37 "Tokoh Antagonis!"

Setelah melewatkan waktu istirahat dengan perbincangan tak berguna, Devan pun kembali ke kelas dengan membawa barang-barang pria itu lagi. Sungguh, Nathan memang orang yang sangat membingungkan, Devan sama sekali tak bisa menebak setiap langkah yang akan diambilnya. Disatu waktu Nathan terlihat baik, tapi disisi lain pria itu bertingkah licik dengan mempergunakan jasa kebaikan sebagai alasan untuk menjahilinya kembali. Devan sangat yakin jika Nathan tak akan mengingkari perkataannya untuk memberi upah atas kerja keras yang dilakukan, Nathan juga berhak memerintahnya sesuka hati. Tapi tetap saja, sikap menyebalkan Nathan sama sekali tak bisa ditolerir.

Seperti sekarang, disaat Devan sedang memperbaiki suasana hati dengan obrolan ringan bersama ketiga kawannya, ia malah dikejutkan dengan suara dering ponsel yang membuat tawa mereka serentak terhenti.

Ay, ay, ay

I'm your little butterfly

Green, black and blue

Make the colours in the sky

Ay, ay, ay, I'm your little butterfly

Green, black and blue

Make the colours in the sky

guk guk gukk

Benar saja, Devan sudah menduga jika ponsel mahal yang diberikan Nathan akan menjadi media baru untuk mengganggunya dengan lebih mudah dan waktu yang juga tak kira-kira.

"Bunyinya dari tas milikmu Dev, kau sudah punya ponsel?" tanya Fandy yang memang duduk disamping Devan. Suasana riuh yang ada di kelas pun tak mempengaruhi fokus ketiga orang itu dalam menatap penuh pertanyaan pada Devan.

"Ehmmm... Sebentar ya," sahut Devan dengan pelan. Ia pun dengan cepat menyabet benda persegi panjang itu dari tasnya lantas bergerak menghindar. Sedangkan ketiga kawan Devan yang melihatnya pun menjadi begitu penasaran. "Kenapa Devan nampak jelas menahan kesal?" pikir mereka.

Hawa siang yang sama sekali tak terlihat itu tertutup kabut hitam. Angin yang mulai bertiup dengan kencang seolah menandakan sambutan untuk datangnya hujan. Mungkin musim penghujan memang sudah terlalu rindu untuk membasah tempat tinggal makhluk-makhluk bernafas, walau sedikit tak dipungkiri kebenarannya, mereka datang telalu cepat.

"Ada apa lagi!" tanya Devan dengan suara sewot. Nathan memang pria yang sama sekali tak bersikap efektif. Setelah pertemuannya beberapa jam lalu, kini pria itu kembali menghantuinya, kenapa tak sekalian waktu Devan ke kelasnya tadi saja?

Suaranya yang tanpa sadar berubah kencang, membuat Devan langsung melirik lorong sekitar yang untungnya sepi. Maklum, ini memang masih jam pembelajaran, hanya saja kelasnya tak diisi oleh guru yang sudah terjadwal, beliau izin karena sakit.

Seperti murid pada umumnya, mereka langsung bersorak riang seperti terbebas dari jerat rutinitas wajib. Berlari sana-sini dan bertingkah kekanakan dengan saling menjahili, itu memang biasakan? Bahkan sedari tadi kelas mereka tak henti mendapat teguran dari guru petugas piket. Itu juga yang dikhawatirkan Devan saat ini, bisa mencuat rasa malunya jika ia ketahuan keluar kelas dan malah berteleponan ria. Sudah cukup ia mendapat gelar murid pindahan dengan memecah rekor hukuman terbanyak, ia tak ingin lagi menambah masalah. Tapi ia bisa apa? Devan tak mungkin menerima panggilan Nathan di kelas, ia juga tak mungkin untuk mengabaikannya. Memang serba salah!

