webnovel

Irwan Bertanya pada Pak Doni

Dugaan Salsa berarti kedatangan Arsya untuk bertemu suaminya hanyalah alasan saja, Salsa tahu itu.

Salsa berharap Irwan tidak bertanya aneh-aneh apalagi mengungkit masa lalu mereka.

Pak Doni pun berdiri di belakang istrinya dan tersenyum pada Arsya dan Irwan.

"Iya, ini mahasiswa saya dan apakah dia juga sekelas dengan kamu, Arsya? Maaf saya kadang suka lupa nama mahasiswa saya, tapi dia tampaknya asing sekali." Pak Doni menatap Irwan aneh.

"Oh, iya. Ayo silakan masuk!" ajak Salsa ke dalam, dia pun langsung masuk ke dalam rumah duluan untuk menyuguhkan air untuk tamu suaminya itu.

Meskipun Salsa masih bertanya-tanya maksud kedatangan Irwan.

Irwan dan Arsya pun langsung memburu tangan pak Doni untuk disalami.

"Assalamu'alaikum, Pak," ucap keduanya serempak.

"Maaf Pak sebelumnya, saya bukan mahasiswa Bapak tapi saya cuman nganter Arsya. Dia malu datang sendiri katanya." Irwan berbohong sambil tertawa lebar menoleh pada sahabatnya Arsya.

Arsya terpaksa membalas cengiran Irwan dan wajahnya tampak tegang sekali, terserah si Irwan sajalah pikirnya.

Pak Doni kemudian masuk lebih dulu. "Ya sudah ayo masuk! Sudah mahasiswa kok masih malu-malu," sindirnya sembari berjalan menuju sofa.

Arsya ingin sekali memukul Irwan, gara-gara sahabatnya itu ke-Gentle-lan Arsya dipertanyakan oleh dosennya sendiri.

Irwan mencoba menghindari pukulan bohongan Arsya yang emncoba dilayangkan padanya, tapi … dari kejauhan Salsa memperhatikan mereka hingga Arsya dan Irwan yang sadar pun kembali bersikap formal.

Tidak boleh ada keributan, karena bisa-bisa niatan mereka terbongkar.

Setelah semuanya duduk, Salsa pun datang dan menyuguhkan kopi untuk mereka berdua.

"Aduh Ibu enggak usah repot-repot segala," ucap Arsya sembari menampakkan wajah yang sangat menyesal.

Salsa menoleh pada keduanya, tatapannya serasa menusuk ke dada Irwan.

Tampak dingin, pikir keduanya mentang-mentang Salsa sudah bersuamikan seorang dosen terhormat sekarang.

"Tidak apa-apa kok, selayaknya Tuan rumah menyuguhi tamunya. Ayo diminum!" Salsa pun berlalu setelah kedua temannya itu mengangguk.

"Pak dicicipi ya." Arsya mengambil duluan untuk menghilangkan rasa tegangnya, Irwan pun mengikuti.

"Iya, silakan diminum!" sang dosen pun mempersilakan mereka. "Makasih Umi," ucap sang dosen kemudian pada Salsa.

Sebelum sempat Sala menjawab terima kasih suaminya, tiba-tiba Irwan pun langsung tersedak mendengarnya.

Semuanya menatap Irwan aneh, sedang Salsa … dia sudah tahu kenapa Irwan sampai tersedak.

Tapi Salsa tetap terkejut dan berusaha terlihat care pada tamu sang suami.

"Hati-hati, itu masih panas." Senyum Salsa pun mengembang, meski rasa canggungnya semakin besar.

"Ma-maaf Pak, Ibu … teman saya suka minum kopi dingin makanya dia lupa kalau terkadang situasi merubah kopi jadi anget," celoteh Arsya ngawur, Pak Doni pun bingung apa maksud ucapan Arsya.

Tapi, sekali lagi … Salsa tahu maksudnya.

Salsa kemudian memegang bahu suaminya. "Abi, saya pergi ke atas ya nemenin anak-anak."

Sang suami pun mengangguk sambil memegang tangan istrinya, Irwan yang melihatnya entah mengapa merasakan sesak di dada yang begitu kuat.

Apa Irwan masih mencintai mantannya itu?

Ah, tapi itu tidak mungkin. Irwan berusaha mengelaknya.

Dia juga sudah telanjur datang dan sudah risiko dia melihat kemesraan dua pasang suami istri itu.

"Arsya," panggil sang dosen.

"Iya, Pak?" Arsya pun menyimpan gelasnya ke meja, sesudah dia mereguk seperempat dari kopi yang sudah diseduh Salsa tadi.

