webnovel

Mati Lampu Berulang

"Rey!" teriakku, ketika menyadari dia melintas.

"Iya, Pak?" sahutnya.

Dia berhenti tepat di depan pintu kamar.

"Awas, tidur sendirian. Nanti ada setan!"

"Setannya Bapak!" jawabnya ketus, kemudian kembali melangkah.

Padahal, harapanku dia takut dan memutuskan tidur di sini bersamaku. Tapi, apalah daya, ternyata wanita itu tidak takut sama sekali. Aku pun kembali melanjutkan pekerjaan, ada beberapa tugas dari kantor yang musti selesai malam ini juga. Karena cuti, sehingga pekerjaan jadi menunpuk. Ada tugas-tugas tertentu yang tidak bisa di handle oleh Wawan, sehingga harus kukerjakan sendiri. Ah, besok aku harus kembali bekerja. Padahal jujur, aku masih ingin ada di rumah ini, lihatin Rey main sama Zeze. Kadang, memperhatikan dia bantuin Jeje bersih-bersih rumah. Reynata ... entah mengapa semakin ke sini, dia semakin menarik di mataku.

Tup!

Tiba-tiba lampu padam. Suasana menjadi gelap dan aku jadi tidak bisa melihat apa-apa. Kuputuskan menyandarkan punggung ke kursi. Namun, tiba-tiba ingat istriku. Bukankah ... dia fobia gelap? Buru-buru aku beranjak, dan berjalan ke arah kamarnya sambil meraba-raba dinding, supaya tidak menabrak. Bersyukur pintunya terbuka, dari pantulan sinar rembulan yang berasal dari jendela kamar Rey, aku bisa melihat sosoknya, meskipun samar-samar. Dia berjongkok di samping ranjang. Dengan sangat hati-hati aku mendekat, lalu memegang bahu dan menuntunnya berdiri.

"Tenanglah, Rey. Hanya mati lampu sebentar, kok," ucapku seraya memeluk untuk menenangkan.

"Pak. A-apakah ini Anda?" tanyanya terbata-bata.

"Iya," jawabku singkat.

Dia langsung membalas memeluk. Sikapnya, cukup membuatku tersenyum bahagia. Dalam keadaan seperti ini, dia tidak ragu untuk membalas pelukanku. Aku bersyukur, Akhirnya, tangannya membalas memeluk tubuhku, sama seperti aku yang memeluk tubuhnya cukup erat. Di saat seperti ini, ada sesuatu yang mengaliri hati. Desiran halus di dalam dada, memang sudah lama tidak menyapa hati ini. Aku memejamkan mata, meresapi hangatnya pelukan ini. Ya, aku pria yang sudah sangat lama tidak merasakan hangatnya tubuh wanita. Meskipun tidak jarang, banyak teman yang mengajakku 'jajan' di luaran. Entah mengapa, aku tidak tertarik sama sekali dengan perempuan-perempuan seperti itu.

"Tenanglah ... ada saya," ucapku sekali lagi sambil mengusap punggungnya.

Tup!

Lampu kembali menyala. Rey langsung melepas pelukan.

Yah, enggak bisa lebih lamakah lampunya mati? tanyaku dalam hati.

"Maaf, Pak."

"Enggak apa-apa."

Hening.

"Em ... kalau kamu butuh sesuatu, bilang saja, ya!"

"Iya, Pak. Sekali lagi, maaf."

Aku hanya tersenyum dan kembali melangkah keluar. Jujur, aku tidak rela meninggalkannya sendirian di sana. Aku menoleh beberapa kali sambil tersenyum saat keluar kamar, ada sedikit harapan ia mencegahku, atau minta temani aku malam ini. Sayang, hingga aku kembali lagi ke kamar, tak ada teriakannya memanggil namaku. Ia bahkan tidak menoleh padaku sedikitpun saat aku berlalu. Haduh, Rey Rey, kamu nggak peka banget sih Rey!

***

Pagi-pagi sekali, setelah salat Subuh, aku turun ke lantai bawah. Tidak biasanya aku seperti ini. Namun semenjak ada istri di rumah ini, aku lebih tertarik melihatnya melakukan sesuatu di sana. Sampai di dapur, tampak wanita itu sedang sibuk mengiris bawang merah. Aku tersenyum tipis, lalu perlahan berjalan mendekat. Kepalaku berputar mencari keberadaan Zeze. Aku bahagia tidak menemukannya di sini. Iseng, aku mematikan lampu. Otomatis Rey terpekik kecil, karena takut. Aku berjalan ke arahnya dan memeluk dari belakang. Kusandarkan kepalaku di bahunya sambil terus menatap wajah Rey di kegelapan. Sebenarnya tidak begitu gelap, karena cahaya lampu dari kebun belakang masuk dari jendela yang gordennya agak terbuka.

"Pak, apa ini Anda?" bisiknya lirih.

"Ya."

"Pak, saya takut."

"Tenang, ada saya," bisikku di telinganya.

"Pak, kenapa sepagi ini sudah mati lampu?"

"Saya juga enggak tahu, Rey."

"Jangan-jangan Anda belum bayar listrik?"

Ya Tuhan, bisa bisanya dia berpikir seperti itu?

"Saya warga negara yang baik, jelas sudah bayar. Barangkali ini cara Allah untuk mendekatkan kita."

Dahinya mengernyit, tapi matanya masih memejam.

