webnovel

Puncaknya Amarah

Hadiah kotak musik adalah kali pertama Tiara mendapatkannya dari seorang berstatus pacar. Bibir Tiara tidak berhenti mengukir senyum, bahkan dia terus memperhatikan kotak musik pemberian Faza.

"Kamu suka?" tanya Faza.

"Aku suka banget, makasih ya, Za," jawab Tiara bersemangat.

Faza tersenyum melihat Tiara yang terus menunjukan senyum padanya, itu berarti pilihannya tidak sia-sia karena dia menghabiskan waktu dua jam berkeliling sebuah toko untuk menemukan hadiah pertama untuk pacarnya. Bahkan dia menimang sebelum akhirnya membeli kotak musik tersebut.

"Oh iya, kenapa aku nggak boleh jemput kamu dirumah?"

Pertanyaan Tiara membuat senyum di bibirnya pudar seketika dan melihat ke arah depan dengan tatapan penuh pertanyaan di otaknya, dia memikirkan jawaban yang tepat agar tidak menunjukkan kesedihannya didepan orang lain. Faza pun memanggilnya kembali melihat Tiara yang tiba-tiba diam bergeming.

"Tiara," panggil Faza dengan menyenggol lengannya.

"Ha? O-oh, iya apa, kenapa?" tanya Tiara tergagap.

"Kamu kenapa? Ada masalah?"

"Ng-nggak ada. Tadi kamu tanya apa sama aku?" tanya Tiara lagi.

"Kalau ada masalah, cerita saja sama aku, mungkin nggak bisa menyelesaikan masalah, tapi seenggaknya bisa mengurangi apa yang kamu pikirkan," jawab Faza.

Pandangan mereka saling melihat ke depan tanpa bisa melihat satu sama lain karena belum terbiasa, bahkan untuk berdekatan saja membuat jantung masing-masing berdetak cepat dan gemetar dibuatnya. Pertama. Ya, ini kali pertama mereka melakukan hubungan yang dinamakan pacaran dimana dua hati menjadi satu untuk saling mengerti satu sama lain dan sependapat.

"Kamu mau pulang?" tanya Faza.

Faza menjadi merasa bersalah karena sudah membuat Tiara tidak nyaman, dirinya tidak mengetahui apa yang harus dilakukan karena pertanyaannya saja tidak dijawab oleh Tiara. Sementara Tiara tidak ingin pulang kerumah karena masih siang dan baru satu jam mereka duduk di taman, tapi apa boleh buat jika itu keinginan Faza. Mungkin yang Tiara pikir kalau Faza merasa bosan jika bersama dirinya, hingga dia mengiyakan ajakan Faza untuk pulang. Sepanjang jalan Tiara dan Faza saling diam satu sama lain, keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

"Aku anterin sampai depan rumah ya?" tanya Faza.

"Nggak!" seru Tiara.

Faza tersentak mendengar jawaban Tiara karena nadanya seperti menolak keras tawarannya, seketika senyum Faza memudar. Sepeda motor pun berhenti sesuai permintaan Tiara. Faza diam tidak berbicara, dirinya takut jika membuat Tiara marah seperti sebelumnya.

'Kenapa Faza jadi diam begini ya?' batin Tiara.

"Ka-kamu mau pulang?" tanya Faza.

"Pertanyaan bodoh macam apa itu, Za!" jeritnya dalam hati.

Tiara mengangguk dan berkata, "Iya, aku pulang ya."

Faza mengangguk, Tiara pun melanjutkan jalannya. Melihat Tiara sudah berjalan, Faza menyalakan sepeda motornya dan melanjutkan jalan pulang. Didalam hatinya Faza bertanya-tanya berulang kali, apa dia melakukan kesalahan?

Tiara berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya karena merasa kesal.

"Bagaimana bisa, di hari ulang tahun ngajak jalan, tapi hanya satu jam," keluh Tiara, "kemana gue?"

Tiara pun berbelok ke warung internet untuk menghilangkan rasa jenuhnya.

"Bang paket dua jam," pesannya.

"Tumben main disini," ejek bang warnet.

