webnovel

Be Here For You

Devan yang seorang gay harus terusir dari keluarga karena itu. Bertahun- tahun memendam jati diri, pria remaja itu malah dikhianati oleh sang kekasih. Ketika remaja itu hampir putus asa karena pengkhianatan yang juga melibatkan anggota keluarga terdekat, secara tiba- tiba ia dipertemukan dengan pria bertatto yang nampak menyeramkan dengan gaya pakaian dan botol alkohol di tangannya. Devan tak pernah menyangka, hidup barunya yang secara penuh ditanggung pria bernama Mike itu akan merubah keseluruhan dirinya. Tampang menyeramkan dengan seringnya Mike bergaul dengan preman jalanan nyatanya tak merubah kepribadian baik pria dewasa itu. Mike bahkan selalu berusaha mengupayakan yang terbaik untuknya hingga memasukkannya ke sekolah elite. Semua peristiwa yang diciptakan oleh Mike pun nyatanya membuat Devan perlahan jatuh hati. Namun Devan berusaha meredamnya karena kesadaran diri dan lagipula Mike pria normal. Dan banyaknya tokoh baru yang seiring berjalannya waktu terus memaksa keduanya untuk jujur pada diri masing- masing.

Erina_Yufida · LGBT+
Zu wenig Bewertungen
385 Chs

"Belagak seperti aktor?"

Aroma debu yang kadung mengendal di jalan, tercium begitu menusuk pembauan. Serangan air langit yang menjadi dalang, seketika datang tanpa penjadwalan. Kepulan asap yang membentuk gumpalan ringan, secara tiba-tiba lenyap tersapu hembusan. Riuh gemericik yang dihasilkan, membuat para manusia seperti dipaksa berhenti pada perjalanan.

Benar saja, hujan telah datang.

"Deras sekali," keluh Devan dengan tangan terulur memainkan air hujan yang turun dari atap pelindung bergelombang. Beberapa percikan air pun tak bisa dielak hingga membuat beberapa titik basah dicelana abu-abu miliknya. Suasana yang begitu senyap sepi sedikit menghadirkan rasa takut di benak remaja itu. Penglihatan yang sudah minim cahaya membuatnya ingin menyerah untuk bisa menunggu lebih lama lagi. Mike, kemana dia?

"Belagak seperti aktor yang tengah memerankan adegan nelangsa di kepungan hujan?" sebuah lelucon yang lebih mengarah ke ledekan itupun berusaha tak dipedulikan Devan. Ya, sudah biasa jika seorang Nathan selalu berusaha membuat panas hati. Devan cukup memaklumi karena itulah tugas utama seorang iblis.

Bunyi bel sekolah yang berdenting sejak satu jam lalu, memang sudah membebaskannya dari kurungan. Namun apa daya, satu rintangan terlewati datang yang lain. Mau bagaimana lagi, hujan menahannya untuk bisa lari menghindar dari aroma tubuh yang saat ini seperti membuatnya alergi.

"Bodoh ya?"

Kalimat tajam lagi-lagi menyentil ego Devan, namun sekejap langsung ia tangkis dengan tak mempedulikan. Saat ini pikiran cemas memang lebih mendominasi, Mike baik-baik saja? Apakah pria itu sedikit melupakan rutinitas untuk menjemputnya? Sungguh, ia sangat khawatir jika Mike mengalami suatu kejadian buruk.

"Jangan membuat gara-gara denganku!"

"Aku tidak mencari gara-gara, hanya saja sikapmu yang seperti ingin diolok," timpal Nathan saat sedari tadi melihat pergerakan Devan yang sedang menggosok-gosokkan tangan seperti mencari kehangatan. Nathan tak habis pikir, apa gunanya Devan melakukan itu setelah sebelumnya asik memainkan air hujan?

"Kalau dingin pakai jaket, bukankah punyaku masih ada padamu?" lanjut Nathan lantas menggigit besar sepotong gorengan yang dicomot dari pos penjagaan tempat mereka berdiri sekarang. Jangan tanya, kenapa Nathan tak takut ataupun merasa sungkan dengan tindakan tak sopannya! Karena pada kenyataannya ia memang suka bertingkah sesuka hati. Namun jangan sekali-kalinya membatin tentang tindakan yang berkesan tak bernurani, Nathan juga masih punya setitik kedermawanan dengan menyelipkan selembar uang bernominal paling besar di bawah piring saji, bayaran yang cukup setimpal untuk dua potong gorengan yang dicomotnya tanpa izin.

