webnovel

A Story You Can Tell

PERINGATAN! Rate 18+ Mengandung kekerasan Fuguel, lelaki tanpa ekspresi itu telah kehilangan hampir semua hal dalam hidupnya. Kemudian Albert, penyihir muda yang juga pangeran dari Ririas, lari dari negerinya setelah mengetahui sebuah kenyataan yang menyakitkan. Keduanya kemudian bertemu di sebuah wilayah gersang dan melakukan perjalanan untuk mengembalikan tubuh Fuguel seperti semula. Selama perjalanan itu, mereka melalui banyak hal, bertemu dengan banyak orang, belajar mengenai arti cinta, dan belajar memaknai kehidupan. A Story You Can Tell sendiri merupakan kisah cinta. Cinta yang menjadi kekuatan atas segala tindakan, sekaligus rasa sakit terburuk yang pernah manusia rasakan.

aylenasensei · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
43 Chs

Edisi Spesial: Aran Vysteria

"Siapa?" Aku melihatnya di sana, seorang gadis dengan iris berwarna merah muda yang lembut dan menghanyutkan. Gadis itu sepertinya mencoba mengambil buku di rak bagian atas.

"Tolong bantu aku!" Pintanya. Kesalahanku, aku terpaku dengan tatapan gadis itu sampai-sampai lupa untuk segera menolongnya. Dia adalah gadis yang tergeletak di lantai di antara tumpukan buku.

"Apa Anda tidak apa-apa?"

"Terima kasih," ia menarik uluran tanganku. Tangan mungil yang aku pegang terasa halus dan rapuh. Aku tidak percaya gadis sekecil ini menghabiskan waktu membaca di perpustakaan kerajaan.

"Anda sedang membaca buku apa?" Tanyaku setelah membantu gadis berambut sebahu itu untuk bangkit. Hanya saja, ia tidak segera menjawab pertanyaanku. Gadis setinggi pinggangku itu justru merapikan pakaiannya yang sempat tersingkap.

Aku menekuk lutut, mencoba menyamai tinggi kami. "Kalau boleh, aku ingin tahu nama Anda?" Sebisa mungkin aku bersikap ramah. Walau sedikit, sebenarnya aku juga penasaran dengan gadis ini. Sangat tidak biasa untuk melihat anak yang kira-kira berumur lima tahun membaca tumpukan buku, atau setidaknya melihat-lihat isinya.

"Amethyst Quinsley," katanya. Aku merasa nama itu cukup familier.

Kemudian setelah beberapa saat mencoba mengingat-ingat, aku terlonjak. "Quinsley?"

"Benar."

"Maafkan aku Yang Mulia! Aku sudah bertindak lancang," aku bersujud. Suatu kesalahan amat besar karena tidak dapat mengenali keluarga kerajaan. Aku sungguh malu dengan diriku.

"Tak apa," singkat sekali jawabannya. Ia tampak tidak peduli sama sekali.

Amethyst Quinsley, nama itu bukan pertama kali aku mendengarnya. Tentu saja aku tahu, ia cukup terkenal. Putri kerajaan kita yang satu ini memiliki banyak rumor di antara para bangsawan. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya dalam kondisi seperti ini.

"Yang Mulia, saya adalah putra kedua dari keluarga Vysteria. Nama saya adalah Aran," ucapku seraya membungkuk memberi hormat. Aku kemudian menunggunya untuk mendapatkan respon, tapi ia tampak bergeming.

Kecanggungan di antara kami harus segera dicairkan. Aku tidak boleh membuat Yang Mulia tidak nyaman. "Yang Mulia, apa Anda sendiri saja?" Ia mengangguk sekali. Rambut peraknya yang berkilau turut berayun pelan.

Aku sadar bahwa Yang Mulia bisa saja terganggu dengan kehadiranku, hanya saja aku tidak bisa berpaling. Kilauan dari bola matanya telah berhasil membuatku terpikat. Aku merasa tak berdaya dan ingin tetap berada di sisinya. "Maafkan atas ketidaksopananku," harusnya aku mengucapkannya dengan lantang.

"Tuan Vysteria …," suara penuh kasih itu memanggilku. Ia kemudian meraih lengan bajuku dan menunjuk sebuah buku yang berada di rak bagian atas. "Apa kau bisa membantuku mengambil buku itu?"

Aku mengulurkan tangan ke atas mencoba meraih buku yang di maksud. Setelah mendapatkannya, aku membaca sampul buku tersebut. "Sebuah Sejarah," tulisnya. Sampul buku itu terlihat lusuh dan berumur. Namun, samar-samar aku juga merasakan energi yang menyelubunginya. "Mungkinkah energi ini yang membuat orang-orang tertarik membacanya?" Tanyaku dalam benak. Aku merasa aneh, sebab Yang Mulia mencoba mengambil buku ini hingga terjatuh. Setelah itu, aku langsung menyerahkannya kepada Yang Mulia.

"Terima kasih," ucapnya sekali lagi. Aku merasa berdosa karena merasa senang dan ingin terus mendengarkannya mengucapkan kalimat itu.

"Yang Mulia, apa Anda sering menghabiskan waktu di sini?" Lagi-lagi aku bertanya. Sepertinya, aku benar-benar menjadi pengganggu.

"Iya. Aku selalu menghabiskan waktu di sini hingga petang," ujarnya terlihat acuh tak acuh. Sikapnya itu seharusnya menyakitiku. Namun, aku hanya ingin membuatnya tersenyum sebelum meninggalkan tempat ini, meski sekali.

