Gavin yang sudah bangun dari pagi buta baru saja menyelesaikan olahraga paginya. Jogging berkeliling komplek yang dilanjutkan dengan bersepeda sejauh empat kilometer. Keringat yang mengucur dari keningnya menambah nilai ketampanan dalam diri pengusaha muda itu. Kaos putih yang dipakainya pun basah di beberapa bagian oleh keringatnya.
Gavin tidak berniat kemana-mana hari ini. Ia ingin bersantai di rumah setelah kemarin menyelesaikan beberapa permasalahan di kantornya. Kini ia sedang menikmati sarapan paginya dengan penuh ketenangan.
"Selamat pag— hatchiii!"
Perhatian pria berumur dua puluh tujuh tahun itu teralih kepada adik perempuannya yang baru saja turun dan kini menempati salah satu kursi di meja makan. Wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya, hidungnya sedikit memerah. Gavin pikir mungkin adiknya itu terserang flu, mengingat kemarin Teesha pulang dengan kondisi basah kuyup. Benar-benar basah kuyup.
Gavin sempat menyangka jika adiknya itu pulang naik bus dan berlari dari halte depan sampai rumah dengan kondisi yang masih hujan besar. Tetapi melihat mobil Toyota 86 yang meninggalkan pekarangan rumah kemarin, Gavin tahu jika Teesha diantar oleh si pria Jaya. Gavin sudah bertanya bagaimana bisa Teesha basah kuyup begitu padahal ia diantar pulang, tetapi gadis itu tidak mau bercerita.
Gavin melirik jam yang berada di atas pintu masuk ruang makan. Masih jam tujuh pagi.
"Bukannya sekarang akhir pekan? Kamu sekolah?" Tanya Gavin melihat Teesha yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya.
Teesha mengoleskan selai cokelat pada rotinya, "Hari ini sekolah ngadain bakti sosial, Kak."
Seorang asisten rumah tangga datang dan memberikan secangkir kopi yang Gavin minta sebelumnya.
"Bisa tolong ambilkan vitamin di kotak obat? Sekalian air putih hangat ya." Pinta Gavin yang langsung mendapatkan anggukan dari sang asisten rumah tangga.
Gavin kembali menatap Teesha, "Orang lain berlomba-lomba buat jaga kesehatan. Kamu malah sengaja cari penyakit."
Teesha yang sedang asyik menikmati sarapannya melirik Gavin, "Udah berapa kali aku bilang, aku kehujanan Kak."
Gavin memutar mata, "Kehujanan dari mana kemana? Kondisi basah kuyup begitu mana mungkin kehujanan, yang ada kamu sengaja hujan-hujanan."
Sang asisten rumah tangga yang tadi dimintai tolong oleh Gavin datang sambil membawa sebuah tablet vitamin dan juga segelas air mineral hangat. Wanita paruh baya itu kembali undur diri setelah Gavin mengucapkan terima kasih.
Tanpa disuruh lagi, Teesha meminum vitamin itu setelah ia menghabiskan sarapan paginya. Ia tidak mau kena omel kakaknya lagi setelah kemarin semalaman mendengar sang kakak yang terus mencecarnya dengan nasihat dan pertanyaan tanpa henti.
"Kemarin kamu pulang diantar siapa?" Gavin kembali membuka pembicaraan. Gavin sengaja bertanya meskipun ia sudah tahu jawabannya. Ia hanya ingin tahu jawaban apa yang diberikan oleh Teesha.
Pertanyaan Gavin kali ini membuat Teesha sempat terdiam beberapa detik memikirkan jawaban yang harus ia berikan agar tidak salah langkah lagi.
"Diantar temen." Jawab Teesha sambil pura-pura menyibukan dirinya dengan bermain ponsel.
"Temen yang dulu antar kamu pulang pakai motor itu?" Tanya Gavin kembali, "Pantes aja kamu basah kuyup begitu."
"Bukan. Aku gak diantar dia, Kak." Teesha yang ingin segera pergi dari rumah untuk menghindari pertanyaan Gavin terus menerus menghubungi Divinia agar segera datang menjemputnya.
