Bos Koko terkejut bukan kepalang. Wajahnya yang pias kini berubah menjadi pucat. Aku yang melihat, sungguh tidak kuat menahan tawa. Kututup mulut dengan kedua tangan.
"Itu yang ... anunya di potong,'kan, ya?" tanyanya pada Wawan. Namun, melihat ke arahku dan Karina sekilas.
"Mbak, jangan ketawa. Kasihan," bisik Karina.
"Maaf, kelepasan. Hihihi," balasku kembali berbisik.
"Iya, Pak. Jangan takut, Pak. Zaman sekarang sudah canggih kok. Sudah banyak pilihan metode untuk melakukannya. Rasanya cuma kayak digigit semut, kok Pak. Saya serius."
Wawan berusaha menenangkan.
"Ba ... baiklah, nanti akan saya pikirkan. Kalau begitu, saya permisi dulu. Saya harus istirahat dulu ke atas. Silakan dilanjutkan mengobrolnya."
Bos Koko terbirit-birit ke atas, seperti dikejar hantu saja. Kami tertawa bersamaan, kecuali Karina. Dia tampak benar-benar kasihan melihat wajah bos koko barusan.
"Bunda ...."
Zeze tiba-tiba mendekat sambil memeluk boneka Hello Kitty kesayangannya. Dia langsung duduk di pangkuanku.
"Wangi sekali anak Bunda. Baru selesai mandi, ya?" tanyaku mencium puncak kepalanya.
"Iya, Bunda. Halo Tante, halo Om!" Zeze mendekat dan menyalami mereka.
"Wah, pintarnya. Bagaimana, Sayang, rasanya punya Bunda?" tanya Karina pada Zeze seraya tersenyum.
"Senang. Bunda baik banget. Suka temenin aku bobok," jawab Zeze polos.
"Iya, karena Zeze kan anaknya Bunda Rey sekarang. Eh, enggak panggil mama, ya?" tanya Karina.
"Bunda nggak mau dipanggil Mama. Maunya dipanggil Bunda."
Aku tersenyum. Saat dia pulang sekolah bersama Mbak Mira tadi, aku protes saat dia berlari dan kembali memanggilku dengan sebutan Mama. Aku tidak ingin menggantikan posisi mamanya Zeze, karena itu aku tetap meminta dipanggil dengan sebutan bunda. Zeze terlihat akrab bermain bersama Karina dan Wawan. Setelahnya mengajak Zeze bermain, kami kembali bicara banyak hal, hingga tidak terasa waktu magrib sebentar lagi akan datang. Wawan dan Karina buru-buru pamit pulang. Kebetulan kuliah hari ini diliburkan, karena ada salah seorang dosen yang meninggal dunia.
***
Aku membacakan dongeng sebelum tidur untuk Zeze. Setelah itu, bertanya tentang pengalamannya masuk ke sekolah yang baru. Anak ini sangat antusias mendengarkan, hingga aku bertanya apakah dia merindukan sosok mama dalam hidupnya. Tanpa kuduga, Zeze bercerita tentang sesuatu yang membuatku geleng-geleng kepala soal mamanya.
"Dulu, Papa baik banget sama Mama. Sampai suatu ketika, membuat Papa benar-benar marah sama Mama."
"Oh. Kalau boleh tahu, apa sebabnya, Sayang?"
"Waktu itu, Papaenggak ada di rumah. Cuma ada Jeje, aku, dan Kak Nicole. Mama pulang malam, tapi bau mulutnya tidak enak. Aku mengajaknya bermain, dan Mama malah marah terus pukul aku, Bunda. Aku masih ngedeketin Mama. Sepertinya malam itu dia sakit, karena muntah-muntah di kamar mandi. Mama masuk kamar mandi, tapi aku terus nangis ngajak main. Sedangkan Kak Nicole dan Jeje sudah bobok."
"Terus?" Aku membelai kepalanya. Mata ini sudah berkaca-kaca mendengarkan.
"Mama masih marahin aku dari kamar mandi. Dia jatuh di sana. Aku pikir Mama meninggal. Jadi, aku berlari ke bawah panggil Jeje sama bangunin Kak Nicole. Mama nggak pakai baju, Bunda," jawabnya polos.
Oh. Mungkinkah saat itu keadaan mamanya sedang mabuk, dan saat akan mandi pingsan di kamar mandi? Aku mencoba berpikir sendiri.Apapun alasannya, dia tidak berhak memperlakukan anaknya seperti itu, apalagi dalam keadaan mabuk, umpatku dalam hati, kesal.