"Berisik!"

"Terserah! Aku kan hanya mencoba bersikap baik," timpal Nathan lantas melahap habis sisa tempe berbalut tepung yang tersisa digenggamannya.

"Sudah, kau pergi sana!" usir Devan yang tak ingin terganggu.

"Iya, ini juga mau pergi. Lagipula siapa yang ingin berlama-lama di gedung sekolah yang sudah sepi, hujan bertambah deras dan cuaca yang semakin menggelap," balas Nathan berusaha menakuti Devan. Wajahnya maju meneliti pria pendek dengan poni yang sedikit mengenai mata, mereka berjarak sangat dekat. Sorot mata yang dibuat begitu meyakinkan berharap dapat tersalur lewat kontak pandang dan dapat menggetarkan rasa takut yang sengaja di munculkan Nathan lewat kata.

"Aku pergi dulu," lanjut Nathan seraya bergerak untuk menjauh dari sosok yang sudah nampak mematung. Benar dugaannya, pria seperti Devan pasti sangat takut akan hal-hal tak terlihat. Mendengarnya menjerit dengan raut wajah penuh ketakutan memang sepintas ada dalam rencana, namun lagi-lagi Nathan masih mempunyai sisi baik di sudut terkecil hatinya. Dari pada merealisasikan imaginasinya yang hanya bisa dinikmati oleh pandang mata, lebih baik Nathan menggiring Devan untuk bisa memanjakan kepuasan lidah serta debat panjang yang berakhir dengan Nathan sebagai pemenang, seperti biasa. Nathan memang tak bosan mengusik buruannya.

"Nath!"

Senyum seringai lantas tersungging di bibir milik Nathan. Panggilan pelan dibalik gemericik air yang jauh lebih mendominasi, tak lantas membuatnya langsung membalik badan. Nathan masih menunggu, menunggu Devan untuk merengek padanya.

"Hemm..."

"Kau-kau tidak mau aku membuatkan mu makanan? Maksudku… Apa kau tidak butuh bantuan?"

Kena! Nathan memang begitu cerdas. Hanya dalam hitungan detik pria itu sudah memasuki kandang perangkapnya. Sial! Nathan begitu menyukai setiap permainan dengan sang maid miliknya, apalagi jika sudah mendapat raut memelas tanda patuh. Benar, Nathan memang sangat terobsesi untuk bisa mendominasi. Dan melihat sosok mungil yang sebelumnya begitu nampak menantang berani, cukup membuat Nathan berbangga diri karena telah menakhlukkannya.

"Pulang. Aku sudah sangat lapar, nanti buatkan aku masakan terenak yang pernah kau buat," sahut Nathan dengan suara sedatar mungkin. Pandangan dingin pun ditunjukkan untuk lebih bisa mempengaruhi. "Cepat berdiri, pakai juga hoodieku!" lanjut Nathan lantas menarik tisue basah dari dalam tas miliknya, ia kemudian membersihkan sisa minyak yang menempel di ujung-ujung jari karena gorengan tadi.

"Baiklah," balas Devan dengan suara yang terdengar begitu lega. Ya, khusus kali ini Devan mengakui kegunaan Nathan di dekatnya. Untung saja pria itu mau membawanya pergi dari gedung sekolah yang sudah nampak begitu seram tanpa seorang pun terlihat. Lagipula menunggu datangnya Mike juga tak pasti.

Devan pun bergegas menuruti perintah Nathan untuk membalut tubuhnya dengan hoodie kebesaran milik Nathan. Menyembunyikan tas satu-satunya di dalam pakaian tebal yang telah dikenakan, lantas menepuk-nepuk dan memeluknya erat seakan bicara, "Kau aman anakku!"

"Pssttst!"

Sedangkan Nathan yang menatapnya dibuat tak bisa menahan rasa geli, Devan terlihat kekanakan dengan tingkahnya.