"Eiizt! Santai... Aku tuanmu, kau masih mengingat dengan jelaskan kan, my maid?!" sahut suara diseberang membuat Devan mengeratkan gigi merasa kesal untuk kesekian kalinya. Memang, pria itu pasti sengaja untuk menyulut emosinya.

"Oke-oke, tapi bisa tidak kau memanggil ku Devan saja!" ucap Devan berusaha bernegosiasi. Maid? Panggilan itu sungguh menggelikan bila tertuju kepadanya, ia tak suka.

"Hahahah... Jangan harap, aku suka panggilan itu. Sebutan nama yang membuatmu meradang, membuatku senang bukan main," jawaban itu cukup membuat Devan mengerti, Nathan memang memiliki jiwa pembully yang seperti tak bisa diobati.

Devan yang saat ini berdiri diluar kelas itu pun memilih berjongkok dengan menyandar tembok, tubuhnya terlalu bergetar hebat untuk memaksanya berlari dan mencekek leher pria yang sudah membuatnya kesal itu.

"Heehh....! Kalau bisa menyamakan sosokmu dengan tokoh sinetron, pasti kau langsung menempati tokoh antagonis!" kesal Devan dengan menggeram di awal kata ucapannya.

"Hem! Itu bagus. Dalam sinetron pun tokoh antagonis akan mendapatkan durasi bahagia lebih lama, sedangkan tokoh utama? Mereka hanya menangis menderita di sepanjang episode. Si protagonis yang tak kuasa dan begitu lemah, persis seperti mu," balas Nathan berhasil menjungkir balikkan sindiran milik Devan.

"NATH! Aku tak ingin berdebat denganmu!"

"Siapa suruh kau selalu menimpal ucapanku?"

"Hufh... Oke, ku tutup telponnya," timpal Devan lantas berniat menekan tombol merah untuk memutus pangkal komunikasi yang membuatnya frustasi.

"Eiits! Kau belum mendapat perintahku!" cegah Nathan dengan cepat.

"Yang benar saja?!" marah Devan seperti sudah menyadari gelagat pria itu, Nathan pasti akan mengucapkan kata-kata yang membuat Devan berpeluh banjir karena emosi, 3.... 2.... 1!

"Kirimkan semua yang ku mau ke basecamp!" titah Nathan singkat dan padat.

"Halo-halo-halo...! Shit!" panggil Devan beberapa hitungan sebelum menampilkan tulisan "Panggilan Berakhir". Tak lama setelah itu pun muncul dering pesan yang begitu keras menyentaknya. "Daftar makanan chiki yang harus ada dalam waktu sepuluh menit, antar ke basecamp!" baca Devan lantas membelalakkan mata, banyaknya koma setelah nama makanan membuatnya tersadar dan langsung berlari kencang menuju kantin yang ada di lantai dasar. Biar saja guru tau dan menghukumnya, bukankah Nathan yang memegang kendali atas riwayat keberlangsungannya di sekolah ini?

Angin... angin, angin mana angin...! Tiupan yang beberapa saat lalu mampu menyegarkan gerah tubuh seperti tak berguna lagi. Nafas memburu dengan peluh yang menetes menggelitik punggung mendesak untuk mendapatkan sapuan semilir dingin.

Menuruni lantai dasar menuju kantin, lantas kembali mendaki undakan menaiki lantai tiga dengan satu kantung plastik besar pemberat beban. Sungguh kakinya seperti hilang kekuatan karena banyaknya jejak yang tertinggal.

Menatap sebuah pintu yang akan membawanya menemui sang penguasa. Langkahnya bersiap lebih dekat untuk menyelesaikan perintah hingga sebuah suara menariknya mundur ke tempat asal.

"Hei! Kenapa kau bisa kesini?!"

Bian? Ya, nama pria itu Bian. Pria yang dengan tak yakin dijuluki cantik oleh Devan. Sosok mungil dengan ketajaman mata yang menatapnya menuntut untuk diberi balasan wajah tunduk.

