Di aula hotel yang sangat luas, sudah tersedia meja makan besar dengan banyak hidangan di atasnya, dan beberapa botol "Red wine" sebagai teman makan mereka.
Hindra, sebagai tuan rumah di acara kali ini, segera mempersilahkan mereka untuk menyantap makanannya.
"Silahkan dicicipi!"
"Wah, ini terlalu mewah untuk sebuah jamuan makan malam," canda Thoni, rekan bisnis sekaligus temannya ketika melihat banyak hidangan di atas meja.
"Haha ... kau berlebihan. Ini hanya hidangan biasa aja." Hindra menjawab dengan tangan yang sibuk mengambil beberapa makanan ke atas piring Nastya.
"Makanlah!" ucapnya pada Nastya. Membuat semua orang yang ada di sana terkejut.
Wanita itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Menarik piringnya dan bersiap untuk memakannya.
"O, iya! Bukankah ini putramu?" tanya Thoni sambil menunjuk Narendra yang duduk di samping Nastya. Ia memperhatikan ekspresi Narendra yang terlihat sinis dari awal datang hingga sekarang.
Hindra mengangguk. "Benar ... ini Narendra, putraku! Dia yang akan menjadi penerus perusahaan di masa depan."
"Wah baguslah! Semoga, kita bisa menjadi rekan bisnis yang solid, walau putramu yang menjadi penerus di perusahaanmu."
Tapi, melihat ekspresi tidak bersahabat dari Narendra, Thoni tidak yakin, mereka akan tetap menjadi rekan bisnis yang solid seperti Hindra.
"Tentu saja!" Hindra mengangguk. "Sekarang, makanlah!"
Semuanya mulai makan.
Ketika mereka sedang makan, Nastya meletakkan alat makannya di atas piring. Ia mendorong kuris, lalu pamit ke belakang.
Setelah kepergian wanita itu, terdengar Thoni berkata dengan sedikit bercanda, "Mentang-mentang punya istri muda dan cantik, sudah tidak sungkan lagi memperkenalkannya pada kita."
"Seleranya cukup bagus. Bisa mendapatkan wanita muda yang sangat cantik."
"Ya, benar! Selama lima tahun ini, kami belum pernah melihat kau menggandeng seorang wanita setelah kepergian istrimu. Baru ini yang pertama," timpal yang lain.
"Eh, ngomong-ngomong, dari mana kau mendapatkan wanita muda seperi dia?" bisik seseorang yang duduk di kursi paling ujung. "Kalau secantik dan semuda itu, aku juga mau."
"Hey, jika kau sudah sekaya Hindra, dalam satu kedipan mata saja, kau bisa mendapatkan wanita muda dan cantik seperti istri barunya. Benar tidak? Haha!" ejek yang lain. Mereka, para pria paruh baya terus berbicara seolah masih sangat muda.
"Kalau begitu, mengapa tidak dari dulu saja kau menikah? Kenapa baru sekarang, setelah lima tahun kepergian istrimu, kau menikah lagi?" tanya Thoni pada Hindra.
Ya, itu memang benar. Hindra memang tidak pernah dekat dengan wanita manapun selama lima tahun setelah kepergian istrinya. Semua orang tahu, Hindra begitu mencintai mendiang istrinya, dan tidak berniat mencari wanita lain untuk menggantikan posisi spesial di hatinya.
Tapi sekarang ... untuk pertama kalinya Hindra memperkenalkan seorang istri yang masih sangat muda kepada mereka semua. Membuat semua orang cukup terkejut.
Mendengar mereka semua berbicara, Narendra hanya menyimak sambil terus meneguk red wine yang ada di atas meja. Tangan yang memegang gelas, terlihat merah dengan urat biru yang samar terlihat.
Terdengar Hindra menjawab, "Tentu saja, itu karena istri baruku masih sangat muda dan cantik. Pria mana yang akan menolah jika dihadapkan dengan gadis secantik Nastya? Mungkin, pria muda seperti putraku juga tidak akan menolak. Apalagi kita ... para pria tua! Benar, kan?"