Gavin menaikan sebelah alisnya, "Terus kamu diantar siapa?"
"Temen." Jawab Teesha singkat. Gadis itu terlihat sedikit gelisah.
Gavin memutar matanya, "Iya temen yang mana?"
Teesha berdecak, "Ya ada lah pokoknya. Kakak gak akan kenal." Bukan apa-apa, Teesha yakin kakaknya akan kembali mencecarnya dengan berbagai pertanyaan jika ia bilang diantar William pulang kemarin. Teesha tidak ada waktu dan juga malas menanggapinya.
"Kamu udah baikan sama William?" Dan Teesha yakin ini adalah awal dari introgasi sang kakak.
Astaga Divinia, kau dimana?! Tidak kah kau lihat sahabat karamelmu ini sudah mengeluarkan keringat dingin?!
"Udah." Jawab Teesha, "Udah lama."
Gavin mengangguk, "Terus hubungan kalian sekarang gimana?"
Benar kan?! Kakaknya tidak akan melewatkan hal ini begitu saja.
"Gak gimana-gimana." Teesha masih terus berusaha menghubungi Divinia yang belum juga datang, "Masih temenan kayak dulu. Gak ada perkembangan."
"Memangnya kamu berharap hubungan kalian berkembang sampai mana?" Pertanyaan dari Gavin berhasil membuat Teesha menepuk jidatnya pelan merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya Teesha mengatakan hal sensitif seperti itu saat ia ingin segera mengakhiri sesi introgasi ini.
Gavin menatap Teesha yang masih terdiam, "Ingat Teesha, kamu harus bijak ngambil langkah sekarang."
"Jangan terlalu berlebihan, Kak."
"Kakak cuma gak mau kamu nangis-nangis lagi kayak dulu cuma gara-gara dia."
"Kak—"
"Selamat pagi." Sapaan ceria dari seseorang membuat Gavin dan Teesha menoleh ke arah pintu masuk ruang makan. Disana berdiri seorang gadis bule dengan rambut pirang tengah tersenyum sambil melambaikan tangannya, "Aku mau jemput Teesha, Kak." Kata Divinia sambil menghampiri Teesha.
Gavin mengangguk sambil tersenyum sekilas sebelum ia menyesap kopi hangatnya. Teesha yang memang sudah ingin segera pergi dari intogasi sang kakak buru-buru beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Gavin untuk berpamitan.
"Aku berangkat ya, Kak." Gadis itu mencium pipi sang kakak.
"Hati-hati." Kata Gavin, "Padahal aku lebih suka yang pakai motor itu daripada si William."
Ucapan Gavin tadi membuat Teesha juga Divinia menghentikan langkah mereka dan kembali menoleh ke arah Gavin yang sedang meminum kopinya dengan santai.
Gavin bilang apa tadi?
.
.
Acara bakti sosial SMA Adyatama berjalan dengan lancar seperti seharusnya, meskipun di awal William 'sedikit' marah karena ada beberapa hal yang berubah dari rencana tanpa sepengetahuannya. Ya, Teesha sudah sangat bodoh untuk lupa memberitahu William mengenai perubahan pengisi acara.
Niatnya ingin ia katakan kemarin malam, tetapi karena Teesha kelelahan dan merasa tak enak badan akibat hujan-hujanan membuatnya lupa untuk memberitahu William. Alhasil yaaa sang ketua marah, meskipun hanya sebentar tetapi berhasil membuat bulu kuduk para anggota OSIS berdiri.
Acara inti selesai dan ditutup oleh penyerahan beberapa bantuan seperti makanan dan juga uang tunai yang diberikan secara simbolis oleh kepala sekolah dan juga perwakilan dari anggota OSIS yang mana diwakilkan oleh William. Dan setelah itu dilanjut ke acara hiburan yang telah disiapkan di halaman belakang panti asuhan.
Halaman yang lumayan luas itu kini sudah terpasang sebuah panggung yang tidak terlalu besar, dengan berbagai stall makanan berat dan beberapa cemilan di sepanjang halaman untuk dinikmati bersama sambil menyaksikan band akustik yang akan tampil nanti.
