama dan Papa," kata Bu Aida kemudian meninggalkan Allyna dan Bi Ijah yang masih tercengang disana.
Halo, selamat datang di karya keduaku. Makasih udah baca cerita ini, semoga kalian suka ya. Jangan lupa vote dan commentnya. Makasih :)