webnovel

Tiga Puluh Tiga

Terdengar suara gaduh dari lantai bawah, dan aku segera menutup buku. Belakangan kerap terjadi kegaduhan seperti itu. Biasanya sumbernya adalah Arsyad dan Kevin. Mereka sering kali bergurau hingga tawanya menyeruak sampai terdengar ke kamarku. Tapi kali ini di tengah gurauan mereka, namaku terdengar disebut. Dan dari tawa itu, sayup-sayup terdengar suara asing.

Perlahan aku membuka pintu kamar dan berjalan ke bawah. Bukan, aku mau ke bawah bukan untuk memenuhi rasa penasaranku. Aku hanya ingin minum.

Saat aku melewati pintu kamar Arsyi, pintu itu setengah terbuka, dan aku mendapati sosok anak manja itu tengah mengenakan baju yang sangat modis dan berkilau. Penasaranku sampai acak adut, tadi Arsyad, sekarang Arsyi. Memang dia mau ke mana, kok sampai dandan berlebihan seperti itu? Apa ada pesta di rumah? Dia menyadari kalau ada orang lain di lorong yang tengah mengawasinya dan segera dia menoleh ke arahku. Kami bertatapan sesaat lalu dia memalingkan wajah tanpa mengatakan apa-apa sambil mengibaskan rambutnya.

"Haloo!!!" Terdengar suara Arsyi menggema di anak tangga.

"Arsyi!" Salah satu suara asing menyapanya.

Lalu disusul suara-suara lain yang ikut menyapa Arsyi. Mungkin temannya. Tapi kalau itu memang teman-teman Arsyi, niatku untuk minum jadi lenyap. Males banget kalau setiap aku jalan di depan mereka nanti bakal diperhatikan dari atas ke bawah. Karena setahuku, teman Arsyi rata-rata seperti itu. Apalagi semenjak semua orang tahu kalau aku adalah adiknya, setiap teman Arsyi yang datang pasti menatapku dengan tatapan "Orang kek dia jadi adik kandungnya Arsyi?"

Aku melihat salah satu pelayan di rumahku naik. Mungkin dia hendak membersihkan salah satu kamar. Buru-buru aku menghampirinya. "Bu," aku memanggilnya. Dia menoleh dan menunduk sopan.

"Nggeh, ada apa, Mbak?"

Biasa kalau asisten rumah tangga di sini itu manggilnya "Mbak". Bukan "Non", apalagi "Tuan Putri". Kami sepakat bahwa kedudukan kami tak setinggi itu daripada mereka—para asisten rumah tangga.

Aku tanya padanya, "Em, bu, di bawah ada apa, ya? Kok rame banget?"

"Duh, Mbak, ibuk ndak kenal. Kayaknya mereka baru ke sini hari ini. Tapi laki-laki semua. Ganteng-ganteng," katanya.

"Belum pernah ke sini?"

"Iya, Mbak. Tapi kayaknya mereka temennya Mas Kevin. Soalnya ibuk tadi sempat lihat mereka saling peluk gitu."

Aku mengangguk. "Makasih nggeh, Bu," ucapku.

"Nggeh, Mbak. Ibuk bersihin kamar dulu, ya. Mereka bawa barang banyak. Kayaknya mereka mau nginep di sini."

Deg!

Mendadak perasaanku terasa tidak enak. Nginep? Bisa-bisanya. Berapa orang? Ini sudah dikasih Kevin sama Dara saja, ramainya bukan main. Aku sering susah tidur karena keberadaan mereka. Duh, aku nggak bisa bayangin bakal seperti apa. Ya, kayak gini, nggak enaknya kalau lagi nggak ada bapak sama ibu di rumah. Membawa tamu ke rumah terasa bebas. Bahkan tamunya sendiri pun nggak merasa sungkan ketika di rumah.

"Hei!" gertak Arsyad. "Ngelamun aja," katanya. Aku melihat Arsyad di ujung tangga sambil tersenyum menggelikan. "Kesambet mampus ntar. Nggak ada yang ahli spiritual di sini."

"Lah, kalau aku yang kesurupan nanti spesial."

"Apanya yang spesial?"

"Yang ngerasukin."

"Kok bisa?"

"Pasti jinnya pilih-pilih."

"Kalau kau yang ngerasukin bisa aja jin yang cantik gitu?"

"Iya, lah. Aku kesurupannya anggun nanti."

"Anggun? Sambil jalan kek model gitu?"

"Kayak Arsyi. Ha ha ha!"

"Ha ha ha!"

Anehnya kami tertawa.

"Itu ada yang nungguin kau di bawah," kata Arsyad, yang langsung membuat tawaku memudar seketika.

