Di dalam rumah, Narendra melihat sang ayah baru keluar dari dalam kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Terlihat, bahwa pria itu baru akan pergi ke kantor.
Narendra terkejut sesaat ketika ayahnya memerhatikan dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Ia segera menegakkan punggungnya agar tidak terlihat menyedihkan.
Dengan sedikit gugup ia bertanya, "Ay-ayah! Baru mau berangkat ke kantor?"
"Iya!" jawabnya dengan mengerutkan kening. "Narendra! Apa yang terjadi? Selama, kau tidak pulang, ya?"
Ia pikir, Narendra ada di kamarnya. Ternyata ... pulang pagi dengan keadaan berantakan.
"Apa kau mabuk?" tanyanya lagi dengan sedikit menaikkan nada suaranya.
"Ti-tidak, Yah! Aku tidak mabuk!" jawabnya segera. "Semalam aku tidur di rumah Joshua. Tidak ada baju ganti, jadi, aku pakai baju ini lagi. Haha!" ia tertawa bodoh diakhir ucapannya. Merasa konyol dengan tingkah lakunya sendiri.
"Oh!" Hindra percaya dengan ucapannya.
"Ayo, kita sarapan dulu!" Ia menarik tangan putranya sambil berjalan ke depan. Berniat pergi ke bawah untuk makan bersama di meja makan.
"Hah?" Narendra terkejut, ayahnya tidak berniat pergi ke kantor sekarang. "Apa tidak sebaiknya Ayah sarapan di kantor saja? Aku khawatir, Ayah terlambat. Bukankah pagi ini ada rapat penting di kantor?"
Hindra menghentikan langkah kakinya. Ia Menoleh untuk menatap Narendra. "Sekarang sudah jam berapa?"
"Baru juga jam tujuh pagi. Sama sekali belum terlambat." Hindra diam sejenak, menatap putranya yang semakin bertingkah aneh. "Siapa yang ada rapat? Di kantor ... tidak!"
"Itu ... maksudku ...." Narendra bingung harus menjawab apa. Tadi, dirinya hanya asal berkata saja.
Ide pun tiba-tiba datang. Ia menjawab dengan lantang, "Hari ini, Ayah harus adakan rapat dadakan di kantor, untuk membahas tentang jabatan baru untukku!"
"Sekarang, aku akan pergi ke kantor bersama Ayah!" tambahnya lagi, membuat Hindra cukup terkejut.
"Kau ... mau bekerja di kantor ... sekarang?" Bukankah dari dulu, putra kesayangannya ini begitu malas, sama sekali tidak ingin bekerja di kantor.
"Mengapa sekarang bersedia?" tanya Hindra, masih tidak percaya.
"Ya ... itu karena .... Karena aku sudah tidak muda lagi. Sebentar lagi usiaku menginjak tiga puluh tahun. Jika tidak bekerja di kantor, mau jadi apa nanti?" jawab Narendra dengan serius.
Walau tadi ide itu datang secara mendadak, tapi dipikir lagi, dirinya memang harus mulai terjun ke perusahaan. Apalagi tadi malam, Nastya sempat mengejeknya disela aktifitas mereka. Mengatakan bahwa Narendra pria pemalas. Berbeda dengan Hindra, dia pria mandiri, mempunyai segala sesuatunya dari uang dia sendiri. Dan Narendra ... uang pun pemberian dari ayahnya.
Itulah alasan, mengapa sekarang ia bersedia untuk bekerja di kantor. Ingin menjadi pria kaya dengan uang dari hasil keringatnya sendiri. Bukan dari sumbangan orang tua.
"Jadi, sekarang, ayo kita pergi ke kantor, dan sarapan di sana. Aku sudah tidak sabar, ingin segera duduk di kursi wakil direktur!" ucap Narendra sambil mendahului berjalan di depan, menarik tangan Hindra seolah tidak sabar.
"Apa kau akan pergi ke kantor dengan penampilan seperti ini?" tunjuk Hindra dengan jarinya. "Ayah malu, memperkenalkan wakil direktur yang baru, dengan pakaian dan rambut yang seperti itu."
"Oh, baiklah ... tunggu sebentar!" Narendra melepaskan tangan ayahnya. Berbalik badan dan masuk ke dalam kamar.
Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan rambut yang sudah disisir rapi, setelah jas sudah melekat di tubuhnya, dan sepatunya pun sudah mengkilat.
"Apa seperti ini, cukup?" Ia merentangkan kedua tangan ke samping. Memperlihatkan penampilannya pada Hindra.
"Bagus!" Hindra mengacungkan jempol. "Apa kau belum mandi?"
"Haha!" tawa Narendra. Ia menurunkan kedua tangannya. "Yang penting aku sudah wangi. Tidak perlu mandi."
Hindra membulatkan bola mata. Merasa bahwa putranya begitu jorok.
"Ayo berangkat, sebelum aku berubah pikiran," ancam Narendra.
Padahal, Narendra ingin ayahnya segera berangkat karena Nastya masih ada di dalam mobilnya. Jika menunggu Hindra sarapan di rumah, itu akan menghabiskan waktu satu jam. Mungkin Nastya tidak akan tahan.
"Baiklah!" Hindra mengangguk.
