webnovel

Pelukan Sang Mantan

Dalam waktu bersamaan, Nastya mengalami banyak kesedihan. Ayahnya meninggal dunia dan ibunya koma di rumah sakit. Rumah yang mereka tinggali harus segera dijual untuk biaya perawatan ibunya. Di saat Nastya membutuhkan dukungan dan semangat dari sang kekasih, ia malah mendapati Narendra berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Rasa kecewa, marah, dan benci pun ia rasakan secara bersamaan. Demi membalas rasa kecewanya pada Narendra, Nastya memutuskan untuk berpura-pura menjadi istri dari ayahnya. Itu membuat pria itu sangat marah. Tapi, berperan sebagai ibu tiri dan hidup satu atap bersama dengan mantan kekasihnya, Nastya malah terjebak di dalam pelukan Narendra seumur hidupnya. Pria itu tidak melepaskannya, dan tidak membiarkan Nastya hidup bahagia bersama dengan ayahnya. Bagaimanakah nasib Nastya selanjutnya? Simak cerita selengkapnya, hanya di "Pelukan Sang Mantan". Semoga terhibur ^_^ Follow IG @rymatusya

Tusya_Ryma · Urban
Not enough ratings
222 Chs

Siapa yang Lebih Hebat?

"Nastya!" Narendra mulai mencubit dagu lancip wanita itu. "Mengapa sekarang kau berubah menjadi wanita yang pandai berbohong?"

Nastya merasakan dagunya sakit karena cubitan dari pria itu. Ia meringis.

"Berbohong apa?" Ia tidak mengerti.

"Hah, masih saja berpura-pura bodoh!" Narendra mendekati wajahnya. Ia berbicara dengan hembusan napas yang menyentuh wajah wanita itu. "Dua bulan yang lalu, satu hari sebelum kita putus, kenapa tidak berkata terus terang bahwa kedua orang tuamu mengalami kecelakaan?"

Narendra sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi di hari itu dari Giovani dan Alika. Itulah alasan, mengapa saat ini Giovai dan Alika bersedia membantunya untuk bertemu dengan Nastya.

"Apa begitu sulit bagimu untuk berkata terus terang kepadaku tentang keadaanmu saat itu?" tanyanya lagi, masih dengan nada menyalahkan.

"Narendra!" Nastya mendongak, menatap pria itu dengan sorot mata penuh kebencian. "Di saat ayahku meninggal, dan ibuku koma di rumah sakit, apa aku menghindarimu?"

"Tidak!" Nastya menjawabnya sendiri. "Aku sama sekali tidak menghindarimu."

"Tapi kau ...." Ia menunjuk dada pria itu. "Kau yang tidak bisa aku hubungi. Kau tidak ada disaat aku terpuruk dan sedih karena nasib buruk yang menimpa kedua orang tuaku."

Nastya memalingkan muka. Menyeka sudut matanya yang sudah basah. "Hari itu ... kau malah pergi ke hotel bersama Ralin! Tidak peduli, bahwa aku sangat membutuhkanmu."

Ia masih ingat dengan jelas, bagaimana rasa sakitnya ketika mengetahui mereka pergi ke hotel bersama di saat dirinya butuh dukungan dan semangat dari Narendra. Pria itu malah bersenang-senang bersama sahabatnya sendiri. Itulah yang tidak bisa dimaafkan.

Nastya menepis tangan yang masih menyentuh dagunya hingga tangan itu terlepas. Ia mundur dua langkah untuk menghindarinya.

"Jadi ... di sini, siapa yang salah, hah? Aku atau kau?"

"Tahu dari mana bahwa saat itu aku pergi ke hotel bersama Ralin?" Sampai detik ini, Narendra tidak punya jawaban atas pertanyaannya itu.

'Siapa yang memberitahu Nastya bahwa aku dan Ralin pergi ke hotel? Bahkan, ada foto kami juga di ponselnya?'

Karena faktanya, saat itu, Narendra pergi ke hotel Raja hanya untuk mengecek sesuatu atas perintah ayahnya. Bukan untuk membuka kamar bersama Ralin. Saat itu Ralin yang memaksa untuk ikut menemaninya, Narendra tidak bisa menolak.

"Apa Ralin yang memberitahumu tentang semua itu?" tanya Narendra dengan penuh rasa curiga. "Apa benar dia? Jawab aku Nastya!"

Nastya terdiam. Ia masih enggan untuk menjawab pertanyaan itu. Karena, semuanya sudah tidak penting lagi sekarang.

"Lupakan saja!" ucap Nastya tidak perduli. "Siapapun yang memberitahuku, benar atau tidaknya kau dan Ralin tidur bersama di kamar hotel, semua itu sudah tidak ada gunanya lagi. Karena ... sekarang ... kita sudah putus, aku pun sudah menikah dengan ayahmu. Jadi, semua itu tidak penting lagi."

"Nastya!" sergah Narendra dengan tangan yang terkepal erat. Amarahnya kembali muncul ketika mendengar ucapan wanita itu tentang dia yang sudah menikah dengan ayahnya. "Kau wanita murahan!"

"Kau menikah dengan ayahku karena uang, kan?" tuduhnya dengan kejam. "Karena ayahku kaya, makanya kau bersedia untuk menikah dengannya!"

"Jika hanya itu, aku pun mampu!" Narendra mendorong wanita itu hingga terjatuh di atas sofa. Ia menunduk, menekan Nastya dengan naik ke atasnya.