"Hah? Siapa? Bukannya temen Arsyi semua, ya?"

"Iya sih itu emang temen Arsyi. Temen aku sama Kevin juga. Ya, pokoknya mereka pengin ketemu sama kau."

Aku memperbaiki posisi kacamataku yang turun. Kemudian aku menatap Arsyad sambil mengangkat alis. "Kalau misalnya aku nggak mau, gimana?"

"Ya harus mau," kata Arsyad. Kemudian dengan gerakan cepat, dia berjalan ke arahku dan belum sempat aku bereaksi, dia sudah menarikku ke tangga.

"Ish, Kak, aku nggak..."

Belum sempat aku menegaskan kembali pada Arsyad, seketika aku disuguhkan dengan sosok laki-laki yang pernah aku lihat sebelumnya. Tapi, karena memori otakku tidak cukup mampu untuk mengingat namanya, jadilah aku hanya menyorot matanya sambil mengingat-ingat siapa namanya.

"Asih, kayaknya dia suka denganmu." Sayup-sayup aku mendengar laki-laki di sebelahnya berbisik dengan suara yang kelewat kencang.

"Diam," bisik lelaki itu kembali.

"Ssst, siapa dia, kayaknya aku pernah lihat," kataku pada Arsyad. Mengabaikan mereka yang berdiri tidak jauh dariku.

Dan dengan enteng, Arsyad menjawab, "Kan mereka anak-anak Anggarakasih."

"Hah? Dan mereka yang bakal jadi partnerku nanti?"

Arsyad memutar mata. "Lah menurutmu?"

"Oh!" Aku memekik sendiri begitu teringat nama laki-laki itu. "Pamungkas!"

Aku kembali teringat namanya ketika tidak sengaja aku menoleh ke arah televisi. Ya, waktu wawancara itu, tepatnya. Wajah Pamungkas ada di sana setelah Kevin menyingkir.

"Ya?" Orang yang namanya tadi aku sebut secara tidak sengaja itu lantas menyahut.

Tiba-tiba suasana menjadi canggung setelah aku keceplosan. Mau tidak mau, aku harus mencairkan kembali suasana. "Em..."

"Oh ya, kenalin ini Arum. Orang yang kalian tanya-tanya terus selama beberapa minggu belakangan ini. Nah, Rum, kenalin ini Pamungkas dan Ramos. Drummer dan bassist band kita," kata Kevin sambil menarikku ke arah Pamungkas dan Ramos.

Aku menjabat tangan mereka berdua sambil menyebutkan namaku. Mereka membalasnya dengan senyuman tipis.

Bicara soal Pamungkas, dia lumayan, sih. Sebagai perempuan normal, standarku ya, tidak tinggi-tinggi banget. Penampilannya oke. Tubuhnya tinggi dan berisi. Dia juga punya lesung pipi—salah sau bagian tubuh yang tidak banyak orang punya. Karena Kevin bilang kalau Pamungkas adalah seorang drummer, dengan kepintaran dia menjaga penampilan, tentu banyak perempuan yang pasti naksir dengannya. Karena menurutku sendiri, salah satu anggota band yang paling menarik itu ya, drummer—i mean, bukan vokalisnya. Sedang bicara soal Ramos, aku kira perawakannya bakal sesangar namanya, ternyata dia seperti manusia biasa pada umumnya. He he he.

"Akhirnya kita ketemu," kata Ramos sambil nyengir.

"Ah, iya." Aku menyahut. Aku bingung mau jawab apa. Juga mau menampilkan ekspresi seperti apa. Aku tidak tahu mereka orangnya seperti apa.

"Jadi, kita bisa mulai latihan kapan?" tanya Pamungkas.

"Bagaimana kalau sekarang aja? Aku mau lihat bagaimana penampilan kalian dengan anggota baru," kata Arsyad yang tiba-tiba bergabung dengan kami. Dengan tangkas, aku lantas memelototinya.

Memang sudah menjadi fakta umum. Di mana figuran itu selalu menjadi peran yang menarik. Karena penampilannya yang setengah-setengah, kerjaannya hanya ngompor, atau secara teknis hanya sok ikut campur dalam suasana.

Dan Arsyad selalu tidak menguntungkanku dalam banyak hal.

"Boleh- boleh," jawab Kevin.

"Eh, tunggu," sergahku. Aku berusaha menghentikan mereka. Seolah mereka menganggapku tidak ada masalah.

"Udah, sekarang aja. Betewe, studio di mana, Syad?" tanya Pamungkas.

Sial, aku dikacangin.

Arsyad sudah berjalan melewatiku, "Ada di belakang, ayo ikut aku," katanya.

Awas saja kau Arsyad.