webnovel

Pergi ke Kediaman Salsa

Saat Intan berjalan ke sisi tembok, karena di tengah berjajar mesin-mesin jahit, obras dan sebagainya yang sedang dijalankan oleh para pekerja.

Hana yang sadar akan keberadaan Intan pun memperhatikannya.

"Dia cleaning service? Cantik banget," gumam Hana.

"Hah, apa Han?" tanya Litta karena dia kira Hana berbicara padanya.

Litta juga melihat Intan yang sekarang tengah mengambil serpihan kain dari dalam tong sampah yang sudah dikantungi kantong plastik sebelumnya dan dia tinggal mengganti plastiknya saja.

"Itu, aku baru lihat dia deh kayaknya." Hana masih menilik-nilik wajah Intan.

Litta kemudian menyimpan kain yang tadi diperiksanya ke meja si penjahit. "Memangnya ada yang aneh dari dia?"

Hana menggeleng. "Enggak, dia cleaning service yang paling cantik yang pernah aku lihat."

Litta tertawa kecil, "hahaha, kirain apa. Ya udah yuk, kita pergi. Aku harus segera pulang juga." Litta kemudian berjalan duluan dan diikuti Hana.

Mereka berdua menuju kedua Leader yang tengah berdiri di depan, mereka sedang mengajak ngobrol Kintan dan entah apa yang sedang diobrolkan mereka.

Ketika Hana dan Litta menghampirinya, kemudian obrolan itu terhenti.

"Bu Ai, Bu Idah … makasih ya. Aku sama Litta pamit," kata Hana sambil menyalami kedua Leader itu.

"Sama-sama Hana, kapan-kapan berkunjung lagi ke gedung ini dong biar enggak jenuh di kantor mulu," balas Bu Ai sembari cengengesan. Dia memang ramah dan mudah tersenyum.

"Iya Hana, nanti kita bisa ngerujak kalau istirahat," timbal Bu Idah.

"Hahaha, siap Bu. Let's go!" Hana pun tertawa.

"Kami pamit ya Ibu-ibu, makasih sebelumnya." Litta menganggukkan badannya dan tersenyum, tak lupa dia juga membagi senyumnya pada Kintan. Kintan yang sudah berdiri pun juga membalas senyumanya.

Hana dan Litta pun pergi ke luar.

Bu Idah dan Bu Ai menghela napas panjang, terasa lega mereka jika kunjungan kedua orang itu selesai. Sedari tadi sebenarnya mereka tegang, takut ada prosedur kerja yang disalahkan oleh Litta dan ternyata tidak. Dia begitu baik dan sangat ramah.

Tiba-tiba Bu Ai mendekati Kintan yang sudah duduk lagi.

"Husssh! Kintan, hei," panggilnya pelan.

Kintan mendongak. "Ya, Bu Ai? Ada apa?"

Pas-pasan Intan pun lewat sambil membawa dua keresek besar yang berisi kain-kain sisa.

"Itu cleaning service baru ya?" tanya Bu Ai. Bu Idah juga memerhatikan Intan.

Kintan mengangguk. "Iya Bu, dia kembaran saya. Namanya samaan, hehe."

Bu Ai pun mengernyit mendengarnya. "Namanya doang yang mirip, tapi wajahnya cantikan dia."

Bu Idah tertawa mendengarnya, sedangkan Kintan cemberut. "Ah, Bu Ai kok jujur banget."

"Eh, lebih baik jujur lho daripada bohong."

"Iya, iya … terserah Bu Ai deh." Kintan tampak menyerah berdebat dengan Leader ceriwis itu.

"Sayangnya cantik-cantik cleaning service," celetuk Bu Ai terdengar tidak disaring, pikir Kintan.

"Yang pentingkan halal Bu," balas Kintan.

Sambil berlalu, Bu Idah menimpali mereka. "Sudah-sudah, kerja lagi. Sebentar lagi pulang lho."

Bu Ai pun kembali ke posisinya dan Kintan kembali mengetik sambil cekikkikan.

Sekali Bu Idah ngomong, semuanya pun harus menurut, karena dia adalah salah satu Leader paling kejam di sini dan dia juga adlaah orang yang paling tegas.

***

Intan menyeret-nyeret dua plastik besar itu ke gudang, cukup berat ternyata jika dia rasa-rasa.

Dari lawang gudang, seorang lelaki muda melihatnya kasihan dan membantu Intan.

Setengah berlari, dia menghampiri Intan.

"Mbak, sini biar sama saya saja yang satunya," tawar lelaki itu. Kira Intan usianya hampir sama dengan adiknya—Sakha.

"Aduh, ngerepotin. Terima kasih ya."

"Iya Mbak, seharusnya Mbak minta bantuan saya ya lain kali." Lelaki itu menatap Intan sambil tersenyum.