"Tujuanmu bagus, Bapak dukung kamu untuk lanjut S3 ke luar negeri dan kalau kamu bener-bener semangat dan ingin lulus lebih cepat boleh juga akan bapak damping. Bapak senang kalau mahasiswa semangat."

Dalam hati, Arsya dan Irwan tertawa karena sang dosen percaya dengan ucapan Arsya yang mengaku ingin kuliah S3 ke luar negeri.

Tapi, tawa mereka harus dipendam agar tidak menggagalkan rencana mereka datang ke sini.

"Iya Pak, saya sangat berterima kasih sekali," balas Arsya sambil tersenyum seperti orang yang benar-benar serius punya semangat untuk kuliah di luar negeri, sedang Irwan masih memerhatikan langkah Salsa yang menaiki tangga.

Sekilas, Salsa juga melihat pada mantannya itu, tapi dia tidak ingin hanyut dalam nostalgia bersama Irwan.

Melihat wajahnya, sama saja memutar kembali kenangan mereka dulu.

Mereka ngobrol ngaler ngidul.

Obrolan para lelaki yang memang nyambung, bukan hanya mengobrolkan kuliah saja tapi soal merancang masa depan, karir dan pasangan sampai sang dosen pun bilang kalau dia bersyukur menikah dengan istrinya.

Irwan dan Arsya saling memandang satu sama salin.

Arsya pun batuk.

Irwan segera melayangkan pertanyaan yang sangat sekali ingin dikatakannya.

"Maaf Pak nih ya, sebelumnya. Kalau boleh tahu bapak sama istri bapak menikah di usia berapa ya?" Irwan tersenyum kikuk, takutnya dia dibentak karena telah melontarkan pertanyaan yang bisa saja dianggap tidak sopan oleh sang dosen sahabatnya itu.

Arsya pun merasa deg degan menunggu jawaban sang dosen yang wajahnya mulai berubah jadi dingin kembali.

Tapi, beberapa detik berselang … sang dosen tertawa.

"Karena istri saya seumuran kalian, kan? Dan pastinya karena Arsya tahu kalau kedua anak saya sudah besar, kan? Bahkan anak saya sebenarnya tiga. Cuman waktu Arsya lihat saya hanya bawa dua anak saya saja." Sang dosen pun meraih gelas kopinya, kemudian direguknya sedikit.

Arsya dan Irwan pun hanya tertawa kecil.

"Menikah dengan perempuan yang lebih muda itu … menurut saya sungguh berat."

Arsya dan Irwan saling tatap kembali, penuh keheranan atas ucapan sang dosen. "Kenapa, Pak?" tanya keduanya serempak.

Sang dosen mulai memasang kembali wajah seriusnya. "Karena … umur yang terpaut jauh dan anggapan orang pasti berbeda-beda, kan?"

Arsya dan Irwan mengangguk.

Sang dosen pun melanjutkan ucapannya, dan kali ini dia tersenyum. "Tapi, nikmatnya juga double."

'Gila, nih dosen kotor juga pemikirannya,' gumam Arsya dalam hati.

Irwan juga bergumam di hatinya, 'iyalah, orang Salsa masih fresh dan cantik. Sama gue aja belum diapa-apain.'

"Ya … bukan hanya soal fisik yang cantik, kemampuannya melayani pun bagus, kita hanya harus bisa menyeimbanginya saja. Yang lebih muda kan, beda." Sang dosen tersenyum. "Tapi alhamdulillah istri saya yang kedua ini juga sama baiknya dengan istri saya terdahulu."

Arsya tercengang, Irwan pun sudah menduganya.

Tapi, dia masih bertanya-tanya.

Tidak mungkin, kan kalau Pak Doni bercerai dengan kakaknya Salsa dan menikahi Salsa? Ngawur sekali, jika itu alasannya pikir Irwan.

"Lalu, istri pertama Bapak ke mana Pak?" tanya Irwan, Arsya hanya tersenyum saja melihat reaksi sahabatnya yang sangat antusias itu.

Wajah sang dosen kemudian berubah sedih. "Istri saya yang pertama, dia …." Arsya dan Irwan menyimak baik-baik.

"Dia meninggal karena sakit dan sang mertua menawari saya adiknya untuk mengurusi cucu-cucu mereka, anak-anak saya. Mungkin, pikir mereka hanya tidak ingin cucu-cucu mereka diurus oleh ibu tiri. Mungkin sih, saya tidak tahu."

Seketika Irwan pun paham, Arsya juga sangat terkejut dan dia pun melirik sahabatnya yang duduk di samping sebelah kiri dirinya itu.