Mereka berdua segera pergi ke kantor dengan menggunakan satu mobil, yaitu mobil milik Hindra. Narendra enggan membawa mobil miliknya sendiri dengan alasan "Lelah". Padahal ....
*
Malam hari, Nastya tidak pergi ke rumah sakit karena kakaknya sudah kembali. Rasya yang menjaga ibunya di rumah sakit, membuat Nastya bisa beristirahat dengan tenang.
Ketika sedang nyaman berbaring di atas sofa—tempat biasa ia tidur—di kamar milik Hindra, tiba-tiba ponselnya berdering.
Nastya melihat siapa yang menghubungi. Ternyata ....
"Tuan Hindra." Ia segera mengangkatnya.
"Halo!"
"Sekarang kau ada di mana? Apa di rumah sakit?" tanya Hindra. "Aku jemput sekarang, ya?"
"Bu-bukan! Aku ada di rumah, ada apa?" tanya Nastya, segera bangun dari tidurnya. Ia duduk, bersandar di sofa.
"Oh, di rumah! Apa kau sudah tidur?"
"Belum!"
"Syukurlah!" Hindra merasa lega. "Bisakah menemaniku menghadiri acara jamuan makan malam bersama dengan rekan bisnisku?"
"Kapan? Sekarang?"
"Iya, sekarang! Apa bisa?"
"Baiklah! Aku bersiap dulu," ucap Nastya sambil bangkit berdiri. Ia berjalan menuju ruang ganti baju.
"Sebentar lagi, aku jemput, ya?"
"Oke!" jawab Nastya dengan singkat sambil membuka lemari untuk memilih pakaian. Lalu sambungan ditutup.
Ia segera memilih satu gaun malam tanpa lengan berwarna hitam, dengan belahan punggung dan dada yang sangat rendah. Dipadu padankan dengan sepatu hak tinggi berwarna senada, membuat kaki putih dan lenjangnya terlihat sangat indah dan seksi.
Tid! Tid!
Terdengar suara bunyi klakson mobil dari halaman rumah. Nastya segera menyelesaikan riasan tipis di wajahnya, mengambil tas, lalu segera turun ke bawah.
Nastya berjalan keluar rumah dengan penampilan yang sudah sangat rapi. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, dengan tataan keriting di bagian bawah, membuatnya terlihat semakin cantik.
Hindra keluar dari dalam mobil ketika melihat wanita itu berjalan ke arahnya. Ia membuka pintu bagian depan untuk Nastya.
"Terima kasih!" ucap Nastya sebelum masuk dan duduk di kursi samping pengemudi.
Sebelum bokongnya benar-benar menyentuh kursi mobil, ia terkejut dengan apa yang ia lihat di belakang. Narendra ... duduk di kursi baris ke dua sambil menatap Nastya dengan tajam.
"Kau?" ucap Nastya pelan. 'Sedang apa dia sini?'
Tidak lama, Hindra pun masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Nastya.
Sebelum Hindra benar-benar mengendarai mobilnya, terdengar Nastya bertanya, "Sayang! Bukankah kita akan pergi berdua? Mengapa ...." Ia menunjuk seseorang yang ada di kursi belakang.
"Oh, Narendra? Dia ingin ikut menghadiri acara jamuan makan malam. Padahal tadi sore, diajak pun dia tidak mau!" jawab Hindra dengan sedikit senyum. Merasa lucu dengan tingkah putranya.
Dari belakang, Narendra menatapnya semakin tajam. Itu membuat Nastya tidak berani berbicara apapun lagi pada Hindra.
"Baiklah!"
Mobil pun segera melaju, berjalan dengan kecepatan sedang menuju hotel berbintang yang ada di pusat kota—tempat acara berlangsung.
Dua puluh lima menit kemudian, mobil sudah sampai di tempat parkir hotel Raja. Hindra segera mematikan mesin mobi, lalu membuka sabuk pengaman miliknya.
"Sudah sampai! Ayo kita turun!" ucapnya pada Nastya. Tangannya membantu wanita itu untuk membuka sabuk pengaman.
"Iya!" Nastya mengangguk. Matanya melirik sekilas ke kursi belakang, sedikit canggung dengan kehadiran Narendra di sini.
Hindra keluar dari dalam mobil, berencana membuka pintu untuk Nastya.
"Jangan memanggil Ayah dengan sebutan 'Sayang' lagi. Aku tidak suka!" sergah Narendra pada Nastya sebelum dia keluar dari dalam mobil.
Nastya terdiam sesaat, melihat pria itu keluar dari dalam mobil dengan marah.
"Ayo!" Hindra membuka pintu mobil. Ia mengulurkan tangan, membantu Nastya untuk berdiri.
"Terima kasih!" Lalu mereka berjalan bersama menuju lobi hotel, diikuti Narendra dari belakang dengan ekspresi yang sangat buruk.
"Aku kira, kita akan makan malam di mana! Ternyata, di hotel Raja milikmu!" ucap Nastya sambil menggandeng lengan Hindra.
"Iya, ada jamuan makan malam dengan rekan bisnisku. Sekalian, aku ingin memperkenalkanmu pada mereka."
Nastya mengangguk, senyum manisnya ia berikan pada pria itu. Karena ia sadar, tujuan dari pernikahan ini, yaitu sebagai istri Hindra di depan semua orang.