"Ehm... Nathan menyuruhku," jawab Devan dengan suara pelan. Kalau boleh jujur, Devan merasa jika aura kelam yang dibawa oleh Bian sangat dominan hingga sekejap menghadirkan rasa takut di benak Devan. Tak bisa dipungkiri juga, semua itu memang berlandaskan kejadian lama, terkurungnya Devan di gudang sekolah karena pria itu.

"Nathan?"

"Hei, cepat masuk!" suara Nathan saat pria itu membuka pintu. Mendengarnya pun lantas mengalihkan perhatian Devan, ia menggerakkan langkah ke ruangan yang sudah terbuka itu, mendahului Bian dengan wajah memberengutnya.

"Sesuai pesanan nggak, nih?!"

"Iya, Nathan....!" jawab Devan dibarengi dengan kantung plastik yang ditaruhnya di meja.

"Ya sudah, pergi sana!"

"Hufh... Baiklah," balas Devan dengan menghela nafas panjang. Ya, Devan harus mempergunakan lagi fungsi kakinya dengan langkah paksaan. "Oh ya, kenapa kau bisa tau kalau kelasku sedang tak ada guru?" tanya Devan menatap Nathan yang duduk disofa dengan bersandar, Devan hanya penasaran.

"Kau itu bodoh atau bagaimana? Jelas saja aku mengetahui itu karena kau bisa membalas panggilanku."

"Ckkkc!"

Ya, itu memang alasan kebetulan yang sangat masuk akal. Kalau saja suara panggilan dengan lagu tema di hp mainan anak kecil itu tak berdengung dengan keras, pasti ia tak akan repot-repot diperintah seperti ini. Kalau begitu ingatkan Devan untuk menonaktifkan tombol suara!

"Berhubung kau tak ada kelas sampai jam sekolah berakhir, duduk disini!"

"Heh?"

"Kupas semua kuaci ini untukku!" ucap Nathan sembari melempar bungkus kuaci kearah Devan.

"Kau itu benar-benar, ya!" protes Devan saat Nathan lagi-lagi memberatkannya. Namun tak bisa dipungkiri itu juga salahnya, pertanyaan bodoh setelah mendapat usiran keluar seperti memberi kode, "Kerjai Aku lagi!"

"Benar-benar apa? Benar-benar tampan? Kalau yang itu sudah pasti," timpal Nathan dengan cerdas. Bibirnya pun tertarik dengan begitu lebar hingga menampakkan gigi putih tertata rapi.

"Benar-benar membantu ku nampak 10 tahun lebih tua. Kau selalu bisa membuatku marah hingga rautku berkerut tak karuan!"

"Hahahah... Kau lucu juga, ternyata!"

"Aku sedang tidak melawak ataupun coba menghiburmu!"

Keributan dengan tedeng berdebat itu pun hanya diperhatian Bian dengan diam. Tak lama setelahnya satu per satu personil dari geng Nathan pun hadir dan langsung memecah ketidakstabilan. Meneriakkan kata demi kata yang terdengar terlalu berombak hingga menggetarkan telinga merasa tak nyaman. Kegaduhan itu juga diperparah iringan musik alakadarnya berasal dari tepukan meja kayu.

Kolaborasi dari Marco dan Sandy itu pun tak lantas mendapat gemuruh tepuk tangan alih-alih geplakan keras dibelakang kepala dari seorang Randy yang malah terealisasi. Semua orang pun tertawa karena itu, sedang Devan? Ia harus apa, tertawa? Tidak, ia malah mengerucutkan bibir menahan kesal. Kerja kerasnya untuk mengupas satu persatu biji mini itu sama sekali tak dianggap Nathan. Dan ia malah terlihat begitu santai kala Sandy langsung meraup banyaknya butiran biji itu dan langsung melahap sampai habis tak tersisa. Nathan juga nampak tak tertarik dengan makanan itu. Ya, Nathan memang hanya mengerjainya!

avataravatar
Next chapter