"Tapi Pak, maaf lagi kalau saya bertanya. Buat ilmu saya ke depan juga, hehe." Irwan tampak ragu tapi dia masih penasaran.
"Apa saat menikah Bapak sudah mencintai adik ipar Bapak sendiri? Dan adik ipar Bapak, apakah dia juga mencintai Bapak?"
Pak Doni tertawa menggelegar.
Kemudian tiba-tiba, Salsa datang menuruni tangga. Ketiganya melirik kedatangan Salsa.
Tapi, sang dosen masih melanjutkan obrolannya. Kedatangan sang istri tidak mempengaruhi dia.
"Ya tentunya tidaklah, masa saya mencintai adik ipar saya sendiri, kan? Tapi seiring berjalannya waktu mengarungi bahtera rumah tangga bersama, perlahan cinta itu muncul. Terasa istri saya, kakaknya dia … seolah menjelma. Rumah tangga itu beda sama pacaran, kalau pacaran ambisinya lebih besar, tapi lepasnya juga lebih mudah. Namun, kalau berumah tangga itu … ambisi berkurang, kita akan senantiasa tulus jika bersama orang yang tepat dan sangat sulit sekali untuk melepas, dan salah satu bonusnya adalah ibadah. Saya dulu juga pernah bertanya apakah istri saya keberatan atau tidak, tapi dia menjawab tidak keberatan hingga akhirnya ya … sampai sekarang, kita serumah dan istri saya sedang mengandung."
Salsa mendekati mereka, wajahnya tampak ragu sekai.
Ada rasa malu berhadapan dengan mantan yang dia putuskan secara sepihak.
"Hamil?" gumam Irwan pelan.
"Wah, selamat Pak. Pasti anaknya kalau laki-laki ganteng, kalau perempuan cantik," ucap Arsya menengahi agar wajah Irwan yang sangat pucat itu bisa teralihkan.
"Ada apa?" tanya sang dosen pada istrinya.
"Ada telepon di atas," balas Salsa.
"Dari?"
"Dari Pak Wildan, katanya penting."
Sang dosen pun menatap kedua pemuda itu dan pamit untuk mengangkat telepon penting itu dan menyuruh Salsa untuk mengajak ngobrol mereka.
Setelah Pak Doni pergi, Salsa duduk. Irwan dan Arsya melihatnya.
Salsa tidak berani menatap mereka dan menggenggam tangannya sendiri.
Irwan pun memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang ingin dia sampaikan pada Salsa.
"Sal, aku akhirnya tahu alasan kamu. Alasan kamu lebih memilih Pak Doni, kan? Hmmm, dia memang orang yang berpendidikkan, kaya, baik, jauh sama aku. Tapi kenapa kamu tidak bilang dan tidak pula mengundang kami ke acara pernikahan kamu? Apa kamu tidak akan menganggap kami teman?" Irwan memandang Salsa lekat, meskiupun sudah tidak berharap lagi padanya tapi … entah mengapa memori dulu seakan menyerbu serempak, perasaan yang sulit didefinisikan.
Walaupun Salsa meninggalkannya sepihak, tapi Irwan masih menyimpan sedikit rasa padanya, meskipun sisanya sekarang hanya untuk Intan yang keberadaannya pun tidak jelas.
Intan kemudian mengangkat wajahnya, keduanya saling menatap dan Arsya hanya diam dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Jadi kambing conge di antara mereka dari dulu sudah biasa baginya, tapi di situasi sekarang rasanya sangat mencekam.
Urusannya bukan hanya dengan mereka berdua saja, tapi dengan dosen yang disegani di kampusnya.
Takut dikira si Irwan datang untuk mengambil Salsa darinya dan Arsya menjadi jalan kembalinya mereka.
"Maaf, Wan. Dulu … aku juga tidak punya pilihan lain. Orang tuaku memaksaku untuk menikah dengan suami kakakku sendiri, karena dia adalah orang yang berjasa untuk keluarga kami. Biaya sekolah, kuliah adik-adikku pun dia yang tanggung. Aku tidak berani mengutarakan sejujurnya padamu, makanya lebih baik aku menghilang dan memutuskanmu begitu saja. Sejujurnya berat, Wan." Salsa menangis.
Perempuan memang sulit mencegah tangisannya tumpah.
"Wan, sudah jangan dibahas. Setidaknya lo sudah tahu, kasihan si Salsa!" Arsya menepuk bahu sahabatnya itu.
Melihat Salsa menangis, Irwan dan Arsya pun sejujurnya tidak kuat.
Irwan tertawa kecil, tawa yang terselubung kesedihan.
"Andai kamu dulu jujur, Sal. Mungkin … semuanya tidak akan terjadi. Asal kamu tahu betapa hancurnya aku saat itu, aku bahkan sampai tidak bisa mencintai perempuan lain selain kamu sampai ada seorang perempuan yang datang dalam hidupku tapi dia justru tidak disetujui ibuku. Tapi ya, semuanya sudah terlambat. Semoga kamu bahagia, Sal." Irwan pun berdiri, menengadahkan wajahnya ke atas agar air matanya tidak jatuh. Ternyata, mengenang kembali masa lalu masihlah perih. "Aku, keluar duluan. Maaf." Irwan pun melangkah pergi.