Zeze menceritakan tentang mamanya lumayan panjang. Dari sini aku bisa mengambil kesimpulan, bahwa berpisah dengan wanita itu adalah pilihan yang terbaik bagi Bos Koko. Selesai bercerita panjang lebar soal mamanya, aku memeluk tubuh kecil Zeze yang sudah terlelap. Tanpa sadar aku terisak.
Ah, kasihan sekali anak secantik ini diperlakukan tidak adil oleh ibu kandungnya sendiri. Bunda akan memberikan limpahan kasih sayang padamu, Nak. Sebagai pengganti kasih sayangmu yang kurang sempurna selama ini. Aku menarik selimut dan mencium kening putri kecilku sekali lagi. Setelahnya, beringsut dari ranjang dan keluar dari kamar.
Aku sudah memilih kamarku sendiri tadi siang. Kamar di lantai tiga dekat dengan perpustakaan. Jika bosan, aku bisa langsung masuk ke sana dan membaca buku sebagai penghibur. Sebelum ke kamarku, otomatis harus melewati kamar Bos Koko terlebih dahulu, karena kamar kami berdua hanya terpisah ruang perpustakaan di bagian tengah. Pintunya sedikit terbuka, Bos Koko masih asyik dengan laptop di meja kerja.
"Rey," teriaknya, saat menyadari aku melintas.
"Iya, Pak?" sahutku seraya menghentikan langkah.
"Awas, tidur sendirian. Nanti ada setan!" ucapnya menakutiku.
"Setannya Bapak!" jawabku asal, kemudian kembali melangkah menuju kamar.
Sampai di kamar, aku merebahkan tubuh yang sedikit penat. Harusnya aku sudah mengajari Bos Koko membaca Iqro malam ini, tapi ya sudahlah. Mungkin di lain kesempatan saja. Karena tadi setelah salat Isya Zeze minta ditemani main di kamar, tidak tega kalau mau menolak.
Tup!
Tiba-tiba lampu padam. Jantungku mulai serasa berhenti berdetak, keringat mulai bercucuran. Aku merasa mata-mata asing mulai mengawasi, mendekat, dan merapat pada diri. Aku memberanikan diri meraba dinding, tapi ... seperti ada orang lain di sana. Mengapa mata-mata asing itu kini ada di mana-mana? Ya Allah ....
Aku mencoba duduk di sisi ranjang, tapi tetap saja menakutkan. Aku memutuskan turun dari ranjang dan duduk memeluk lutut di lantai. Aku mulai sulit bernapas, sulit bicara. Ingin sekali berteriak, tapi tidak bisa. Semakin lama, bayangan mata tikus seolah semakin banyak dan seakan mendekat.
Tiba-tiba, tangan kukuh seseorang menuntunku berdiri.Dia memeluk dan mengatakan.
"Tenanglah, Rey. Hanya mati lampu sebentar."
"Pak, a-apakah ini Anda?" tanyaku terbata-bata.
"Iya," jawabnya singkat.
Aku langsung balas memeluknya sangat erat. Sungguh, aku merasa sangat ketakutan. Ada ketenangan, saat mengetahui bos koko berada di dekatku. Dia menyembunyikanku dalam dekapnya. Kurasakan napasnya mengalun merdu di telinga. Hingga detak demi detak jantung kami saling bersahutan.
"Tenanglah. Ada saya," katanya kembali menenangkan.
Tup!
Lampu kembali menyala. Aku langsung melepas pelukan dan meminta maaf.
"Maaf, Pak."
"Enggak apa-apa. Kalau butuh sesuatu, bilang saja, ya."
"Iya, Pak. Sekali lagi, maaf ...."
Bos Koko hanya tersenyum dan melangkah keluar. Setelah Bos Koko berlalu, aku naik dan berbaring ke ranjang. Kejadian barusan cukup membuat bibir ini melengkung ke atas. Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh. Mencoba untuk tidur, tapi entah mengapa mata ini sulit terpejam. Jujur, aku menemukan kenyamanan dalam dekapan pria itu. Rasa takutku hilang, saat dia ada di sisiku. Aku merasa terlindungi dan entah mengapa merasa disayangi. Apa mungkin, aku mulai menyukainya, atau ini hanya perasaanku sementara saja karena hanya dia yang aku punya?
Ya Tuhan, kenapa rasanya senyaman itu? Aku bahkan merasa kalau rasa nyaman ini lebih terasa dan berbeda dengan rasa nyamanku ketika berada di dekat Sony.