Deru suara khas motor mengaung di tengah jalan. Melaju dengan kecepatan sedang membelah celah hujan. Pakaian yang sudah begitu basah sampai menembus lapis terdalam. Berbalut helm merah muda yang beberapa kali dikenakan, membuat Devan menarik nafas lega. Maklum, ia sangat sensitive dengan air hujan. Ia tak ingin merepotkan Mike seperti kesakitannya kemarin. Tubuhnya membungkuk dengan kedua lengan berpegangan ringan pada hoodie milik Nathan. Motor melaju dengan kencang, seiring dengan debaran dada yang sudah terbiasa hadir di kala ia ketakutan. Seperti biasa, ada kejahilan dalam setiap tindak baik Nathan padanya.

"Nih, pakai!"

"Terimakasih."

Devan pun menarik setelan santai serta pakaian dalam baru yang diberikan Nathan. Memasuki kamar mandi mewah dan langsung melecuti seluruh pakaian basah miliknya. Devan menyempatkan mandi singkat kemudian mengurusi pakaian yang sempat diperas sebisanya di halaman depan sebelum memasuki kediaman bersih milik Nathan. Devan juga meninggalkan sepatu kotornya di pintu masuk rumah. Devan memang begitu menjunjung tinggi adab dalam bertamu.

"Hei, setidaknya keringkan rambutmu dulu!" ucap Nathan lantas menyampirkan handuk kecil keatas kepala Devan. Saat ini mereka sedang ada di luar kamar milik Nathan, dengan Devan yang sibuk dengan olahan ayam bumbu kecap miliknya. Ingat lantai tiga daerah kekuasaan Nathan, kan?

"Tidak masalah," timpal Devan yang sibuk mengiris tipis bumbu-bumbu yang diperlukan tanpa menghiraukan Nathan yang masih berdiri dibelakangnya.

"Tidak masalah apanya? Kalau kau lagi-lagi sakit siapa yang akan ku suruh-suruh?" ucap Nathan lantas mengacak singkat rambut Devan dengan handuk yang sudah disampirkan.

"Sungguh, aku merasa sangat bersalah karena telah berpikir kau sedikit mempedulikanku," ungkap Devan dan kemudian membalikkan posisi untuk berhadapan dengan pria tinggi itu.

"Mempedulikanmu bukan tugasku. Cepat masak!" titah Nathan dengan menundukkan pandangan menatap sosok mungil itu. Kedua lengannya pun mengacak rambut Devan sekali lagi. Beberapa detik setelahnya, Nathan berbalik pergi dengan meninggalkan kain penyerap itu di leher Devan.

"Dia mempedulikan ku. Huh! Dasar Nathan menyebalkan!" omel Devan didalam hati. Pandangannya mengikuti langkah lebar Nathan yang berakhir di sofa multifungsi yang digunakannya berbaring. Devan masih saja sibuk meneliti setiap pergerakan ringan milik Nathan yang sedang menatap layar televisi. "Dia sebenarnya baik, tapi kenapa selalu ditutup-tutupi dengan tampang menyebalkan?"

"Hei! Ada masalah apa kau sampai menatapku intens seperti itu?" teriakan Nathan pun menyadarkannya dari keterdiaman. Nathan yang berbaring tengkurap dengan tatapan mengarah persis kearahnya. Jarak mereka terbilang cukup jauh hingga Devan cukup merasa lega karena Nathan tak mungkin bisa melihat raut terkejutnya dengan jelas.

"Tak apa," jawab Devan dengan singkat. Ia lantas membalikkan posisi tubuh menghadap meja dapur, begitu pun dengan Nathan yang berbalik memutar arah dan menghadap layar kaca besar yang sebelumnya dipunggungi.

Tak ingin memperlambat waktu pulang, Devan pun mempercepat kerja tangannya dalam meracik masakan. Melahap makanan dengan cepat lantas membentuk wajah permohonan kala hari sudah mulai larut dan hujan telah menyisakan rintik kecil, berharap Nathan berbaik hati untuk mengantarnya pulang.

Pukul sembilan empat lima, kaki Devan berusaha mempercepat langkah kaki saat ia sudah berhasil mencapai gedung apartement tempat tinggal Mike. Ya, untung saja malaikat baik masih menempel di tubuh Nathan hingga pria itu tanpa basa-basi menancap gas motor untuk mengantarnya.

"Mike....!"

"Mike...!" panggil Devan setelah ia berhasil memasuki apartement yang ditinggali. Sepi, Mike belum juga pulang. Kemana dia?

Devan terus berkeliling mencari ke setiap sudut rumah hingga mengecek kamar mandi. Kosong! Mike belum pulang.

"Mike... Kau kemana, aku cemas."