Sama seperti etika berkenalan pada umumnya—dan Darsam memahami itu dengan baik—dia mengangguk ke arah Kevin dan dibalas dengan senyum kecil.
"Ya sudah, silakan berangkat sekarang. Khawatir kalau macet di jalan," kata Kevin.
"O-oke," Aku kebingungan sendiri. "Aku berangkat ya!" pamitku lalu melambaikan tangan.
Berpapasan dengan Kevin tadi ternyata berhasil mengalihkan pikiranku tentang kendaraan apa yang dibawa Darsam.
"Silakan naik, Tuan Puteri," kata Darsam sambil membukakan pintu mobilnya.
"Ini mobilmu?" tanyaku terkagum-kagum.
Darsam menutup pintu penumpang kemudian memutar untuk duduk di bangku pengemudi. Dia tersenyum tipis.
"Bisa dibilang begitu. Meski sebenarnya mobil ini masih nama bapak, tapi sebentar lagi, bulan Juli mobil ini akan jadi milikku."
"Wah keren-keren. Jadi ulang tahunmu bulan Juli, ya? Kalau boleh tahu tanggal berapa? Kan asik nanti semisal aku kasih kejutan," kataku iseng.
"Hem? Setahuku ya, ngasih kejutan itu ada strateginya. Biasanya orang itu harus punya skill akting yang bagus."
"Dih nyindirnya ke situ, dong."
Lalu kami tertawa bersamaan.
"Eh iya ngomong-ngomong, kau punya mobil, kenapa nggak pernah kau bawa ke sekolah, dan malah lebih milih naik angkot."
"Males aja, sih. Kayak terlalu mencolok aja gitu, kok ngapain juga ke sekolah bawa mobil segala. Toh guru kita aja masih ada yang pakai motor, bahkan ada yang masih naik angkot. Dan pasti bakal ada pihak yang suka banding-bandingin, mana mobil yang paling bagus. Mobil Darsam atau mobilnya Arga. Jadi dibuat adu-aduan nanti."
Oh, iya paham. Dan asal kalian tahu, Arga itu termasuk orang yang tidak suka mendapatkan perlawanan. Dan apabila dia tahu kalau ada seseorang yang mengancam eksistensinya di sekolah, dengan segala cara, dia akan melakukan apapun untuk memberangusnya. Mungkin sempat aku singgung sendiri di bab awal. Ya, sifatnya yang seperti itu memang miriplah dengan sifat pacarnya.
"Eh, nyanyi, yuk!" ajak Darsam dengan tiba-tiba.
"Hah?"
"Nyanyi!" tegasnya. "Kau mau lagu apa?" tunjuknya ke arah tumpukan kaset yang ada di dashboard.
"Nggak, ah! Lagi nggak mood buat nyanyi," elakku. Sebenarnya aku berbohong, sih. Dan itu alasan yang klise banget. Padahal jelas-jelas mood-ku sedang bagus. Bahkan tadi aku sempat tertawa dengannya.
"Itu bisa jadi dosamu yang pertama di pagi ini," katanya. Yah, kalau sudah bawa-bawa dosa, pasti sulit buat mengelak. "Gimana kalau Avenged Sevenfold?"
"Aish." Aku memekik dan nyaris tertawa. "Ya, kali aku nyanyi lagu begituan."
"Yang Dear God," kata Darsam, masih dalam selingan tawa.
"Lagu legend, nih. Zaman di mana warnet dengan bilik-biliknya masih eksis," kataku.
"Juga zaman di mana dia mampu menciptakan kreator-kreator besar di zaman sekarang."
"Boleh-boleh. Coba putar lagu itu," kataku yang mulai merasa tak gengsi.
Ketika bait pertama lagu, kami berdua langsung hanyut ke dalam lagu. Bahkan, entah aku yang terlalu hanyut atau gimana, pokoknya setiap di bagian chorus, Darsam menatapku sendu. Aku sama sekali tidak paham apa arti tatapannya itu. Atau mungkin lebih tepatnya aku yang nggak bisa mengkategorikan suatu tatapan mata.
***
Aku mencatat seluruh tulisan guruku ke buku tulis. Tanganku sudah terasa pegal. Tapi tak ada pilihan lain selain menurut. Mungkin itu salah bentuk penghormatan terhadap metode pembelajarannya. Bel pulang berbunyi tepat ketika guru itu hendak memberikan pengumuman. Murid-murid bersorak senang. Seperti biasa, bunyi bel pulang sekolah adalah salah satu bentuk momen yang paling dramatis.