Intan pun membalas senyumannya meskipun sinar terik matahari menyorot ke wajah Intan.

"Memangnya boleh?" tanya Intan menggodanya.

"Bolehlah Mbak, ini juga kerjaan saya." Keduanya pun tiba di lawang gudang, terlihat banyak pekerja yang menggotong barang dan beberapa memilah-milah kain. "Sudah taruh saja di sini Mbak. Dengan Mbak siapa kalau boleh tahu? Mbak baru atau pindahan dari gedung utama, Mbak?" tanya lelaki itu.

"Saya baru. Nama saya Intan, kalau kamu?" tanya Intan balik.

"Owalah baru toh. Saya Yanto, Mbak. Salam kenal ya, besok-besok jangan sungkan panggil saya kalau berat. Jangan nyiksa diri Mbak, kasihan toh cantic-cantik angkat yang berat-berat."

Intan pun tersenyum. "Iya, terima kasih Yanto. Kalau begitu aku pamit ya."

"Iya, Mbak. Lima menit lagi juga pulang, waktunya salat ashar Mbak."

Intan pun tersenyum dan pergi berlalu meninggalkan Yanto yang kemudian membawa kedua plastik besar itu ke dalam.

Temannya, tepatnya seniornya datang sekonyong-konyong dan bertanya.

"To, dia cleaning service baru ya?" tanyanya sambil masih melihat-lihat Intan yang sudah berjalan jauh.

"Cie … suka ya Mas?" tanya Yanto, sambil menggoda seniornya.

"Sukalah, orang dia cantik banget gituh. Tapi enggak tahu ya, dia udah punya pacar atau enggak." Seniornya itu pun tersipu malu.

"Pepet terus Mas Yoga, pepet …." Yanto kemudian meninggalkannya sambil tertawa-tawa, temannya yang lain pun bertanya.

"Ada apa?"

"Tuh Mas Yoga naksir ke si Mbak cleaning service yang baru."

Temannya itu pun langsung mendekati Yoga. "Mana Bro? Ada cleaning service baru emangnya?" Dia menumpukan tangannya di pundak Yoga.

Yoga pun menggerakkan bahunya agar temannya yang satu ini, Cecep melepaskan tangannya di pundak Yoga.

"Berat woy!" kata Yoga.

"Idih." Cecep melihat wajah Yoga dengan sinis. "Bagi tahu dong secantik apa tuh cewek?" Cecep menggoda Yoga.

Sembari berlalu, Yoga pun berucap, "enggak ingin gue kasih tahu, takut lo embat. Ayo cepet beresin! Enggak mau pulang emang?"

Cecep pun komat-kamit kesal, menirukan kembali kalimat Yoga barusan .

"Enggak ingin gue kasih tahu, takut lo embat. Ayo cepet beresin! Enggak mau pulang emang?"Bibir Cecep manyun.

"Okelah kalau begitu, gue besok juga bisa lihat secantik apa tuh cleaning service baru sampai si Yoga melongo gituh lihatnya." Cecep pun menyusul Yoga. "Mau pulanglah Bos," teriaknya, menjawab kata-kata Yoga yang sudah terlewat tiga menitan.

***

"Lo deh duluan."

"Enggak lo aja, masa gue."

"Siapa yang punya niat datang ke sini coba?" tanya Arsya. Menyalahkan.

"Ayolah! Kan lo mahasiswanya, masa gue?" Irwan tersenyum membujuk Arsya.

Akhirnya, Arsya mengalah dan dia pun memencet bel.

TING TONG!

Irwan menggosok-gosok telapak tangannya dan meniupnya kemudian, Arsya kebingungan melihat tingkah Irwan.

"Kenapa, lo?" tanya Arsya sambil menatap sahabatnya itu aneh.

Irwan senyum menyeringai. "Kan mau salaman sama suami mantan gue." Setelah itu telapak tangannya diusapkan ke rambutnya sendiri seraya menggolepkannya ke belakang.

Arsya membelalakkan matanya. "Enggak gitu juga kali." Tangan Arsya pun seraya ingin mengetuk pintu lagi tapi pintu terbuk seketika.

"Ya, sebentar," ucap seorang perempuan, dan dia adalah Salsa. Hampir saja Arsya mengetuk keningnya yang mulus.

"Mahasiswa saya bukan?" tanya suaminya, pak Doni yang terlihat turun dari tangga.

Salsa dan Irwan sangat canggung sekali.

Irwan tersenyum simpul pada mantannya itu, Salsa membalasnya pun setengah hati.

Dari wajahnya sudah jelas dia mencurigai kedatangan Irwan yang tiba-tiba begini.

Untuk apa? Salsa bertanya-tanya sampai pertanyaan suaminya pun belum dia jawab.