"I think I'll never see you again."
Dengan lembut Farani menyentuh pipi Kia. "Stop thingking like that, its hurts me."
Sekali lagi Kia memeluk. Tak ada yang bisa menggambarkan bagaimana perasaannya, dan juga betapa bahagianya dia bisa bertemu dengan Farani lagi.
Masih jelas diingatannya, saat Mama yang sangat disayanginya pergi untuk selama-lamanya, dia hanya bisa menangis. Lalu keputusan Papanya untuk pindah ke Jakarta. Beberapa hal terjadi begitu saja, tanpa ada yang bisa memberinya pengertian ataupun penjelasan.
"Waktu Mama meninggal, aku berharap kamu ada disampingku, meluk aku." Setitik air mata menetes dari mata Kia. Mata yang indah itu meredup.
"Aku juga merasa kehilangan. Apalagi aku nggak punya kontak kamu, jadi mau hubungi juga bingung."
"Sini, kita tukeran nomor hp. Nanti saat kita jauhan, kita bisa saling telepon atau berkirim pesan." Kia lalu mengeluarkan hpnya, segera mengetikkan beberapa nomor yang diaebutkan Farani, lalu menyimpannya.
"Jadi kamu sekolah disini? Apa teman-teman kamu masih ada yang membicarakan soal pacar kakak?" banyak hal yang ingin Farani obrolkan dengan Kia. Bahkan dia bingung harus memulai obrolan dari mana.
"Kami belum kenal akrab., tapi ada temen sebangku yang tanya soal pacar kakak pas dia liat kakak jemput."
"Trus kamu jawab apa?"
"He already has a girlfriend." senyuman terkembang di wajah Kia.
Mendengar jawaban Kia, Farani kaget. Namun kekagetan itu tak berlangsung lama. "Itu berita bagus dong kalo kakak kamu udah punya pacar."
Akhirnya Sita kembali, dia berjalan ke arah Farani dan Kia bersama seorang anak lain. Farani mengenalinya sebagai adik Sita yang lain. Mikha. Dari empat bersaudara, hanya Kia putri satu-satunya.
"Kita mampir makan dulu ya, aku udah laper nih." Mikha langsung to the point.
Semua setuju dengan ide Mikha, lalu mereka berempat berjalan menuju parkiran. Restoran Jepang cepat saji menjadi pilihan mereka. Selain cepat, menunya juga banyak pilihan. Sejak bertemu Kia selalu menempel ke Farani, bahkan Farani mengambil sumpit pun Kia mengikuti.
"Ki, duduk. Nggak sopan kamu ngikuti orang kek gitu." dengan gayanya yang khas, Sita memberi peringatan ke Kia. Dengan tertunduk, Kia berjalan kembali ke kursinya.
Mikha yang sudah kelaparan tak memperdulikan apa yang terjadi. Bahkan dia mengambil jatah makan siang kakaknya. Melihat adiknya sangat kelaparan, Sita lalu memesankan satu paket makan siang yang sama seperti menu makan siang Mikha. Untuk berjaga-jaga kalau Mikha masih lapar.
Tampaknya teguran Sita menyakiti hati Kia. Terlihat wajah Kia menjadi lesu dan tidak napsu makan. Dari dulu Kia mendambakan seorang kakak perempuan. Menjadi satu-satunya anak perempuan membuat dia merasa kesepian. Apalagi sejak kedua orang tuanya berpisah dan harus hidup berjauhan dengan sang Mama, Kia seperti kehilangan sosok panutan dalam hidup.
"Kia kenapa nggak dimakan? Mau ganti menu lainnya?" Farani yang menyadari perubahan sikap pada Kia segera mnegalihkan perhatian Kia. Dengan perlahan Kia menggelengkan kepalanya.
"I'm full."
"Tapi ini bahkan belum separo habisnya. Kamu merasa nggak enak badan?" sekali lagi Kia menggelengkan kepala untuk menjawab pertanyaan Farani.
"It's okay, let's wash your hand." lalu mereka berdua menghilang dibalik pintu toilet.
Perubahan sikap Kia yang drastis membuat Farani sedikit khawatir. Setelah selesai mencuci tangannya, Farani memegang pundak Kia, "what's going on?"
Kia langsung meneteskan air mata, menangis hingga tersedu-sedu. Hal itu membuat Farani panik. 'Duh anak orang gue buat nangis. Ntar gimana pertanggungjawabannya ke kakaknya coba?'
