Present Day
Daun - daun mulai mengering, menguning, kemudian jatuh melayang tersapu angin Oktober, di pagi nan kering.
Hujan telah hampir sepuluh purnama tak kunjung menyiram, desir angin basah dari kaki bukit pun seolah hanya penyejuk, bukan pengobat dahaga kehausan alam yang mulai meranggas terbakar matahari.
***
Pukul 09:30
Kendra bangun siang, atau lebih tepatnya ke-siang-an, semalam dia pulang saat langit di ufuk timur berubah warna menjadi jingga, galau yang ia rasakan tadi malam harus membuatnya terdampar hingga ke pantai Sanur sana.
Tapi untungnya ini hari minggu, hingga dia tak perlu repot - repot tergagap bangun, untuk kemuDian menyambar handuk atau pun meloncat sesegera mungkin dan tergopoh ke kamar mandi.
Tapi untuk hitungan hari libur, fenomena ini tentu saja aneh, terlalu pagi bagi Kendra untuk terbangun seharusnya, biasanya di pukul sepuluh lebih dia baru terbangun dari tidurnya, apalagi Kendra baru merebahkan tubuhnya ketika jarum pendek menunjuk di angka enam tadi.
Belum lagi butuh waktu yang cukup lama untuknya agar bisa terlelap, jadi seharusnya, saat ini dia sedang nyenyak - nyenyak nya tertidur, tapi suara - suara Maya seolah terngiang terus di kepalanya, membuat kwalitas tidurnya terganggu.
Tak segera bangun Kendra lebih memilih untuk sedikit berlama bermalasan di atas kasur merilekskan persendiannya, seperti habis minum kopi expresso ber-cangkir - cangkir saja rasanya, matanya sudah menolak untuk ia pejamkan lagi.
Menggeliat panjang adalah ritual lumrah selepas baru bangun dari tidur pada pagi hari. Merasakan sensasi persendian di seluruh tubuh yang melonggar nyaman.
Matanya yang bening segera berkaca ter genang oleh air mata, setelah mulutnya menguap lebar kemudian mengejap sebentar. Tatapan nya kosong mengarah ke langit - langit kamar, senada dengan pikirannya yang juga kosong, hatinya hampa, ada sesuatu yang hilang dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia merasakan sepi.
Sesuatu yang indah, yang sebelumnya telah menjadi rutinitas keseharian nya tiba-tiba saja tercabut begitu saja.
Semalam pikirannya begitu tegar, dan berharap hari ini semuanya bisa ia lupakan, atau mungkin kejadian tak terduga yang bisa saja menghapus lukanya, dia membatalkan keputusannya! Tapi Imposible.
Rasa sakit itu masih menusuk hatinya. Bahkan rasanya lebih sakit dibandingkan semalam.
Inikah rasanya patah hati ?
Karena ketika menolak Ditha tak begini rasanya. Atau begini kah yang dirasakan Ditha?
10:00 tepat.
Suara motor terdengar masuk ke halaman parkir, samar terdengar suara obrolan yang menggugah rasa penasaran Kendra yang masih ber-malas-an di atas kasur, menikmati tayangan kartun di televisi.
Setelah hanya mencuci muka tadi, meski masih terasa berat, tapi pikirannya agak sedikit lebih segar, walaupun rasa sesak yang menggumpal di dalam dada tak mampu dia usir sempurna, dan jelas tak akan sesederhana itu mengusirnya, dengan hanya mencuci muka? Puff!.
Kendra melangkah keluar kamar, dari teras kamarnya yang merupakan balkon dan juga koridor lantai dua di mana kamarnya berada, Kendra melongok ke bawah.
Dilihatnya Niko dan Beni diparkiran sedang sibuk memarkir kan motornya.
Mereka berdua adalah teman satu perusahaan namun beda manajemen dan divisi, kalau Kendra di divisi grafis, Niko dan Beni masuk manajemen garmen dan berada di divisi produksi. Selain teman se-perusaha-an, dulu sebelum pindah kemari, mereka juga teman satu kos dengan Kendra. Tragedi Gisha lah yang membuat Kendra harus menjauh dari mereka.
***
Setahun sebelumnya
"Bro mending lu jangan pulang dulu deh, ada Gisha disini," bunyi pesan Niko
Kala itu Kendra memang belum pulang dari kantor, karena memang sedang meeting.
Niko yang telah pulang terlebih dahulu, melihat sosok Gisha, gadis berkulit langsat, dengan rambut di bawah bahu yang kadang terikat longgar dengan beberapa helai rambut berwarna keemasan di dekat kedua telinganya yang selalu dibiarkannya terurai, wajahnya lumayan apalagi ketika di poles dengan dandanan yang sedikit menor, tampilan nya akan berubah layaknya seorang artis yang akan sedang tampil di panggung. Wajahnya sekilas mirip dengan Anya Geraldien.