Salsa tidak mungkin mencegahnya, Arsya yang ingin mencegahnya pun ragu karena pastinya akan menjadi keributan saja di rumah dosennya itu.
Tapi, ternyata Arsya baru sadar kalau dosennya—Pak Doni sedang memperhatikan mereka.
Pak Doni tengah berdiri di tangga dan menatap kepergian Irwan.
Arsya pun langsung berdiri karena kaget.
"Pak, maaf ini …." Arsya sangat takut melihat dosennya itu yang sekarang masih memperhatikan langkah Irwan menuju pintu ke luar.
Salsa pun sama terkejutnya saat dia melihat Arsya berdiri.
Salsa menoleh ke belakang, ke tempat di mana suaminya tengah berdiri.
"Abi …," lirih Salsa juga sama takutnya kalau suaminya nanti akan marah.
"Berhenti, Irwan!" ucapnya begitu lantang terdengar.
Langkah Irwan pun langsung berhenti, dia juga tahu kalau yang memanggilnya adalah Pak Doni.
Tapi, dia tidak takut karena kedatangannya pun sudah telanjur.
Lagipula, tidak ada niatan Irwan untuk kembali lagi pada Salsa.
Dia hanya ingin tahu alasan sebenarnya, walaupun itu sudah berlangsung sangat lama sekali.
Pak Doni pun menuruni tangga yang tinggal beberapa pijakan lagi, seraya Irwan juga membalik badannya.
Salsa dan Arsya yang juga sama-sama tegang, tampak gelisah.
Apalagi Arsya, situasi seperti ini sangat beresiko untuknya.
Dia tidak akan pernah tahu keputusan dari dosennya sendiri, apalagi Pak Doni adalah dosen senior yang sangat disegani di kampus.
Tamat riwayat perkuliahan Arsya gara-gara si Irwan.
Arsya pun menohok pada Salsa, memberinya pertanyaan, 'haru gimana kita?' tapi bukan dengan kalimat, hanya isyarat mata yang membulat besar dan wajah yang nampak cemas, setengah pucat.
Tapi Salsa juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia sendiri bingung.
Salsa sangat menghormati sang suami, dan di saat kondisinya seperti ini dia juga tidak bisa berpikir jernih apalagi memaksa sang suami untuk bersikap sesuai yang dia pinta.
Posisi suaminya sungguhlah lebih tinggi, apalagi status awalnya dia adalah kakak iparnya sendiri.
Salsa masih canggung untuk mencegah apa yang ingin dilakukan suaminya itu.
Apa dia akan marah besar pada Irwan?
Pada Salsa? Atau justru hanya pada Arsya saja karena dia telah berbohong? Entahlah, ketiganya sama-sama tidak tahu.
***
Tuttttt tuutttttttttt tutttttttttttttt ….
Handphone Radit bergetar. Kemudian dilihatnya itu adalah panggilan telepon dari ibunya sendiri.
Radit pun langsung mengangkatnya, terdengar suara Nia sangat pelan.
Radit sudah tahu kalau Nia sengaja menelponnya dengan suara pelan agar tidak ada yang menguping obrolan mereka termasuk Ayah tirinya—Hendrawan.
"Sayang, anak Mama … gimana pekerjaan pertamamu?" tanya Nia, terdengar gembira.
Radit tebak, ibunya sembari bertanya pasti sedang tersenyum lebar.
"Baik Ma," balas Radit, "Radit mau pulang sekarang, sudah ya Ma. Nanti kita bicara di rumah. Dah, Ma." Saat Radit ingin mematikan handphone-nye, suara Nia mengeras.
"Tunggu Radit! Mama belum selesai ngomong. Kamu jangan maen tutup-tutup aja dong."
Radit membelalakkan matanya, dia masih kesal dengan sikap ibunya yang semakin terlihat ambisius.
"Iya, ada apa Ma?" tanya Radit lemas untuk sekadar menjawab ibunya sendiri.
"Di mana kakak tirimu? Arsya? Apa dia pergi ke luar lagi?"
Radit gugup, apa dia harus jujur? Tapi … kalau bohong pun nanti akan beresiko.
Bagaimana kalau ibunya menanyakan Arsya dan ingin mengobrol dengannya?
Apa Radit harus bilang Arsya lembur?
Tapi kalau ternyata Arsya pulang lebih dulu darinya dan dia ditanyai oleh Nia setiba di rumah gimana? Radit kebingungan sendiri.
Karena tak kunjung mendapat jawaban dari anaknya sendiri, Nia pun tertawa. Tawa khas yang menggambarkan kemenangan.
"Kamu tidak perlu menyembunyikan apa pun dari Mama. Mama sudah tahu kalau Arsya pergi ke luar bareng si Irwan, kan?"