Guin, gadis impian setiap pria yang bisa
meluluhkan hati dengan kelembutannya, hanya saja Keluarga Garmond yang mengadopsinya sudah buta hati sehingga berlian yang berharga tidak nampak didepan mata.
"Berkas ini tandatangani. Setelah
kau menikah, kau tidak memiliki hubungan lagi dengan Keluarga ini," ucap Tuan
Garmond sembari melemparkan beberapa lembar dokument kesepakatan.
"Ayah, kau benar-benar memilih
untuk menikahkanku lalu membuangku, dari pada memilih untuk membatalkan dan
memilikiku sebagai Putrimu?"
Guin tahu kalau jawaban dari pertanyaannya akan membuatnya terluka, namun Guin ingin mendengar penuturan Tuan Garmond dengan lantang.
"Kau bukan Putriku. Kau juga tahu
kalau kau tidak akan bisa bahagia hidup di dalam Keluarga ini," jawab Tuan
Garmond.
'Guin, apa yang sedang kau
harapkan? Kau berharap pria yang selalu kau hormati dan kau panggil Ayah
benar-benar menyayangimu? Konyol! Harapanmu menyakiti dirimu sendiri,' batin
Guin menyadarkan dirinya sendiri.
Guin tidak lagi tinggal di rumah Tuan
Garmond. Guin tinggal bersama Eve untuk sementara waktu. Keluarga Eve tengah
berada di Inggris sehingga Guin tidak harus selalu waspada setiap waktu.
Guin telah membaca surat pernyataan
kebebasan lalu menandatanganinya. Guin menyimpan surat itu di tempat yang
paling aman.
Guin yang dilepaskan begitu saja tanpa
diurus keperluan pernikahan sedangkan Keluarga Grissham hanya menghubungi Tuan
Garmond soal itu. Guin yang tidak tahu-menahu kalau hari ini ada prewedding
yang telah disiapkan oleh Tuan Grissham, terkejut ketika sebuah mobil mewah
menjemputnya.
Seorang pria tampan, memakai kacamata,
tinggi dan juga senyumnya yang memikat membuat Guin berdiri kaku dengan
sekantung sampah ditangannya.
"Guin, kenapa kau lama?" teriak
Eve.
"Guin!" panggil Gavin.
"Eve, tunggu sebentar!" jawab
Guin.
Guin yang gugup tidak bergerak dari
tempatnya berdiri. Gavin melihat tangan Guin gemetaran langsung menggenggam
tangan Guin tanpa ragu.
"Guin, Guin takut denganku?"
sesaat Guin langsung tersadar kalau ekspresi dingin yang baru saja dilihatnya
hanya sebuah ilusi.
"Gavin mencariku?" tanya Guin
sembari menarik tangannya.
"Guin. Eh, siapa pria tampan
itu?" Eve tiba-tiba muncul.
"Gavin, ku mohon mengerti aku,"
bisik Guin.
"Eve, kenalkan dia... Emmmm
dia..."
"Calon Suami Guin!"
Guin yang gugup karena takut Eve akan
mengetahui dirinya akan menikah dengan pria yang tidak bisa diandalkan untuk
menjaganya, langsung terkejut melihat ekspresi dan reaksi Gavin yang
mengulurkan tangan lalu menjawab lantang seperti pria normal.
"Saya harus pergi dengan Guin.
Bye!" Gavin menarik Guin begitu saja hingga kantungnya terjatuh.
"Bersenang-senanglah, Guin!
Sampah ini biar aku yang urus!" teriak Eve.
Guin tidak bisa mencegah tindakan Gavin
karena semakin lama Eve bertatapan dengan Gavin, Eve akan bisa menilai
kekurangan Gavin. Apalagi sikap Gavin yang bisa berubah seperti anak-anak tidak
bisa ditebak.
"Gavin!" panggil Guin setelah
mereka sampai di depan mobil mewah.
"Kita akan menikah, Istriku. Guin
tidak benci Gavin?" ucapan Gavin, ekspresi Gavin, semuanya sangat berbeda.
Guin terkadang berharap Gavin adalah pria
normal tapi ketika melihat Gavin yang sering merengek bahkan berbicara juga
tidak berarah, harapan itu pupus. Satu-satunya yang bisa mengobati hati Guin
dari keretakan harapan hanya satu, yaitu menerima Gavin apa adanya tanpa
berharap apapun.
"Gavin mau mengajakku kemana?"
tanya Guin ramah.
"Kata Mommy, Gavin harus ajak
Guin menikah," jawabnya manja.
"Anak pintar. Kalau begitu, ayo
kita pergi," ucap Guin sembari mengusap ujung kepala Gavin.
Gavin membuka pintu mobil untuk Guin lalu menyusulnya masuk. Ke mana pun Gavin pergi, di tangan selalu ada robot kecil
sampai Guin penasaran hadiah itu sebenarnya dari siapa.
"Gavin, robot ini hadiah dari
siapa?"