"Kau bisa datang kepadaku, memohon untuk kunikahi," ejek Narendra dengan jari tangan yang mulai nakal menyentuh leher hingga turun ke bawah. "Hanya butuh uang yang sangat banyak untuk biaya perawatan ibumu di rumah sakit, kan? Aku mampu melakukanya. Mampu membiayai perawatan ibumu sebesar apapun itu!"

Plak!

Tiba-tiba satu tamparan melayang di wajah tampan itu. Nastya sungguh berani menamparnya dengan sekuat tenaga.

"Apa kau pikir ... aku wanita seperti itu? Rela menjual tubuhku sendiri hanya demi membiayai ibuku di rumah sakit?" Nastya menggertakkan gigi. Tidak terima dengan semua tuduhannya.

"Aku menikahi ayahmu, karena aku menyukainya. Dia pria gagah dan tampan, walau usianya sudah menginjak usia empat puluh delapan tahun, tapi dia masih penuh pesona. Bahkan ... dia lebih tampan darimu!" ucapnya sangat tegas.

"Dan lagi ... dia lebih kuat di atas ranjang daripada kau!"

"A-apa?"

'Apa dia sudah gila?' Narendra sudah sangat emosi, bukan hanya karena sebuah tamparan yang mendarat di wajahnya, tapi juga karena hinaan dari wanita ini.

Semua pria paling benci jika dibanding-banding masalah keperkasaan. Begitu pun dengan Narendra. Wajah pria terlihat sangat buruk.

"Sekarang ... menyingkirlah dari tubuhku!" perintah Nastya dengan kedua tangan mendorong dada pria itu.

"Menyingkir?" ulang Narendra dengan sorot mata berapi-api. "Aku tidak akan menyingkir sebelum kau memuji kehebatanku di atas ranjang, melebihi ayahku!"

"Apa yang akan kau lakukan?" Nastya menyilangkan kedua tangan di dada. Menyadari adanya bahaya dari sorot matanya.

Detik berikutnya, Narendra merobek semua pakaiannya, dari mulai pakaian luar hingga pakaian dalam, dan melemparnya ke lantai. Menghiraukan teriakan dan perlawanan dari wanita di bawahnya. Ia sungguh ingin membuktikan ... betapa hebatnya dirinya di atas ranjang melebihi ayahnya.

"Apa kau suka ini, Sayang?" bisik Narendra dengan pinggul yang terus bergoyang.

"Kau brengsek!" maki Nastya.

Narendra semakin mempercepat tempo permainannya. "Bagaimana dengan ini? Lebih kuat mana ... ayahku atau aku?"

Nastya hampir tidak bisa menjawab, ia mulai terbuai dengan permainan gila Narendra.

Tidak ingin membuat Narendra merasa menang, sekuat tenaga ia bersuara, "Ma-masih ... he-hebat ... ayah—"

Tidak membiarkan wanita itu menyelesaikan ucapannya, Narendra mengeluarkan semua kemampuannya. Ia mengeluarkan jurus-jurus yang mampu membuat wanita melayang di udara, tanpa bisa turun lagi ke bumi.

*

Pagi hari, di sebuah kamar apartemen yang sederhana, Alika terbangun dari tidurnya. Ia berkeringat dingin, menyadari dirinya semalam mabuk hingga melupakan Nastya yang masih di ruangan itu bersama dengan Narendra. Ia dan Giovani pulang tanpa membuka pintu ruangan mereka.

"Aishhh, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Alika menjambak rambutnya sendiri. Merasa bodoh telah melupakan sahabatnya.

Alika segera mengambil ponselnya, mencari nomor Giovani dan segera menghubunginya.

Tidak lama, sambungan telepon terhubung. Ia segera berkata tanpa basa-basi, "Gio, sekarang kau di mana? Cepat jemput Nanas di klub Nightfly. Semalam, kita lupa membuka kunci ruangannya. Mungkin mereka masih terkurung di sana!"

"Astaga!" Giovani yang juga baru bangun tidur, sama terkejutnya dengan Alika. "Tunggu, aku coba tanyakan pada Narendra. Mungkin saja dia sudah meminta seseorang orang membuka pintu ruangannya."

"Oh ... baiklah! Nanti kalau sudah ada kabar, jangan lupa untuk memberitahuku!"

"Oke!" Giovani segera menutup sambungan teleponnya.

*

Di rumah besar keluarga Adipraja, Narendra keluar dari dalam mobilnya dengan penampilan yang semerawut. Kemeja putihnya dibiarkan keluar, dengan ujung pakaian yang sudah kusut, bahkan, rambutnya pun tidak serapi biasanya.

Sebelum pintu mobil ditutup, pria itu menatap wanita yang duduk di kursi belakang. Lalu berkata, "Tunggu sebentar. Aku lihat dulu ke dalam rumah, Ayah sudah pergi atau belum."

Nastya yang saat ini mengenakan jas milik Narendra, hanya mengangguk sambil terus memegang erat jas bagian depan. Kaki putihnya, nyaris tidak tertutupi. Ia tidak berani turun dari dalam mobil dengan penampilannya yang seperti ini. Jika sampai ada orang rumah yang melihat, sungguh malu dirinya.

Narendra segera menutup pintu mobil, berjalan ke dalam rumah dengan langkah cepat.