webnovel

Kata Untuk Mama

Kemarahan Bagas dan Tiara saling bersahutan bak dewa-dewa yang sedang memperebutkan kekuasaan dengan kekuatan masing-masing. Air mata Tiara yang terbendung mengalir dengan bebasnya, saat merasakan perihnya jejak tangan sayang ayah di pipinya. Bibirnya bergetar hebat, tubuhnya gemetar seperti melihat biang setan menyeramkan di dunia persetanan. Mata Bagas menjadi merah seperti laser yang sedang memancarkan sinarnya, tangan kanannya masih mengambang sehabis mendarat tepat di pipi sang anak.

"Sekali lagi kamu berteriak seperti itu, jangan salahkan apa yang akan ayah lakukan padamu nanti!"

Bagas pun masuk ke dalam kamarnya sendiri dan menutup pintu dengan menghasilkan suara memekik telinga, pergi meninggalkan putrinya tengah menahan isak dan air mata yang sudah membasahi pipinya. Tiara pun menutup pintu kamar dengan tenaga yang tersisa, setelah tertutup rapat dirinya bersandar pada daun pintu dan perlahan merosot ke bawah hingga jatuh terduduk dengan kaki yang ditekuk serta membenamkan kepalanya diatas lutut. Memeluk kakinya sendiri dengan bibir bawahnya di gigit untuk menahan tangis agar tidak terdengar suara, tubuhnya bergetar hebat kala mengingat kejadian pertama kalinya sang ayah membentak seperti tadi dan dilakukan pada tanggal kelahirannya hari ini.

"Mama ...," lirih Tiara.

Hanya satu nama yang keluar untuk membuatnya tetap kuat dari keadaan yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat, kehidupan keluarga yang harmonis menjadi seperti pecahan keramik. Bahkan Tiara sendiri tidak mengetahui penyebab retaknya keharmonisan keluarganya, ingin sekali dia bertanya pada sang ayah, tapi rasa takutnya terus menghantui kala mengingat teriakan yang didengarnya. Dia sendiri tidak mengetahui dimana keberadaan Rani, sampai saat ini tidak ada kabar apapun darinya. Seperti sedang tersesat di luasnya lautan dan tak mendapatkan daratan untuk di datangi, seperti itulah perasaan Tiara terhadap Rani semenjak kepergiannya. Hingga Zio, adiknya berani mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan rumah dan memilih tinggal dengan keluarga mama lainnya yaitu tante Rita.

Tiara mengesot untuk mencapai ranjangnya, sungguh tidak ada lagi tenaga yang tersisa didalam dirinya. Jika saja ada benda tajam didepannya sudah dipastikan dia akan mengambilnya dan benda tersebut menari indah dipergelangan tangan Tiara atau menancap dengan mulus di tubuhnya. Tiara berhasil naik keatas ranjang dan merebahkan dirinya dengan posisi meringkuk, perlahan matanya mulai terpejam karena merasakan lelah yang luar biasa.

Aku disini menanti kehadiranmu.

Aku disini menanti dirimu memanggil namaku.

Aku menanti akan ketukan pintu yang membuatku terbangun dari tidurnya malam.

Aku selalu menyebut namamu di setiap doaku, meminta pada Sang Pencipta agar dirimu tersadar apa yang telah dirimu lakukan padaku.

Aku selalu menyebut namamu dalam setiap tangisan hingga terisak yang berharap dirimu dapat mendengar perihnya yang menyiksa jiwa.

Aku disini sendiri, Ma. Tersiksa menahan sakit yang teramat dalam, menunggu dirimu memelukku dengan erat dan kembali pada keluarga harmonis kita dulu.

Aku berharap dirimu dapat mendengar jeritan hatiku yang menyiksa disetiap malam datang.

Aku masih berhak mendapatkan kasih sayangmu bukan tangisan perih yang dirimu tinggalkan untukku setiap hari.

Meskipun dengan mata terpejam, air mata Tiara keluar dari sudut matanya.

____

Suara alarm handphone memaksa untuk membangunkan Tiara dari tidur malamnya. Matanya yang sembab masih terlihat di wajahnya, bahkan lendir pun seakan ingin keluar dari hidungnya. Dengan kesadaran yang masih dikumpulkan, Tiara beranjak dari kamarnya dan berjalan menuju kamar mandi untuk bersiap sekolah dihari senin.