Kemudian, alih-alih menerobos suasana kelas yang tidak lagi kondusif, guruku memanggilku, "Arum, tolong bantu saya."
Aku mengangguk. Sang guru yang satu ini—Bu Ifa— jarang sekali meminta dibawakan buku kecuali waktu dia ingin membicarakan sesuatu hal yang penting. Aku menurut dan mengekorinya hingga ke ruang guru. Di ruang guru ternyata terjadi hal yang serupa dengan di kelas. Suasana di ruang guru sama tidak kondusifnya. Mereka tampak gopoh hendak pulang.
"Ada apa, Bu?" tanyaku setelah meletakkan bukunya di atas meja.
"Duduk dulu," katanya.
Aku mengangguk dan duduk di kursi yang berhadapan dengannya.
"Saya hanya ingin bertanya satu hal padamu," kata sang guru sambil menatapku lekat. "Kau masih pada tujuan hidupmu kan?"
"Em, maksud ibu apa, ya?"
"Saya lihat akhir-akhir ini potensimu menurun. Kesungguhan belajarmu juga tampak menurun. Ini tampak beda dengan awal-awal kau ada di kelas saya. Kau begitu bersemangat dan begitu antusias menceritakan cita-citamu untuk bisa tembus UI."
"Ah, begitu ya, Bu?" tanyaku dengan polosnya.
"Saya turut berharap, kalau kau tidak mengubah tujuanmu itu, Arum. Bahkan untuk sekadar alasan popularitas dan sebagainya."
"Popularitas? Maaf, Bu, saya tidak sedang mencari popularitas."
"Saya tidak tahu soal itu. Tapi sekali lagi saya katakan, saya simpatik sama kau. Saya ingin melihat kau terus berjuang untuk bisa menembus UI. Sekarang, masuk UI itu tidak gampang. Banyak saingan, tahun demi tahun. Tapi kalau kau konsisten, saya yakin kau bisa."
Aku mengangguk menuruti nasihat sang guru. Setelah pamit, aku beranjak dan pergi ke kelas hendak mengambil tas. Tapi lagi-lagi ketika aku membuka pintu ruang guru, tiba-tiba aku mendapati Darsam yang tengah bersandar pada salah satu tiang sekolah dengan tasku di tangan kanannya. Batinku, apa dia tidak keberatan?
"Udah lama di situ?"
"Baru."
"Ya udah, ayo pulang."
"Hm," gumam Darsam mengikutiku.
Asal kalian tahu, sepanjang pelajaran tadi, Darsam tampak melamun dan tidak fokus pelajaran. Bahkan guru matematikaku tidak segan-segan melemparinya spidol karena Darsam tidak menyahut saat dipanggilnya. Aku tidak mengerti dia kenapa. Sikapnya berubah sejak kami turun dari mobil.
"Kau kenapa?" tanyaku.
"Hah? Enggak."
Aku cuma membalasnya dengan memicingkan mata saja. Seolah meneliti dia jujur atau tidak.
"Aneh. Diem terus."
"Cuma sedikit kepikiran sesuatu."
"Soal apa?"
"Kau."
"Hah?"
"Iya... Tentang band-mu, semuanya," kata Darsam.
"Aku nggak paham," kataku sambil menghentikan langkah. "Emangnya kenapa?"
"Ngapain berhenti? Udah jalan aja sambil ngobrol," katanya sambil tersenyum. "Aku cuma kepikiran kalau kau nggak bakal selalu di sini terus, kan?"
"Maksudnya gimana, sih? Sumpah aku nggak ngerti."
"Ini tentang kau dan band-mu. Setelah kita telepon kemarin malem, aku seolah dapet firasat kalau habis ini kau bakal pergi jauh."
"Dih, pergi jauh? Astaga aneh banget bahasamu. Ya, nggak kali. Aku ya di sini. Dan bakal di sini," kataku sambil sedikit tertawa.
"Enggak. Entah kenapa, firasat ini terasa tajem banget. Seolah benar-benar akan terjadi. Dan sepertinya tidak lama, aku tidak akan punya temen satu bangku agi."
"Artinya apa?"
"Yak au bakal pergi jauh. Tidak lama. Tapi kapan dan ke mana, aku tidak bisa mastiin."
Aku berhenti berjalan dan menatapnya lekat-lekat. Tapi aku sama sekali tidak mengerti maksudnya apa. Apa hubungannya, aku, band, dan pergi jauh? Di mana titik temu yang bisa mempertautkan tiga hal itu?
Kau bisa menerka hubungannya di mana? Coba berikan aku kisi-kisi.