Teesha berdiri di bawah sebuah pohon yang cukup rindang, menghindari panas matahari yang masih cukup terik meskipun waktu sudah menunjukan pukul setengah dua siang.
Suara tepuk tangan mengiringi langkah Rey dan beberapa temannya yang naik ke atas panggung. Pria itu terlihat bersiap menyetel gitar akustiknya sebelum memulai pertunjukan.
Ya, Rey ditunjuk untuk menggantikan band akustik yang tidak bisa hadir itu. Teesha menunjuknya karena ia yakin penampilan Rey tidak akan mengecewakan dan tidak kalah bagus dari band-band profesional diluar sana.
Rey yang sudah siap bernyanyi memandang Teesha yang berada di depan sana. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya pada gadis karamel itu, membuat semua orang yang berada di lapangan serempak menoleh ke belakang dan menatap Teesha.
Teesha membalas lambaian tangan Rey dengan senyum yang sedikit kaku. Wajahnya pun memerah karena malu diperhatikan oleh semua orang secara tiba-tiba seperti itu.
Petikan gitar mulai terdengar, perhatian semua orang kembali tertuju kepada sang bintang di atas panggung.
Waiting for your call, I'm sick
Call, I'm angry
Call, I'm desperate for your voice
Listening to the song we used to sing in the car
Do you remember, Butterfly, Early Summer
It's playing on—
Rey mengawali penampilannya dengan lagu dari Secondhand Serenade yang berjudul Your Call.
TAP!
Teesha menoleh dan mendapati William kini berdiri di sampingnya sambil memperhatikan band akustik di depan sana yang sedang unjuk bakat. Teesha tersenyum sekilas sebelum kembali menikmati penampilan teman-temannya di atas panggung.
"Lain kali jangan gitu lagi ya." Ucap William membuka pembicaraan.
Teesha terkekeh, "Iya, maaf." Gadis itu menyatukan kedua telapak tangannya, "Kesalahan tadi yang terakhir. Lain kali aku lebih hati-hati dan gak akan ada lagi kesalahan yang sama."
Cause i was born to tell you i love you
And i am torn to do what i have to
To make you mine
Stay with me tonight
"Aku lihat kamu dapat kiriman cemilan kemarin." Kata William membuat Teesha kembali menoleh padanya.
Gadis itu mengerutkan dahinya, "Kamu tahu darimana?"
William mengendikan bahu.
— 'Cause every breath that you will take
While you are sitting next to me
Will bring life into my deepest hopes
What's your fantasy?
What's your, what's your, what's your, what's your
Teesha kembali memperhatikan penampilan Rey di depan sana meskipun ia sedikit tidak fokus karena ucapan William tadi. Teesha juga sedikit terkejut ketika tiba-tiba William menggenggam tangannya dengan pandangan yang masih lurus ke depan sana.
And im tired of being all alone
And this solitary moment make me want to come back home
"Kenapa kamu kemarin hujan-hujanan di tengah lapangan?" Tanya William. Kali ini Teesha tidak menoleh ke arah pria itu. Gadis itu masih menatap lurus ke depan tanpa menjawab pertanyaan William karena ia bingung harus menjawab apa. Lagipula William tidak harus tau alasannya kan?
"Apa karena kamu nerima sebuah surat?" Tanya William kembali.
Dan kini Teesha kembali menoleh ke arah William dengan ekspresi bertanya-tanya. William yang sedari tadi menatap lurus ke depan kini juga menoleh ke arah Teesha.
"Kamu pasti penasaran kenapa aku tahu?"
Teesha tidak mengangguk, tidak juga menggeleng, dan tidak juga menjawab pertanyaan William. Gadis itu hanya menatap William dengan tatapan yang seakan menuntut jawaban.
"Karena itu aku."
"...."
William tersenyum tipis, "Itu aku, Myria. Aku yang kirim kamu buket cemilan dan catatan kecil itu."
Cause i was born to tell you i love you
And i am torn to do what i have to
To make you mine
Stay with me tonight
Teesha membelalakan matanya tak percaya, "Eh?"
.
.
To be continued