webnovel

Aku Mendengarkan 2

'Jangan memungut hewan liar!'

Kata-kata Liu terngiang-ngiang di telinga Ellen, membuat wanita itu menggaruk rambutnya yang baru saja ia semprotkan parfum.

"Untuk apa memberi peringatan seperti itu?" Ellen menyisir rambutnya lagi, hari ini adalah hari minggu dan ia bebas dari kegiatan kampus dan klinik.

"Bukannya para Ksatria hanya tersisa para Naga?"

Ellen tidak mengerti tapi karena ia merasa hal seperti itu tidak terlalu penting, ia memilih mengabaikan saja.

"Nah, karena hari ini aku libur … aku mau mengajak Liu jalan-jalan!" Ellen berseru seorang diri di kamarnya, ia selesai berdandan dan siap keluar kamar.

BRAK!

Wanita itu dengan semangat menghempaskan pintu, dengan pipi yang merona merah ia mengetuk pintu kamar yang ada di seberangnya.

"Li …."

"Liu sudah pergi dua jam yang lalu," potong Istvan yang baru saja turun dari tangga, ia memegang botol dot yang baru saja diseduh susu. "Kau kesiangan."

"Tapi ini ... baru jam sembilan …."

Istvan menunjuk jam dinding yang ada di atas lemari, mata wanita berambut pendek itu langsung membulat.

"Ini sudah jam dua belas, aku hampir berpikir kau mati karena tidak keluar tadi."

"Mustahil!" Ellen langsung mengambil ponselnya dan menyadari kalau pengaturan waktu di sana salah, ia menghela napas panjang. "Kenapa hal-hal bodoh selalu terjadi padaku?"

Istvan tidak berkomentar, ia akan naik lagi ke atas sebelum Ellen mencegatnya.

"Kemana Liu pergi?"

"Mungkin pergi ke kebun herbal. Aku tidak bertanya, kau cari saja sendiri."

Suara tangisan bayi terdengar di lantai atas dan Istvan langsung naik memanggil nama bayinya.

"Hah, menjadi Ibu rumah tangga ternyata sibuk."

Ellen mengerucutkan bibirnya, ia menepuk-nepuk pipinya, tidak apa-apa kalau ia bangun terlambat, yang penting sekarang ia harus mencari Liu di kebun.

Kebun herbal ada di halaman belakang rumah Istvan, sedikit jauh kalau harus berjalan dan biasanya setiap pagi Liu akan ke sini setelah mengunjungi rumah kaca yang ada di atap.

Kebun itu dipenuhi dengan tanaman obat, Ellen tidak tahu apa saja namanya dan mereka tumbuh subur. Biasanya Liu akan mengambil tanamannya di gunung lalu ditanam kembali di sini, ada bunga-bunga berwarna yang aneh dan tanaman dengan rimpang raksasa tumbuh dengan rapi di setiap petak.

"Aku merasa seperti istri bos berjalan di sini," gumam Ellen sambil terkekeh, tanah yang ia pijak terasa lembab di tengah teriknya sinar matahari, Liu pasti menyiram semuanya dengan rajin.

Laki-laki yang sedang membersihkan rimpang di sungai mendongak, ia melihat Ellen yang melompat-lompat menghindari lumpur, wanita itu jelas memakai pakaian kasual, bukan pakaian santai rumahan.

"Kenapa kemari?"

"Aku ingin melihatmu," sahut Ellen sambil mendekat, hampir saja ia terpeleset kalau ia tidak berpegangan pada pagar bambu di samping. "Apa yang kau lakukan?"

"Hari ini adalah hari minggu." Liu memasukkan rimpang yang sudah bersih dari tanah ke dalam wadah dan berdiri. "Aku harus memanen semua ini agar pasokan di klinik tidak kosong, kau tidak sibuk sekarang? Bantu aku, keringkan ini di sana dan bawa yang baru dicabut kemari."

Ellen menatap tiang-tiang bambu yang berjejer di sudut lain kebun, di sisi-sisi lain ada tanaman yang digantung dan dijemur hingga kering.

Di sisi lain Ellen juga melihat ada banyak tanaman yang dicabut menumpuk, penuh lumpur dan tanah, harus dibersihkan sesegera mungkin.

Ellen melihat pakaian dan sepatunya, ia harus melakukan semua ini?

"Apa kau tidak mau membantu? Kenapa tidak bergerak?" Liu sepertinya membaca pikiran Ellen, ia menggelengkan kepalanya dengan pelan.