"Pak, jangan pergi, ya. Saya ... takut gelap."

"Saya tahu, itulah saya ada di sini."

Kemudian hening. Aku mencium aroma wangi dari tubuh dan rambutnya. Diam-diam aku mencium puncak kepalanya. Rey masih tenang dengan mata terpejam. Mungkin, saking ketakutannya sampai tidak merasakan apapun yang sudah kulakukan.

Tup!

Lampu kembali menyala. Aku langsung menoleh ke belakang. Ternyata ada Jeje di sana dan dia yang menghidupkan lampunya. Jeje terlihat bengong melihat kami berdua. Hal itu membuat Rey yang sejak tadi menutup mata, langsung membukanya.

"Alhamdulillah. Akhirnya hidup lampunya."

Jeje tampak bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Aku menegakkan telunjuk di depan bibir, memberi isyarat supaya asisten rumah tanggaku itu merahasiakan informasi kalau barusan tidak mati lampu. Perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan hidupnya padaku itu akhirnya mengangguk, dan buru-buru pergi meninggalkan kami.

"Rey, kamu mau masak apa?" tanyaku sambil mengambil posisi berdiri di samping tubuhnya.

"Eh, saya mau tumis kol dicampur telur, Pak."

"Memang enak?"

"Bagi saya, sih, enak, Pak. Entah bagi Anda."

"Kalau saya, apa pun yang kamu masak akan suka."

"Benarkah?" tanyanya dan aku mengangguk.

Pagi itu, aku menemaninya memasak. Hanya sekadar mengajak mengobrol dan melempar senyuman. Dulu, Dhiya biasa bangun pukul 10.00 menjelang siang. Itu pun setelah pulang larut malam dari mabuk-mabukan. Tidak ada kedekatan seperti ini di antara kami. Tidak ada canda dan tawa, serta hangatnya kebersamaan suami istri. Ikatan kami dulu seperti tidak ada harganya: aku yang sibuk dengan urusanku, begitu pun dia yang sibuk dengan urusannya sendiri. Lalu kami akan memasang topeng bahagia, saat beberapa paparazi mendekat untuk mencari berita. Aku bersyukur, pernikahanku yang sekarang meskipun hanya kontrak, terasa lebih bahagia dan nyaman, jauh berbeda dari pernikahanku sebelumnya yang palsu dan penuh dengan kebohongan.

***

"Zeze, belajarnya yang pintar, ya. Nanti Bunda jemput ke sekolah. Sekarang, sama mbaknya dulu."

Rey memeluk Zeze dengan hangat. Aku yang berdiri di belakang mereka sungguh merasa sangat bahagia. Bahkan, mamanya Zeze tidak pernah selembut itu. Pak Sandoro—sopirku, segera membuka pintu mobil, tepat di depan teras rumah. Dengan sangat bahagia, Zeze memeluk dan mencium kedua pipi bundanya.

"Bunda, janji, ya, jemput Zeze!" katanya sekali lagi dengan riang.

"Suer, deh. Janji." Rey menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah, membentuk huruf V.

"Ya, sudah. Dadah Bunda, dadah Papa, dadah Jeje!" Putri kecilku berlari ke arah mobil diiringi pengasuhnya.

Setelah mobil menghilang dari pandangan, Jeje dan Rey kembali masuk rumah.

"Rey," panggilku.

Dia menghentikan langkah kaki, lalu menoleh ke arahku.

"Iya, Pak?" jawabnya yang membuatku tertawa.

Melihatku tertawa, wanita itu mendekat.

"Kamu nggak mau, anter suamimu dulu? Main masuk saja!"

Wajahnya melengos, kesal. Rey mendekat, lalu berbisik, "Sunat dulu, biar jadi suami yang sempurna dan bisa saya antar ke depan setiap akan pergi bekerja." Dia kemudian berjalan memutari tubuhku, sambil tersenyum dan berkata, "Bapak tampan, banyak uang. Bagaimana bisa saya tidak tergoda, tapi kalau belum sempurna ... apalah mau dikata?"

Membahas masalah sunat, jujur saja bulu kuduk berdiri semua. Aku sedang mengumpulkan keberanian untuk yang satu itu. Kulihat Rey tertawa dan hendak melangkah meninggalkanku, tapi langsung saja kutarik tangannya dan kini wajah kami berjarak cukup dekat.

"Apa kamu bisa memberikan segalanya, kalau saya sudah sempurna menjadi mualaf?" balasku juga berbisik. "Jangan khawatir. Dalam waktu dekat, saya akan menjadi suami yang sempurna untukmu. Siap-siap saja, nanti setiap malam saya akan bertamu ke kamarmu!"

Mata Rey membulat dengan wajah memucat. Aku mengecup keningnya sekilas, kemudian segera meninggalkannya yang masih bergeming di teras rumah dengan wajah gelagapan. Senyumku merekah melihat ekspresinya, dia sangat menggemaskan jika wajahnya seperti itu. sampai di depan mobil, kubuka pintu bagian depan, lalu melesat masuk. Kutekan bel beberapa kali yang membuatnya kembali menatapku. Melihat aku tertawa, Rey hanya diam dengan wajah yang pias. Kuhidupkan mesin mobil, lalu berjalan perlahan meninggalkan halaman rumah. Bahkan ketika mobilku lewat, dia masih menatap dengan pandangan yang ... entahlah, cukup sulit untuk kugambarkan.