Tiara tidak menjawab, dia melihat komputer yang masih kosong dengan harapan bagian ujung tidak ada orangnya. Senyumnya pun terlukis saat melihat komputer dengan posisi favoritnya. Tiara meletakkan es cappucinonya diatas meja dan mulai memasukkan nama serta kode yang diberikan kang warnet pada secarik kertas tadi. Jari-jarinya menari dengan indah diatas keyboard kala mengetik email dan password di akun sosial medianya, tidak lupa dia memasang headphone untuk mendengarkan lagu-lagu favoritnya. Suara salah satu boyband asal negeri ginseng yang beranggotakan tiga belas lelaki tampan menggema di telinganya, sesekali mulutnya bergerak untuk mengikuti alunan lagu yang didengarnya.

Mata Tiara terbelalak saat melihat satu inbox di akun sosial medianya hingga bibirnya membentuk lengkungan saat membacanya, jantungnya berdetak cepat dan tangannya gemetar hebat.

[Tiara: Makasih udah kasih selamat.]

Enter. Tiara pun membalas pesan tersebut dan saling membalas lewat inbox sosial media, hingga dia lupa tujuannya ke warnet untuk apa dan perasaan bad moodnya meluap seketika.

[Tiara: Iya, gue juga main game itu. Sebentar gue masuk room dulu ya.]

Dua jam yang Tiara pesan tidak terbuang sia-sia, dia bermain game serta saling membalas pesan. Tiara berjalan pulang dengan hati berbunga-bunga dan mulutnya dilipat kedalam untuk menyembunyikan senyumnya. Saat belokan kerumahnya, tiba-tiba senyum tersebut hilang dalam sekejap. Tiara menarik napas dalam-dalam untuk menarik handel pintu. Terlihat ayahnya sedang duduk di ruang televisi, Tiara berjalan tanpa bersuara.

"Masuk rumah seperti maling!"

Tangan Tiara mengentikan aksi membukanya saat mendengar perkataan ayahnya, dia pun berbalik dan melihat sang ayah. Tangannya mengepal erat memegang handel pintu, napasnya diatur sedemikian rupa untuk tidak terpancing akan bisikan-bisikan di telinganya.

"Seperti orang tidak sekolah!"

Tiara yang sudah masuk ke kamar dapat mendengar perkataan dari ayahnya dan menutup pintu dengan kencang serta menguncinya.

BRAK!

Bagas yang mendengar suara gebrakan pintu langsung berdiri dan menggedor pintu kamar.

"TIARA! BUKA PINTUNYA! TIARA!" teriak Bagas.

"AKU NGGAK MAU, YAH!" saut Tiara dari dalam.

"BUKA! atau ayah dobrak pintunya!" berang Bagas.

"Issh, Shit!" umpat Tiara dalam hati.

Tiara pun membuka pintu dengan terpaksa karena Bagas terus saja menggedor pintu dengan keras. Tiara tidak melihat ke arah Bagas karena memang tidak berniat sekali pun melihat wajahnya semenjak kepergian Rani.

"Kamu itu sekolah! Apa tidak punya sopan santun. Hah!" serang Bagas.

Sebenarnya Tiara gemetar mendengar teriakan Bagas, tetapi dia menyembunyikannya dengan meremas ujung bajunya hingga kusut dibuatnya.

"Kamu punya telinga tidak!" ucap Bagas meninggi.

"Aku cuma punya dua telinga, tanpa ayah berteriak pun aku dengar, Yah!" balas Tiara ikut meninggi.

"Jadi ini sifat yang kamu turunkan dari mamamu, hah!"

Mendengat kalimat mama dari mulut Bagas, membuat Tiara naik pitam dan tidak bisa menahan diri lagi.

"IYA! KENAPA? Ayah nggak suka? Aku harus apa? Apa Ayah tau, aku tersiksa dirumah ini?" serang Tiara menahan isaknya.

"Ayah nggak tau, kan. Kenapa Zio milih pergi dari rumah? Ayah nggak tau apa yang dirasain semua anak Ayah sendiri semenjak mama pergi," ucapnya lagi dengan nada melemah.

Tiara tengah mengatur napasnya setelah mengatakan semua kalimat yang dipendamnya selama ini. Bagaikan gunung meletus yang memuntahkan laharnya yang begitu panas hingga meratakan semua yang ada disekitarnya sampai berkilo-kilo meter, seperti itulah perasaan Tiara terhadap masalah keluarga yang dipendamnya. Mata sendu yang mulai mengaburkan pandangan Tiara karena linangan air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. Terlebih saat pipi Tiara merasakan perihnya jejak tangan sang ayah, dengan sekuat tenaga dia menahan tangisannya, meremas ujung bajunya yang semakin kusut karena remasan kuat tangannya sedari tadi.