"Sebentar, aku melepas sepatuku dulu." Ellen melambaikan tangannya, ia berjalan ke pondok dan melepas sepatunya, mengambil sandal karet yang biasanya Liu sediakan. "Aku akan menaruh tasku dan yang lainnya di sini."

Liu melirik Ellen yang terlihat sangat repot melepas berbagai barang di tubuhnya, ia kembali merendam rimpang yang masih berlumpur ke sungai dan mulai membersihkannya.

Kegiatan seperti ini sebenarnya bukan hal yang harus mereka lakukan setiap hari, ada beberapa pelayan yang secara khusus merawat dan memanen tanaman, tapi kalau sedang kosong dan tidak melakukan apa-apa, Liu lebih memilih melakukan semuanya sendiri.

Ellen mengambil rimpang yang sudah dicuci dan menjemurnya di atas kayu, ia tahu kalau sudah terjebak di sini, ia tidak akan bisa menyeret Liu keluar untuk jalan-jalan.

Ia harus berpikir, benar, apa yang bisa mengeluarkan dia dari sini?

Apa dia pura-pura sakit perut saja?

Ellen berjongkok di tempat yang tidak dilihat Liu, tangannya berpura-pura sibuk menjemur rimpang di atas.

"Kalau aku sakit perut, Liu pasti akan menyuruhku mengunyah daun, itu tidak bisa, sangat pahit." Ellen mengerutkan kening, tangannya begerak mengusap dahinya sendiri. "Apa ya? Apa aku pura-pura terkilir saja?"

Melarikan diri dari kebun ini mudah, tapi masalahnya adalah, ia ingin Liu pergi bersamanya.

Ia ingin bersenang-senang, jalan-jalan, makan atau pergi ke bioskop.

Yah, pokoknya melakuan sesuatu yang menyenangkan untuk anak muda di zaman sekarang, bukannya terjebak di antara kebun jahe dan lumpur.

Ellen menarik napas, ponselnya berbunyi dan ia buru-buru menaruh rimpang ke atas bambu, memeriksa ponselnya.

Matanya menjadi suram ketika melihat nama Elmer di sana, kenapa laki-laki ini selalu mengiriminya pesan?

"Padahal aku tidak pernah membalas pesannya, tapi ia selalu mengirim pesan. Apa aku blokir saja, ya?" Ellen membuka kontak Elmer, foto laki-laki itu langsung terpampang di layar. "Aduh, kenapa orang ini sok ganteng?"

Ellen mencibir, ia sibuk dengan ponselnya sampai-sampai tidak tahu kalau Liu bergerak mendekatinnya, laki-laki itu bersedekap dan melihat ponsel Ellen.

"Jadi ternyata ini kerjaanmu dari tadi?"

Ellen langsung melempar ponselnya, ia menoleh dan mendapati Liu tersenyum di belakangnya.

Senyum itu bukan senyuman pertanda baik, sepertinya Liu dalam suasana hati yang buruk.

"Tunggu … ini … aku bisa jelaskan," kata Ellen dengan terbata-bata, ia menelan ludah. "Aku … ini … dia … mengirim pesan …."

"Bukankah sudah kubilang jauhi manusia itu?" Liu menunjuk ponsel Ellen yang kini tergeletak di atas rimpang jahe yang masih menumpuk di wadah, laki-laki itu menyipitkan matanya. "Apa-apaan tadi? Kau sedang mengagumi wajahnya? Terlihat tampan?"

"Tidak!" Ellen langsung berteriak, wajahnya merah padam. "Ketampanan siapa yang harus aku kagumi ... kalau di depanku saja sudah ada yang lebih tampan daripada Elmer!"

"Siapa itu?"

"Itu kau, bodoh!" Ellen berteriak lagi, telinganya sekarang sudah merah dan terasa panas.

Liu diam, lalu tersenyum miring, ia menunjuk ponsel Ellen lagi yang masih tergeletak di atas rimoang jahe.

"Kau tidak ingin mengatakan apa-apa? Setidaknya katakan terima kasih atau apalah!" Ellen mendengkus, ia berkacak pinggang.

"Yah, tidak buruk." Liu akhirnya mengambil ponsel Ellen dan melemparkannya pada wanita itu, ia tersenyum lagi. "Setidaknya kau masih memiliki mata yang bagus untuk melihat."