Dimana Wati yang biasanya tegas? Dimana Wati yang biasanya bersikap rasional? Entah kenapa saat ini tidak ada sikap itu yang terdapat dari dalan diri Wati saat ini.
Aya dan Citra hanya bisa duduk terdiam menatap Wati yang berulang kali membuka dan menutup hpnya. Setelah mendapat telfon dari orang yang akan menjadi mantan suaminya.
"Penampilan aku berantakan gak?" Aya dan Citra dengan kompak menggelengkan kepala. Lelah, karena entah untuk yang keberapa kalinya Wati sudah menanyakannya.
"Eh dia telfon aku." Buru-buru Aya dan Citra memasang telinganya.
"Oke, aku kedepan sekarang." Mendengar itu Aya dan Citra kembali ke posisi semula.
"Ya, Cit, aku deg-degan banget nih, aku mesti gimana?" Aya menghampiri Wati dan menggenggam tangannya.
"Wat, aku sama Citra belum pernah punya pengalaman nikah, apalagi cerai. Jadi kita cuma bisa berdoa yang terbaik buat kalian berdoa."
"Tapi Ya, pengalaman kamu sama Tian jauh lebih lama dibanding aku sama Verdi. Jadi gimana sikap kamu pas bertengkar?" Citra mendekati Wati dan ikut memegang tangan Wati diatas tangan Aya.
"Jangan tanya itu, selama dua puluh enam tahun mereka hidup bersama, mereka gak pernah bertengkar." Wati menghela nafas pelan.
"Pernah kok." Sorot mata Wati yang berbinar kini kembali. "Terus pas itu kamu gimana?"
"Aku marah aja, terus Tian yang selalu ngalah."
Wati dan Citra menatap takjub Aya.
"Fiks, jangan dilepas."
"Andai Verdi gitu."
Aya menangkup kedua pipi Wati. "Wat dengerin aku, kamu sendiri yang bilang kalau kamu gak bertengkar sama dia kan? Kalian cuma masih asing aja satu sama lain. Aku juga yakin kok setiap lelaki itu punya sifat berbeda tapi bukan berarti buruk. Kamu coba ngomong aja apa adanya ke Verdi."
Citra melepas tangan Aya, menggantikan tangan Aya menangkup pipi Wati. "Aya bener."
"Udah gitu aja?"
"Heem." Wati hampir saja menitikkan air mata karena tersentuh oleh ucapan Aya, tapi langsung berganti oleh tawa yang sangat renyah.
"Udah sana? Orangnya udah didepan kan?" Wati mengangguk, kemudian memeluk Aya dan Citra bergantian.
"Doain aku ya."
"Pasti." Aya dan Citra mengacungkan dua jempol. Entah mengapa ini terasa seperti Aya dan Citra mengantar anak mereka menuju ke sekolah baru. Seakan pertempuran baru akan dimulai.
Baru saja Aya mengembalikan posisi santainya bersenderan ke sofa, sebuah dering panggilan telfon dari Tian berbunyi.
"Ya bunyi tuh hp kamu."
"Biarin ah. Aku mau nginep berduaan sama kamu." Aya mendekat dan memeluk Citra, namun Citra segera menjauhkan Aya dari tubuhnya.
"Iya deh, iya."
Aya dan Citra kembali terfokus pada film yang masih sisa separuh diputar.
"Ya bunyi terus nih. Angkat bentar deh." Aya menurutinya, mengambil hpnya tanpa mengalihkan pandangannya pada film.
"Halo?"
"Ya, jemput aku dong."
"Ha? Tadi pagi kan lo bawa mobil."
"Iya, cuma aku lagi gak enak badan, ini aku di ugd."
"Ha?! Di ugd? Kenapa?"Citra melirik Aya yang bangkit dari posisi duduknya.
"Ya udah, aku kesana sekarang." Aya segera mematikan telfon dan memasukkan hpnya kedalam tas sesudah memesan taksi.
"Cit, gue kayaknya gak jadi nginep deh."
"Kenapa? Siapa yang di rs?"
"Tian, dari semalem dia udah sakit soalnya. Lo gak apa nih gue tinggal?"
"Ya udah sana. Gak apa kok, lagian banyak bibi-bibi yang lain. Jadi gak usah khawatir."
"Umi sama Abi pulang jam berapa?"
"Bentar lagi katanya sampe kok. Udah sana, titip salam buat Tian. Semoga cepet sembuh."
"Iya, gue sampein. Gue duluan ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam wr.wb."
Aya segera berlari menuju gerbang depan. Tak berselang lama, taksi yang dipesannya datang.