"Hahaha! Kau bisa saja!"
"Tapi, benar juga!"
Takkkk!
Narendra meletakan gelas anggur dengan keras, membuat semua orang yang ada di sana terkejut dan segera menoleh ke arahnya.
"Aku permisi dulu," ucapnya sinis. Lalu bangkit berdiri, beranjak pergi meninggalkan meja itu dengan penuh kekesalan.
"Ada apa dengan putramu?" tanya Thoni dengan mata menatap punggung Narendra yang mulai menghilang di balik pintu belakang.
"Tidak apa-apa! Dia memang seperti itu." Hindra hanya menoleh sekilas, lalu melanjutkan makannya. "Ayo, makan!"
Mereka pun tidak ada yang berani membahas putranya lagi, kembali menyantap makanannya dengan lahap. Sesekali para bapak-bapak tua itu bercanda sambil tertawa, membuat suasana di sana kembali hangat.
*
Di dalam toilet wanita, Nastya mencuci tangan di wastafel setelah selesai membuang air. Ia membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan sebelum kembali ke meja makan. Setelah dirasa cukup rapi, ia berbalik badan dan berjalan menuju pintu keluar.
Ketika baru satu langkah keluar dari toilet wanita, tiba-tiba tangannya ada yang menarik. Ia ditarik tanpa aba-aba hingga terpaksa harus mengikuti langkah orang tersebut.
"Ah, lepaskan!" ringis Nastya sambil terus berjalan menuju pintu keluar. Mereka keluar dari dalam hotel itu lewat pintu belakang.
"Na-Narendra?" Nastya mendongak, menyadari orang yang membawanya adalah Narendra.
Ia menatap pria beraura dingin itu dengan heran. "Sedang apa kau di sini?"
"Lepaskan aku!" Ia menepis tangan besar Narendra, ingin melepaskan diri dari genggaman pria itu.
"Kita pulang!" ucap Narendra dengan tajam. Sama sekali tidak melepaskan tangan wanita itu.
Narendra membawa Nastya sampai ke pinggir jalan.
"Apa? Pulang? Aku tidak mau!" tolak Nastya. Ia menghentikan langkah kakinya. "Suamiku masih ada di dalam!"
"Hah ... suami?" Narendra menyeretnya dan mendorong wanita itu ke tiang lampu jalan. "Suami macam apa yang membiarkan orang lain mengejek istrinya sendiri?"
"Siapa yang mengejek?" tanya Nastya dengan polos. Sama sekali tidak mengerti dengan ucapannya.
Ia menatap wajah tampan Narendra yang tersorot oleh lampu berwarna orange, aura dinginnya semakin terlihat.
"Kau ... hanya dijadikan bahan ejekan oleh Ayah dan teman-temannya. Apa kau masih tidak mengerti?" jawab Narendra, berusaha menahan emosinya. Ia memegang pundak polos Nastya, menekannya cukup kuat.
"Biarkan saja, jika hal itu membuat suamiku senang!" jawab Nastya dengan acuh.
Ia tidak perduli orang lain mau berbicara apa tentang dirinya. Yang terpenting ... pria di depannya ini marah dan marah setiap waktu. Karena, rasa marah Narendra merupakan keberhasilan dalam sandiwara ini.
"Nastya!" sergah Narendra. "Hanya demi uang, kau rela menjadi bahan ejekan orang lain!"
"Jika 'Iya' memangnya kenapa?" tantang Nastya, semakin suka melihat Narendra marah.
"Kau!!!" Pria itu mengeratkan gigi, mendekatkan wajahnya ke wajah wanita itu.
Sebelum ia melakukan sesuatu, terdengar suara klakson mobil diiringi suara panggilan, "Narendra!"
Nastya dan Narendra terkejut. Mereka segera menoleh ke samping untuk melihat.
"Ralin!"
"Ralin!"
