Lagu pertama berhasil dibawakan oleh Rey dan teman-temannya dengan baik. Band akustik dadakan itu mendapatkan tepuk tangan yang meriah dari para penonton yang terdiri dari anggota OSIS dan juga anak-anak remaja di panti asuhan.
Rey tersenyum membalas pujian yang dilontarkan oleh teman-temannya. Namun senyuman itu perlahan mulai memudar ketika ia melihat Teesha yang masih berada di belakang sana bersama William yang kini terlihat sedang saling menatap, dengan William yang menggenggam tangan Teesha. Ekspresi gadis itu tidak terbaca, yang terlihat hanya sepertinya Teesha terkejut akan suatu hal yang Rey tidak tahu pasti apa itu.
"Ma-maksud kamu, Wil?" Teesha kembali memastikan pendengarannya tidak salah ketika menangkap perkataan William sebelumnya.
William memandang Teesha dengan serius, "Aku yakin kamu udah dengar tadi, Myria."
Teesha masih memandang William dengan tatapan tidak percaya. Ia bahkan kini menatap William dengan tatapan yang menuntut penjelasan yang lebih.
"Gak perlu aku jelasin lagi pun aku tahu kamu ngerti gimana perasaan aku sama kamu sekarang." William mengeratkan genggaman tangannya, "Sekarang aku tinggal tunggu jawaban dari kamu."
Teesha masih terdiam. Ia masih berusaha mencerna semua ini. Baru saja William berkata jika kemarin ia yang mengirimkan paket cemilan dan juga catatan kecil untuk Teesha yang sebelumnya tidak Teesha tahu siapa pengirimnya. Dalam catatan kemarin tertulis seberapa banyak perasaan suka yang dimiliki oleh si pengirim. Bukankah itu berarti William sedang mengatakan jika ia memiliki perasaan pada Teesha? William menyukai Teesha?
Seharusnya Teesha senang mendengar hal itu karena akhirnya perasaan yang selama ini ia pendam akhirnya terbalas juga. Akhirnya William juga mempunyai perasaan yang sama dengan dirinya. Tetapi entah kenapa... entah kenapa ia merasa bimbang. Ia merasa bingung harus menjawab apa.
Bukan. Bukan karena perasaannya pada William sudah hilang. Tidak sama sekali. Kalian tahu sendiri selama ini Teesha masih berharap kepada pria dingin itu. Tetapi kini saat William mengatakan perasaannya, entah kenapa bayangan seorang pria hangat berambut ash brown tiba-tiba muncul di pikirannya.
Rey.
Pria itu. Pria baik hati yang meminta kesempatan kepada Teesha itu tidak bisa ia abaikan begitu saja. Teesha juga harus memikirkan pria itu. Ia tidak mungkin mengambil kebahagiaan untuk dirinya sendiri dan menyakiti orang lain. Setidaknya ia harus memastikan bagaimana perasaannya kepada Rey setelah apa yang mereka lalui selama ini.
"Aku—" Teesha menundukan kepalanya, "Aku bingung harus jawab apa, Wil."
"Ah, ya." Kini William mengendurkan genggamannya. Pria itu kembali mengalihkan pandangan ke arah panggung. Dilihatnya Rey yang sedang menatap ke arah mereka berdua dengan wajah datarnya, "Ada seseorang yang gak bisa kamu abaikan."
Teesha kembali mengangkat wajahnya, "Wil—"
"Kamu berhak memilih." Teesha terdiam ketika pria dingin itu melepaskan genggaman tangannya. Ia merasa sedikit kecewa karena kini William tidak lagi menatapnya dengan tatapan teduh seperti sebelumnya. Pria itu malah melayangkan tatapan dingin dan wajah datarnya kepada Teesha.
William kemudian membawa satu tangannya ke bahu Teesha sambil memajukan tubuhnya. Bibirnya semakin dekat dengan telinga Teesha dan kemudian ia berbisik pelan, "Tapi kalau kamu memang udah gak ada perasaan apapun sama aku, just wait. Aku bakalan bikin kamu suka sama aku apapun caranya."
William menegakan tubuhnya kembali dan kemudian melangkah pergi meninggalkan Teesha yang masih terdiam dengan wajah yang memerah. Seringai tipis dan kata-kata yang keluar dari mulut dari pria itu membuat jantung Teesha melompat dari tempatnya.
Tadi kau bilang akan membuat Teesha menyukaimu apapun caranya, Wil? Oke, hati-hati Teesha. Bisa saja William pergi ke dukun dan mengguna-gunaimu dengan mantra-mantra mereka. Hiiiyyyy seraaaammm.
Bercanda. Tidak mungkin keluarga Jaya percaya pada hal seperti itu kan?
.
.
Teesha menolak pulang bersama William. Ia juga menolak ketika Rey mengajaknya pulang bersama. Niatnya ia ingin menenangkan diri terlebih dahulu dan ikut pergi bersama ke empat sahabatnya. Tetapi sepertinya itu pilihan yang salah karena sedari tadi Daniel dan Adrea tidak henti-hentinya melayangkan berbagai pertanyaan padanya. Mereka tidak juga menyerah meski Teesha tidak menjawab pertanyaannya.