Terlihat duduk di jok motornya di depan kamar Kendra, wajahnya terlihat kusut, matanya fokus menatap layar gadget yang sedang di mainkannya.
Gisha bekerja sebagai SPG di sebuah toko handphone yang lumayan besar di bilangan jalan Teuku Umar, itu yang mungkin menjadi salah satu sebab kenapa dia terlihat selalu berdandan sedikit menor.
Awal perkenalannya dengan Kendra memang di bilang tak sengaja. Kendra bertemu dengannya ketika Gisha sedang bekerja, waktu itu Kendra hendak mengganti ponselnya yang sudah dirasakan nya sangat lambat dan sering error.
***
14:30
Dan ketika berjalan berkeliling melihat berbagai merek ponsel yang terpajang di display, seorang SPG dengan tampilan seolah artis menghampirinya. Sekilas Kendra membaca name tag yang tergantung di dada menonjol nya, ukurannya memang sedikit ya ... ekstra, ah sial, pikirannya langsung mengembara menyeberangi lembah menaiki bukit.
Gisha, nama yang cantik seperti orangnya gumam Kendra dalam hati
"Ada yang bisa di bantu kakak?" Tanyanya sambil tersenyum ramah. Kendra yang sebetulnya masih belum menemukan merek dan tipe ponsel yang cocok membalas senyuman nya.
"Masih mau melihat - lihat dulu, belum ada yang cocok," jawab Kendra ramah.
"Kalau boleh tahu mau 'spek' yang seperti apa ya kak, barangkali saya bisa memberi solusi," masih dengan ucapan yang ramah matanya menatap Kendra dengan tatapan menggoda, entah itu SOP mereka atau efek saat melihat wajah cowok yang sedang dilayaninya itu good looking.
Kendra menjelaskan spek ponselnya yang lama, dan berharap kalau bisa spek nya di atas lebih tinggi dari kepunyaannya. Sambil menyerahkan ponsel lamanya ke sang SPG bernama Gisha untuk diteliti.
"Kendra ... cakep seperti orangnya." Goda Gisha, ketika membuka kunci password ponselnya yang ternyata kombinasi angka dan huruf yang membentuk kata namanya.
Kendra hanya tersenyum kecut. Sesaat Kendra diajak ke salah satu booth ponsel merek dari China
"Ini tipe keluaran terbaru... ," dia menjelaskan panjang lebar, sambil menyerahkan boks yang masih ter-segel, Kendra hanya membolak - balikkan boks nya mengamati gambar ponsel yang ter cetak di sana, sambil mendengarkan penjelasan Gisha.
"Kalau yang se merek dengan kepunyaanku ada ngga?" Tanya Kendra, sepertinya dia kurang sreg dengan merek yang ditawarkan, Gisha tersenyum, kemudian mengajak Kendra untuk pindah booth setelah meletakkan boks ponsel yang di serahkan Kendra.
Ponsel asal korea, yang selama ini Kendra sudah nyaman menggunakannya. Meski teman - teman di kantornya rata- rata berlomba memiliki ponsel ber logo buah ter gigit, tapi entah Kendra tak pernah sedikit pun tergoda untuk ikut- ikutan trend mereka.
"Ini yang terbaru kakak." Gisha kembali menyodorkan sebuah boks yang dia ambil dari lemari kaca," silakan kak?" Gisha mempersilakan Kendra untuk sambil duduk, karena dilihatnya Kendra sedikit tertarik dengan ponsel yang sekarang.
Kendra duduk di sebuah sofa tak jauh dari booth tempat Gisha mengambil ponsel asal Korea, sambil mengamati boks di hadapannya, Gisha duduk berjarak tak jauh darinya.
"Kalau boleh tahu tinggalnya di mana kakak?" Tanya Gisha berusaha akrab, saat melihat Kendra masih membolak- balik boks ponselnya.
"Deket, di jalan pulau Kawe," jawab Kendra matanya masih membaca spesifikasi yang ter cetak di boks nya, sepertinya dia tertarik.
"Wah sama dong kakak, Kawe berapa?" Wajah Gisha terlihat berbinar.
"Seratus limabelas, panggil saja Kendra." Kendra mengulurkan tangannya, dipanggil 'kakak' lama- lama membuatnya tak nyaman. Gisha tersenyum ramah, ada lesung pipi ternyata di salah satu pipinya. Membalas uluran tangan Kendra seraya menyebutkan namanya.