Narendra segera melepaskan tangannya dari bahu Nastya, mundur satu langkah untuk menjaga jarak dengannya.
"Ternyata kau di sini?" tanya Ralin dengan suara lembut. Lalu membuka pintu mobil, turun dan berjalan menghampiri mereka berdua.
"Nastya ... kau juga ada di sini? Bagaimana dengan kondisi ibumu?" tanyanya seolah menunjukkan rasa peduli.
"Baik!" Nastya memalingkan muka, tidak suka melihat mantan sahabatnya ada di sini.
"Oh, syukurlah!"
"Sayang, sedang apa kau di tempat ini? Mana mobilmu?" tanyanya pada Narendra. Wanita yang berpakaian sangat seksi itu segera menggandeng tangan Narendra. "Apa kau tidak membawa mobil?"
"Tidak!" jawab Narendra. Ia tidak menolak sikap manja Ralin kepada dirinya. "Tadi kami datang bersama dengan ayahku. Sekarang, Ayah masih ada di dalam."
"Oh, baguslah kalau begitu. Aku antar kau pulang, ya? Ayo!" ajak Ralin sambil menarik tangan Narendra menuju mobilnya.
"Narendra ... kita pulang ke rumah, sekarang!" teriak Nastya dengan susah payah. Ia menebalkan muka untuk mengatakannya. Ingin tahu, pria itu akan memilih siapa, Nastya atau Ralin?
Ralin membuka pintu mobil untuk Narendra.
"Sayang, kau yang bawa mobilnya, ya!" ucapnya, pura-pura tidak mendengar teriakan Nastya.
"Sayang ... ayo!" Ralin memanggil pria itu lagi. Lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kursi pengemudi.
Narendra ragu sejenak, menatap Nastya sebentar. "Kau pulanglah duluan!"
Lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi pengemudi. Ia mulai membawa mobilnya pergi meninggalkan tempat itu.
Nastya masih berdiri di bawah lampu jalan. Menatap kepergian mobil berwarna hitam itu dengan perasaan terluka. Tubuhnya bergetar, hatinya terasa sakit dan jantungnya berdetak sangat kencang. Walau dari awal ia tahu bahwa mereka sudah bersama, tetap saja hatinya merasa sakit.
Masih terhanyut di dalam kesedihan, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nastya segera tersadar.
Ia mengambil ponsel dari dalam tas kecilnya, lalu melihat orang yang menghubunginya.
"Tuan Hindra!" gumamnya. Lalu menekan tombol hijau.
Nastya segera membenarkan emosinya. "Halo!"
"Kau di mana?"
"Ak-aku ... aku ada di luar, sedang menunggu taksi!" Ia menjawab dengan berbohong, "Barusan kakakku menelpon, katanya kondisi ibu memburuk. Jadi, aku harus segera pergi ke rumah sakit."
"Mau aku antar?"
"Ah, tidak perlu. Aku bisa sendiri! Sampaikan saja maafku pada yang lain, aku pulang duluan. Maaf juga tidak bisa menemanimu sampai acara selesai!" jawab Nastya, penuh permintaan maaf. Ia menyesal tidak bisa menemani Hindra dan berakting dengan baik. Sekarang, mood-nya sudah hilang. Tidak ada kekuatan untuk kembali ke dalam dan ikut bergabung bersama mereka lagi.
Hatinya sangat lelah!
"Baiklah, tidak masalah! Pergilah! Jika ada apa-apa, jangan lupa untuk menghubungiku."
"Oke!"
Klik!
Nastya menutup teleponnya, menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas, lalu berjalan di trotoar jalan tanpa arah dan tujuan. Ia tidak ingin pulang ke rumah, tidak pula kembali ke rumah sakit. Dirinya hanya ingin menyendiri.
Nastya cukup lelah dengan permainan yang ia mulai sendiri. Terus terjebak di dalam kesedihan. Bukan rasa bahagia yang ia dapat dari balas dendam ini. Tapi ... selalu rasa kecewa.