Aya segera memasukinya.
"Pak, ke rs pelita ya pak. Cepet!"
Aya kembali membenarkan kaos kakinya yang miring karena terlalu buru-buru memakainya tadi. Setelah selesai Aya melirik spion taksi, melihat rumah Aya yang didepannya berhenti sebuah mobil berwarna Hitam.
"Umi sama Abi udah sampe Ya?"
*
Wati menggeram kesal saat tahu ternyata Verdi menjemputnya hanya untuk pulang kerumah mereka. Ekspetasi tadi benar-benar diluar kendali. Percuma saja dirinya senang.
"Diminum dulu." Wati menatap gelas penuh itu dengan curiga. "Bukan alkohol kan?"
Sontak Wati bisa melihat sorot terkejut dari Verdi sebenarnya lebih dominan ke sorot mata sedih.
"Bukan."
"Ngomong yang keras, laki bukan?"
"Bukan." Verdi mengulangi perkataannya dengan lebih keras.
Wati mengambil minuman itu dan menegaknya hingga tandas. Ingat bahwa dirinya belum melepas jasnya, langsung melepaskannya dengan gerakan menghentak-hentak, kesal.
"Sekarang kenapa ajak aku pulang?" Satu menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Verdi akan membuka mulutnya. Ini benar-benar lucu disaat seseorang yang telah banyak memiliki hubungan dengan seorang perempuan malah sedikit berbicara dihadapan istrinya. Ralat, calon mantan istri.
"Oke kalau gak mau bicara. Aku tidur dulu dan kamu tidur di kamar lama kamu."
"Wati, tunggu." Begitu Verdi menarik tangan Wati dengan kencang, Wati kehilangan keseimbangan dan terjatuh dalam pelukan Verdi yang masih terduduk.
Dengan gerakan cepat Verdi membawa Wati kedalam pangkuannya.
"Kamu... mau ngapain?" Wati menahan tangannya pada bahu Verdi agar posisi mereka tidak jauh lebih dekat dari posisi mereka sekarang.
"Aku gak mau kita cerai."
"Maksud kamu?"
"Aku ingin kita mulai semua dari awal."
"Terus?" Wati mulai tidak berani menatap mata Verdi, mengalihkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan.
"Jadi kamu mau gak?" Entah mengapa kini Wati tidak bisa mengeluarkan satu katapun dari mulutnya. Posisi mereka seperti terbalik.
"Aku tahu mungkin akan susah untuk membangun semua dari awal. Tapi apa kamu pernah berfikir kenapa aku menujukkan semua keburukan aku sama kamu? Itu semua karena aku merasa nyaman sama kamu Wat."
"Aku tahu kamu mungkin akan sulit menerima semua kekurangan aku itu, tapi aku tahu kamu orang yang sangat terbuka. Aku harap kamu mau kasih aku kesempatan untuk jadi suami kamu yang benar-benar suami."
Wati hanya bisa terdiam menimbang segala perkataan yang diucapkan oleh Verdi padanya. Mencoba memahami kata demi kata.
Entahlah itu sangat rumit. Cukup pekerjaan kantor saja yang membuat kepalanya pusing.
Dengan berani Wati mengecup pipi Verdi dengan cepat, hanya dalam hitungan detik. Sekali lagi Wati bisa melihat sorot mata Verdi yang membulat sempurna.
"Apa itu arti tanda bahwa kamu setuju?"
Wati menganggukkan kepala. "Tapi apa gak apa kita rujuk? Biasanya kan aku harus dinikahi sama orang lain dulu." Verdi terkekeh, rupanya Wati tidak tahu banyak tentang hal itu.
"Itu kan kalau talak tiga, sedangkan aku sama sekali belum talak kamu. Malah kamu yang talak aku, tapi talak istri ke suami itu sama sekali gak berarti apa-apa. Jadi kita tinggal daftar nikah lagi ke pemerintah."
"Kok kamu tahu banyak?"
"Aku dulu sekolah MTs tau?"
"Kok sekarang bisnisnya club?"
"Itu punya kakek aku. Yang diwarisin ke ayah. Tapi sama ayah dipegangin ke orang lain. Pas aku besar aku minta deh. Sebagian penghasilan aku donasiin ke panti kok."
Wati mengelus pipi Verdi lembut. "Mulai sekarang tolong tunjukin hal baik ke aku, jangan yang buruk aja." Verdi mengangguk setuju. Tanpa aba-aba Verdi mengangkat tubuh Wati dengan mudah.
"Tidur yuk?"
"Hah?! Tidur aja kan?"
"Menurut kamu?"