"Hah! Jam tujuh lewat." Tiara terkejut melihat jam di dindingnya dan memastikan sekali lagi jam di handphonenya. Jurus cepat pun dikeluarkan, hingga menuju angkutan umum.

"Waduh, udah pada sepi. Telat dong gue," ucapnya melihat pemberhentian angkutan umum.

Tidak ingin menunda waktu, Tiara memesan ojek untuk cepat sampai ke sekolah karena jika naik angkutan umum sudah dipastikan akan sangat terlambat. Butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke gerbang sekolah.

"Issh, udah ditutup lagi gerbangnya," umpat Tiara.

Dengan tekat bulat, Tiara berjalan hingga ke tembok samping. Tiara terkejut melihat tembok dengan tinggi diatas tubuhnya.

"Tinggi banget lagi! Bisa gak ya gue manjat," gumam Tiara.

Tiara mengambil ancang-ancang dan menaikkan rok panjang yang dikenakannya hingga kakinya bisa mencapai tembok untuk memanjat agar bisa masuk ke dalam lingkungan sekolah.

"Aww," rintih Tiara setelah berhasil masuk.

Tangannya dibersihkan dengan saling menepuk satu sama lain, matanya celingak-celinguk untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihat aksi nekatnya. Langkahnya berhenti saat seseorang memanggil, bibirnya dilipat ke dalam dengan posisi tegap berdiri. Suara sepatu melangkah semakin terdengar ditelinga Tiara, dalam hatinya berdoa bukan guru yang memergoki aksi nekatnya pertama kali dilakukan.

"Telat ya."

Suara tawa renyah terdengar di telinganya dan melihat siswa yang sedang tersenyum sambil menaikan alisnya turun naik. Katup bibir Tiara terbuka saat matanya melihat dengan sempurna siswa yamg tersenyum padanya. Tiara menormalkan tubuhnya saat tangan siswa tersebut melambai didepan wajahnya dan Tiara memalingkan wajahnya detik itu juga.

"Mau kemana? Upacara belum selesai," ucapnya.

Tiara langsung berhenti dan terlihat bingung akan kemana arah perginya.

"Sini, ikutin gue," titahnya.

Tiara pun berbalik untuk melihat kemana perginya siswa tersebut, ada keraguan dalam pikirannya untuk keputusan yang akan diambilnya.

"Buru! Nanti malah ketauan guru kalau disini terus," titahnya lagi.

Kaki Tiara pun melangkah untuk mengikuti kemana perginya siswa tersebut. Betapa terkejutnya saat melihat tembusan jalan belakang yang berujung kantin sekolah, itu menandakan kali pertama Tiara menyusuri jalan tersebut.

"Masuk ke dalam kantin sini, kalau disitu kelihatan guru."

Siswa tersebut menyuruh Tiara untuk masuk ke dalam kantin yang ada di ujung.

"Kebiasaan deh," kata pemilik warung sambil menepak punggung Revan.

Revan Arqananta. Siswa yang telah membantu Tiara untuk sampai ke dalam kantin dan bersembunyi dari terlambatnya hari senin.

"Kalau mau nakal jangan bawa-bawa orang," tambah pemilik warung.

"Jangan mau diajak bolos, Neng. Dia nih anak nggak bener," ejeknya lagi.

"Nggak lah, dia nih tadi telat terus aku ajak kesini daripada dihukum sama guru, hayo." Revan membela diri.

"I-iya, Bu. Dia udah bantuin saya tadi," timpal Tiara.

"Lo mau minum apa, kayaknya lo haus banget," ucap Revan.

"Iya. Saya beli es mocca, Bu," pesan Tiara.

Pemilik warung pun membuat minuman yang dipesan Tiara.

"Duduk sini, jangan berdiri terus. Emang lo nggak cape," ejek Revan.

Tiara hanya tersenyum kaku mendengar perkataan yang terlontar dari Revan, dengan langkah kikuk Tiara duduk di bangku dekat Revan.

"Nih, esnya neng," kata pemilik warung memberikan segelas es mocca.

Revan mengeluarkan selembar uang berwarna coklat dan memberikan pada pemilik warung sambil berkata, "Aku juga mau es seperti itu."

"Tumben," ledek pemilik warung.

"Eh tunggu!" Revan menghentikan aksi Tiara yang akan meminum es moccanya.

Tiara pun tersentak dibuatnya dan menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya dari mulut Revan.