"Robot? Guin mau?" eksprsinya
yang polos membuat hati Guin terenyuh.
"Tidak. Robot ini milik Gavin,"
tolak Guin.
"Apa yang Gavin punya, akan
menjadi milik Guin. Seperti itu pesan Mommy."
Andai saja suara yang lembut dan ekspresi
yang menggemaskan itu dimiliki oleh anak berumur 5 tahun, mungkin saja akan
menambahkan kelucuannya. Sayangnya, kenyataan tidak sebaik itu.
"Gavin, kalau kita sudah menikah,
kalau kau sembuh, aku harap kau tidak membuangku. Saat ini, hanya kau yang aku
miliki," gumam Guin lirih tapi mungkin saja terdengar oleh Gavin karena posisi
Guin tengah menyandarkan kepalanya ditubuh Gavin.
Perjalanan seakan berlalu begitu cepat.
Baru saja berkedip, ternyata sudah sampai di tempat tujuan. Angin menerpa tubuh
dan hampir membuat Guin membeku.
Jantung Guin berdebar. Lagi-lagi, Guin
menganggap Gavin adalah pria dewasa yang normal karena memiliki pikiran peduli
yang tinggi di mana jas yang dikenakannya, diberikan pada Guin.
"Kau saja yang pakai. Aku tidak
masalah dengan cuaca seperti ini," ucap Guin lembut.
"Guin tidak menyukaiku lagi?"
mata yang memancarkan harapan, membuat Guin bungkam.
"Sudah-sudah. Ayo kita masuk,"
ucap Guin tanpa melanjutkan perdebatan.
Tidak ada siapapun di dalam ruangan itu.
Sepi dan hanya ada Guin dan Gavin di dalamnya. Ruangannya begitu elit dan
terdapat beberapa gaun, juga seperti persiapan lainya.
"Gavin, ini..."
"Guin, kita tunggu Mommy
sebentar," ucap Gavin memohon.
"Kalau begitu, Gavin duduklah!"
pinta Guin.
Setelah 15 menit menunggu, akhirnya
terdengar suara mobil datang beriringan. Guin yang duduk langsung berdiri dan
berniat untuk menyambut tapi Gavin menarik tangan Guin hingga tubuhnya ikut
terseret dan terjatuh di atas Gavin.
"Gavin!" pandangan mata mereka
bertemu seakan saling memancarkan sinarnya.
"Ehemmm... Apa seperti ini sikap
calon menantu Keluarg Grissham?"
Suara yang penuh kedengkian itu, siapa lagi kalau bukan suara Nyonya
Amber. Guin langsung berdiri dan merapikan pakaiannya lalu membantu Gavin untuk
berdiri disisinya.
"Tuan dan Nyonya Grissham, tolong
maafkan kelancangan saya tapi saya bisa jelaskan apa yang terjadi," Guin
membungkukkan tubuhnya sebagai tanda tanda hormat yang tulus.
"Sudahlah, semuanya hanya salah
paham," Tuan Grissham seperti membela Gavin supaya Nyonya Amber dan Aland tidak
lagi menindas Gavin.
Empat wanita asing juga ikut masuk bersama Keluarga besar Grissham. Guin mengerutkan alisnya karena empat wanita itu
berjalan ke arahnya.
"Kami adalah utusan Tuan besar
Grissham untuk menghias Nyonya muda," ucap salah satu di antara mereka.
"Ap—apa? Meng—menghias? Untuk
apa?" pekik Guin terkejut.
"Prewedding!" jawab Nyonya
Calista.
Nyonya Calista sebenarnya sangat ramah
tapi bersikap sangat hati-hati karena belum mengenal Guin dan juga belum
mengetahui rencana Guin yang sebenarnya sampai-sampai rela menikah dengan pria
tidak normal seperti Gavin.
"Ap—apa Guin tidak mau lagi
denganku?" tanya Gavin sedih.
"Tentu saja! Siapa yang mau
menikah dengan pria cacat sepertimu?" seru Aland.
"Sudahlah. Lebih baik batalkan
dari pada membuat malu. Apalagi pernikahan dirayakan sangat meriah," sahut
Nyonya Amber.
Guin mengepalkan tangannya. Telinganya
terasa panas, ucapan yang baru saja didengar sangat membuatnya muak.
"Mohon Tuan muda dan Nyonya kedua
untuk memperhatikan lagi sopan santun. Di sini adalah pernikahanku dengan
Gavin. Kalian tidak memiliki hak untuk berbicara mengenai itu," balas Guin.
"Kau..."
"Jangan memarahi Guinku!" bahkan
ketika Gavin sedang marah karena Nyonya Amber hampir memakinya, amarahnya hanya
seperti anak TK yang berebut makanan.
"Gavin, aku tidak apa-apa. Jangan
khawatirkan aku," ucap Guin menenagkan Gavin.
"Hanya anak cacat saja begitu kau
perhatikan," sahut Aland.
"Lebih baik cacat mental dari
pada cacat perasaan!"