Karena tidak tahu harus berbuat apa, Farani langsung memeluk Kia. Apalagi beberapa pengunjung yang masuk ke toilet memperhatikan apa yang mereka lakukan. Beberapa menit kemudian tangisan Kia berhenti, tapi Kia belum mau melepaskan pelukan Farani.
Menyadari ada sesuatu yang salah, Sita segera mengirim pesan ke Farani. Ini sudah terlalu lama untuk alasan sekedar mencuci tangan. Melihat pesan dari Sita, Farani langsung mengajak Kia untuk keluar.
"Nanti Kia bisa cerita kalo ada yang mengganjal di hati. Sekarang kita balik, kakak kamu udah kelar makan siang."
*
Rumah Mama Sita.
Pukul 17.00 WIB.
Begitu sampai di rumah, Kia langsung masuk ke kamarnya. Di ruang keluarga, Yoga sudah menanti kepulangan anggota keluarga yang lainnya. Juga makanan yang tadi dipesan sebelum mereka pulang. Untungnya chat Yoga terbaca, kalau tidak dia hanya akan makan malam dengan mie instan.
Lulu juga mengirim pesan ke HP Farani, menanyakan keberadaannya karena Farani tidak punya saudara di Jakarta ini. Masih berusaha merahasiakan keberadaannya, Farani hanya menjawab bahwa dia pergi bersama kenalannya. Karena Om Juna melaporkan bahwa Farani pergi bersama seorang laki-laki, Lulu menjadi lebih khawatir.
"Gue dalam keadaan aman Lu, nggak usah khawatir. Ntar mantra cantik gue ilang sebelum jam 12, jadi gue bakal balik sebelum jam 12. Oke?" jelas Farani, mencoba menenangkan sahabatnya itu.
"Masalahnya lo pergi sama gue. Kalo ada apa-apa, gue yang bakal kena nantinya."
"Santai bos, gue bisa jaga diri. Udah ya, gue sibuk." sesaat sebelum Farani menekan tombol off di HPnya, teriakan Lulu menahannya.
"Lo pacaran ya?" tut. Tut. Tut. Tut.
"Siapa?" Sita bertanya sambil membereskan barang bawaan mereka.
"Lulu. Takut gue kenapa-kenapa." jawab Farani. "Gue ke kamar Kia."
Sita mengangguk sambil menunjukkan kamar Kia kepada Farani.
Tok. Tok. Tok.
"Kia, kakak masuk ya."
Di dalam kamar, Kia sedang mengerjakan beberapa tugas sekolah. Saking sibuknya bahkan Kia belum mengganti seragam sekolahnya. Melihat Kia yang rajin belajar membuat Farani sedikit iri. Andai saja dirinya mempunyai kemauan untuk belajarlebih rajin, tentu paling tidak rangking di kelas tidak akan sebegitu buruk.
"Ki, ganti baju dulu gih, abis itu baru lanjut belajarnya." sambil mendekati Kia, Farani memperhatikan kamar Kia. Kamar yang bernuansa pink ini begitu girly. Berbeda dengan kamarnya yang amburadul.
Mendapati Kia yang tetap diam saja di meja belajarnya, Farani berjalan lebih dekat. Didapatinya Kia sedang menangis. Kaget, Farani lalu mendekati Kia dan bertanya, "Ada apa? Apa ada yang salah?"
Kia menggelengkan kepalanya.
"Kalo gitu kenapa?"
Sambil menyeka air matanya, Kia mendongak dan berbisik, "apa aku ganggui kakak?"
Sedikit bingung dengan pertanyaan Kia, Farani segera menggelengkan kepalanya. "Nggak. Kenapa Kia nanya kek gitu?"
"Tadi Kak Sita bilang kalo aku gangguin kakak." jawab Kia sambil terus menangis.
'Jadi itu masalahnya.' batin Farani. "Kia nggak usah nangis lagi. Kakak nggak ngerasa Kia ganggu Kakak. Apa alasan Kia ngikutin kakak terus?"
"I miss you so much. Aku nggak mau pindah kesini, kalo aku pindah kesini nanti aku nggak bisa ketemu sama kakak. Aku sayang sama kakak. Bahkan aku pengen kakak jadi pacarnya kak Sita biar bisa terus main ke rumah."
Farani menjadi terharu. Rasanya seperti mendapat pernyataan cinta dari orang yang benar-benar sayang kepada dirinya. Tetiba matanya menjadi merah, air mata mengambang di pelupuk matanya hampir jatuh.
'Apa yang udah gue lakuin sampai Kia bener-bener sayang sama gue? Padahal kita baru ketemu waktu itu. Kalo kaya gini, gimana gue bisa move on dari Sita yang udah punya pacar?'