webnovel

Interaksi Mata Dua Lelaki

Luna kaget karena sentuhan yang diberikan oleh Tiwi di pundaknya. kepalanya terbentur kemeja karena rasa kaget tersebut, kepala bagian depannya dihukum dengan raut wajah kesakitan dan senyuman dia tunjukkan kepada semua orang untuk menutupi keanehan yang baru saja dia lihat.

"Makanya hati-hati. Mengambil sendok saja selama itu."

"Aku hanya bingung Ma. Kenapa sendok ini bisa terjatuh."

"Karena kamu menjatuhkannya. "

Luna tersenyum, dia sengaja mengalihkan topik pembicaraan agar dia bisa melupakan hal aneh tersebut yang dia lihat. Dia mencoba untuk melupakannya dan menganggap hal itu hanya salah lihat atau kebetulan.

Mereka kembali melanjutkan memakan makanan mereka. Setelah makan malam selesai Luna bersama Yona juga Chan duduk di ruang tamu mengerjakan tugas dengan Saka dan Arya berbicara di teras. Tiwi datang membawakan beberapa minuman juga camilan yang menemani mereka saat belajar.

"Sudah lama mengajar di Sekolah Permata?"

"Belum. Aku bekerja baru sekitar 3 tahun terakhir."

"Ouh... jadi, selama ini tinggal berdua bersama Yona."

"Iya, Om."

Saka dan Arya berbicara sambil bermain catur di teras tersebut. Tiwi datang membawa dua gelas kopi untuk mereka. Tiwi juga duduk bersama mereka di tangga teras mendengarkan pembicaraan kedua pria tersebut ikut terjun dalam tapi pembicaraan mereka mengenai Saka dan keluarganya juga Luna yang belajar di sekolah tempat Saka belajar.

"Menurut Pak Saka bagaimana sikap Luna di sekolah. meskipun dia bukan siswi yang pintar di sekolahnya tetapi dia termasuk 5 besar dan cukup pintar. Hanya saja, kamu bisa melihat dia itu anaknya introvert lebih menyukai dan menghabiskan waktu sendiri di kamarnya."

Tiwi berbicara tentang putrinya kepada Saka.

"Baik."

Saka berbohong, padahal dia tahu betul bahwa Luna akhir-akhir ini sering bolos karena tiba-tiba menghilang di tengah pelajaran. Dia terpaksa memohon kepada wali kelas lunak untuk tidak memanggil kedua orang tuanya karena dia tahu bahwa Luna tidak ingin Pertiwi dan Arya mengetahui tentang kebolosan yang dia lakukan.

"Syukur kalau begitu. Dia memang anak yang bisa kamu banggakan dan tidak pernah mengecewakan kami sejak dulu. Meskipun dia tidak memiliki rasa percaya diri yang kuat, tetapi dia sangat bisa diandalkan dan membanggakan bagi kami."

Chan sesekali melirik mereka dari pintu yang terbuka lebar, Saka juga menyadari curi-curi pandang yang diberikan oleh Saka. Mata mereka kembali terkoneksi dan itu dirasakan oleh Luna.

"Mereka kenapa lagi."

Luna berbicara dalam hatinya. Dia membetulkan posisi duduk tegap ketika melihat Chan berdiri masuk ke dalam kamarnya, dia mengikuti Chan dan mengintip aksi pemuda itu menggeleda lemarinya hingga pakaian berhamburan ke lantai.

"Pak Saka memakai pakaian Kak Chan. Jangan-jangan Kak Chan kehilangan sesuatu dan itu yang membuat dia menatap Pak Saka. Namun, tidak mungkin dia menyadari bendanya hilang karena Kak Chan dan Pak Saka menatap seperti itu sejak tadi."

Chan menoleh ke belakang ketika dia merasakan seseorang mengintip, Luna bersembunyi dan berlari kecil menghampiri Yona dengan bertingkah seolah dia dari tadi hanya di posisi awalanya. Chan menatap Luna dari pintu kamarnya, dia tersenyum ringan saat melihat gadis itu tersenyum kepadanya.

"Selesai. Luna, aku sudah menyelesaikannya. Sekarang pukul sepukuh malam, waktunya kami pulang."

Yona menggendong tas setelah memasukkan beberapa alat tulis dan buku ke dalam teks tersebut yang berwarna pink. Yona dan Luna keluar menghampiri Saka.