"Teesha, kamu gak apa-apa?" Tanya Divinia sedikit khawatir melihat sahabatnya murung sejak pulang dari acara bakti sosial.
Teesha menatap Divinia dan Devian, lalu melirik ke arah Daniel dan Adrea sekilas sebelum akhirnya ia kembali menundukan wajahnya. Mengerti akan kode yang Teesha berikan, Devian menegakan tubuhnya.
"Guys, kalian tahu minuman yang lagi populer di mall ini?" Tanya Devian membuat teman-temannya menoleh kearahnya, termasuk Teesha, "Kalian mau?"
Adrea mengangguk semangat, "Mau!"
"Sana beliin." Kata Devian.
Adrea memutar matanya, "Males ah. Kirain—"
"Aku traktir." Potong Devian sambil mengeluarkan beberapa lembar uang.
Adrea berdiri dari tempatnya dengan mata yang berbinar sambil menyambar uang yang diberikan oleh Devian, "Ayo, Niel!" Ajak gadis itu sambil menarik lengan Daniel.
"Kenapa kamu ajak aku? Gak bisa sendiri?"
"Menurut kamu aku harus ajak siapa? Si anak yang lagi galau ini?" Tanya Adrea sambil menunjuk Teesha dengan dagunya, "Ayo cepet! Aku ga bisa bawa lima gelas minuman itu sekaligus sendiri. Tangan aku cuma ada dua!"
Dan akhirnya mereka berdua pun beranjak pergi, meninggalkan Teesha, Devian, dan Divinia.
"Haaaahhh." Teesha menghela nafas panjang sambil menyembunyikan wajah di lipatan kedua tangannya, "Aku harus gimana?" Tanya Teesha mengawali pembicaraan mereka.
"Gimana apanya? Kita berdua bahkan gak tahu kamu kenapa, Teesha." Kata Divinia masih dengan wajah khawatirnya.
Teesha mengangkat wajahnya dan menatap kedua sahabatnya frustasi, "William bilang kalau dia suka sama aku."
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat detik.
....
Sepuluh detik
Sebelas det—
"HUH?!" Baik Devian maupun Divinia sama-sama berdiri dari tempatnya dan memandang Teesha tidak percaya. Gebrakan meja yang refleks mereka lakukan berhasil membuat seluruh perhatian di cafe tertuju pada mereka.
Divinia pindah tempat duduk ke sebelah Teesha, "Kamu serius?!"
Devian masih menganga tak percaya, "Aku gak nyangka dia bakalan bergerak secepat ini." Kemudian pria pirang itu bertepuk tangan beberapa kali memuji keberanian William. Ia sendiri benar-benar tidak menyangka jika William akan menyatakan perasaannya kepada Teesha secepat ini. Siapa yang tahu kan pria pasif seperti William bisa mengungkapkan cintanya?
"Aku serius." Teesha kembali menghela nafas panjang, "Sekarang aku harus gimana?"
"Terus tadi kamu jawab apa?" Tanya Devian penasaran.
Teesha menggeleng, "Aku gak jawab apa-apa."
Devian menegakan tubuhnya lalu menyender pada sofa, "Kalau kamu emang suka sama dia, kenapa kamu gak langsung jawab aja?"
Teesha kembali menggeleng, "Akan semudah itu aku jawab kalau gak ada orang lain yang terlintas di pikiran aku."
Devian dan Divinia saling melempar pandangan tidak mengerti.
"Aku bingung harus gimana. Di satu sisi aku merasa sangat senang karena perasaan aku selama ini akhirnya terbalaskan, orang yang aku suka ternyata suka juga sama aku. Tapi—" Si gadis karamel menundukan kepalanya, "Di sisi lain aku gak bisa mengabaikan seseorang yang dari awal minta satu kesempatan sama aku."
Kini Devian dan Divinia tahu siapa yang Teesha maksud.
Ya. Teesha benar-benar tidak bisa mengabaikan Rey begitu saja. Sekali lagi ia tekankan, ia tidak mau mengambil langkah yang terlalu cepat untuk kebahagiannya tetapi harus menyakiti orang lain. Ia harus memikirkan bagaimana caranya menggapai kebahagiannya, dan juga memikirkan bagaimana perasaannya kepada Rey selama ini.
Kini meja yang berisi tiga orang itu hening. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Mau tidak mau Devian dan Divinia jadi ikut kepikiran tentang masalah Teesha sekarang. Mereka ikut memikirkan solusi yang terbaik untuk sahabatnya itu.
"Hai guys, maaf lama. Tadi—" Adrea menghentikan perkataannya ketika melihat ketiga sahabatnya melamun.
Daniel memutar matanya, "Oh bagus. Kita ninggalin satu orang yang galau, sekarang malah bertambah jadi tiga orang yang galau."
Kalau kau mendengar ceritanya dari Teesha, memang kau tidak akan galau juga?
.
.
To be continued