"Kak, kita pulang sekarang."

"Iya. Om, Tante kami pulang dulu."

Saka dan Luna menyalami mereka berdua serta berpamitan kepada Luna. Mobil yang dikemudikan oleh Saka keluar dari halaman rumah.

"Chan mana?"

Tiwi bertanya dengan mata yang dicelingukan mencari sosok Chan dari pintu rumah.

"Kamar. Tadi aku melihat dia ke kamar. "

Luna lanjut masuk ke dalam rumah, dia merapikan buku-bukunya yang ada di ruang tamu lalu membawanya ke kamar. Arya dan Tiwi memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh.

"Mereka kenapa."

"Papa juga tidak tahu."

"Hem... Mama mau makan seblak deh malam-malam gini. Papa, ini bawaan hamil deh, Mama ngidam pengen makan seblak malam ini."

"Kalau begitu ayo papa bawa mama ke penjual seblak yang ada di perempatan jalan."

"Jalan kaki?"

"Iya. Sudah lama juga kita tidak jalan kaki berdua setelah menikah."

Tiwi dan Arya saling menggenggam satu sama lain berjalan beriringan keluar dari gerbang rumah.

Di kamar Luna sedang duduk di bangku belajar dengan pikiran yang dipenuhi oleh tatapan Saka dan juga Chan. Yang membuat dia tak habis pikir adalah cahaya yang keluar dari kantong celana Saka.

"Aku sangat penasaran. Apa aku tanya langsung kepada Kak Chan."

Luna bangun dari tempat duduk, dia memutar daun pintu. Dia kaget ketika melihat Chan sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Luna hampir terjatuh karena rasa kaget tersebut.

"Kakak...."

Chan melangkahkan kaki ingin memasuki kamar Luna dengan wajah yang membuat Gadis itu sedikit takut, dia merasa aneh dan ketakutan melihat raut wajah Chan.

"Stop. Aku mau tidur."

Luna menutup pintu kamar, dia menghembuskan nafas lalu maka akan kaki kembali duduk di bangku belajarnya. Kembali dia kaget ketika melihat sosok Chan berada diluar rumah berdiri di depan jendela dengan mengetuk kaca jendela.

"Kakak mau apa?"

"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Baiklah. Segera masuk lewat pintu kamar dan jangan membuat aku takut."

Luna kembali kaget, kali ini rasa kagetnya membuat kaki dia melangkah mundur dan terkilir membuat dia terjatuh. Namun, Chan menangkap Gadis itu dengan tangannya yang melingkari pinggang Luna dan gadis itu melingkari lehernya.

"Ketiga kalinya Kakak membuat aku kaget. Bagaimana bisa kakak beralih secepat itu dari luar ke pintu kamar. Jangan-jangan... hantu. Ini bukan Kak Chan."

"Ini aku."

Lampu mati, Luna ketakutan karena dia merasa ada hawa dingin membuat bulu kuduknya merinding. Tangan gadis itu melingkar erat di leher Chan, dia ketakutan dan memjamkan mata memeluk Chan.

"Kak... ini benar kakak, Kan?"

"Iya. Jangan begini terus. Pinggangku sakit."

"Tidak, aku takut."

Luna memanjat pemuda itu, dia mengalir pinggang Chan dengan memeluknya erat. Chan merasa sesak, dia merasa aneh karena jantungnya berdetak dengan kencang. Rasa panas membawa membuat dia berkeringat, eratnya pelukan yang diberikan Luna membuat dia tidak bisa bernafas.

Kaki Chan melemah, dia mendarat duduk di tepi kasur. Dia membaringkan Luna, tetapi gadis itu masih tidak mau melepaskan pelukannya.

"Luna. Sekarang tolong lepaskan pelukanmu karena itu membuat aku tak bisa bernafas. Luna... Luna...."

Chan melemah, dia tak sadarkan diri dengan kepala berada di tulang selangkah kiri Luna. Gadis itu mencoba untuk membangunkan dengan tepisan tangan yang dia daratkan di pipi Chan.

Lampu hidup, dia melihat jelas wajah pemuda itu dekat dengan wajahnya. Kedua bola matanya tidak bisa berkedip, dia merasa deg-degan.