"Anda senang membaca buku yang seperti apa? Jika Anda berkenan, saya dapat merekomendasikan beberapa." Aku tidak tahu apakah perbuatanku terhitung di luar batas. tetapi aku tidak ingin mengakhiri interaksi kami.

"Aku senang mengenal Rurall lebih jauh," dan saat itulah aku merasakan sebuah kehangatan dan kerinduan. Yang Mulia akhirnya tersenyum simpul.

Aku menjelaskan berbagai macam buku yang kuketahui terkait sejarah Rurall. Yang Mulia tampak begitu senang mendengarkan. Sepertinya, ia benar-benar mencintai negerinya.

"Lain kali, apa saya boleh bergabung dengan Anda?" Aku memberanikan diri. Aku berharap Yang Mulia menyetujuinya.

"Tuan Vysteria senang membaca?" Ia balik bertanya dengan wajah polos. Ah Tuhan, aku sudah mengelabui gadis kecil. Tidak mungkin aku berkata, "Aku hanya ingin berada di samping Anda." Oleh karena itu aku memilih berkata, "Aku perlu belajar banyak mengenai Rurall, sebab aku merupakan delegasi dari keluarga Vysteria."

Putri Amethyst Quinsley tampaknya paham arti delegasi. Ia mengangguk perlahan dan berkata, "Aku tidak keberatan jika kau bergabung."

Setelah mendapat persetujuannya, aku mohon pamit dan meninggalkan perpustakaan. Aku tidak sabar menunggu esok hari.

Tidak biasanya aku berjalan dengan langkah yang lebih cepat. Aku tidak tahu mengapa, tapi energi dari dalam diriku terasa meluap-luap. Aku ingin segera sampai di rumah dan menceritakan pertemuanku dengan Yang Mulia kepada ayah. Semoga dengan mendengarkan cerita ini, ia menjadi lebih baik.

"Salam Ayah," aku membungkuk, memberi hormat kepadanya setelah memasuki ruang kerjanya. Tetapi ayah sama sekali tidak terlihat bergairah. Ia seperti itu sejak ibu meninggal. Tidak ada senyum di wajahnya, tak sekalipun ia keluar rumah. Ia hanya menghabiskan waktu bekerja dan mengurung diri.

Sebelumnya aku begitu bersemangat, tetapi kini aku merasa ragu. Kelihatannya, aku tidak bisa bercerita mengenai Yang Mulia kepada ayah saat ini. Mungkin, lebih baik aku tidak mengganggu kesibukannya.

"Lebih tinggi Tuan Muda! … ya, benar seperti itu … bagus …."

Klang!

"Aku masih belum bisa mengalahkanmu," setelah Argus berhasil menghempaskan pedangku, latihan kali ini akhirnya selesai.

Argus merupakan kepala pelayan keluarga Vysteria sejak dulu. Sewaktu remaja, katanya ia sudah berhasil menggantikan ayahnya untuk melatih ayah dalam berpedang. Ia benar-benar jenius untuk urusan berpedang dan bela diri. Tentu saja, seseorang yang minim pengalaman sepertiku mustahil untuk mengalahkannya, setidaknya untuk saat ini.

"Ada apa Tuan Muda? Anda beberapa kali kehilangan fokus di tengah-tengah latihan."

"Ah …." Aku tidak tahu harus berkata apa.

"Apa ini tentang Tuan?"

Argus dengan mudahnya memahamiku. Aku hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaannya.

"Hati manusia adalah misteri yang hampir mustahil untuk dipecahkan, setidaknya menurut saya seperti itu." Argus memegang pundakku. Tangannya yang besar dan keras itu memberikan kehangatan. "Tuan Muda … Tuan sangat mencintai Nyonya, dan dirinya yang sekarang merupakan bukti sedalam apa ia terluka karena kehilangannya."

Aku tahu ayah terluka. Namun, hal yang aku benci adalah aku tidak bisa melakukan apapun untuk membuatnya merasa lebih baik. Seandainya Vysteria memiliki kekuatan menyembuhkan hati. Seandainya ada obat yang dapat menyembuhkan sebuah kesedihan, di manapun itu, aku pasti akan mencarinya.

"Terima kasih karena telah menghiburku Argus."

"Seandainya kakak ada di sini, apa yang akan dilakukannya?" Aku bertanya-tanya dalam hati. Tapi, mungkin saja kakakku mengalami kedukaan yang lebih dalam sehingga ia sama sekali tidak ingin berada di rumah.

Esok hari tiba, segala kegelisahanku tersingkirkan entah ke mana sejak aku menginjakkan kaki di istana. Sekitar pukul sepuluh pagi, aku bergegas menuju perpustakaan kerajaan. Perpustakaan kerajaan berada di wilayah istana, tetapi bebas diakses oleh para bangsawan. Selama ada izin masuk, siapa pun bisa ke sana. Aku sudah tidak sabar bertemu Yang Mulia.

Aku membuka pintu berbahan kayu itu pelan. Saat memasuki ruangan, aku tidak melihat banyak orang di sana. Hanya beberapa cendekiawan yang sibuk dengan urusannya. Rurall memang tidak terlalu memperhatikan pendidikan. Tidak terlalu banyak orang yang memiliki ketertarikan dengan ilmu pengetahuan, bahkan di kalangan bangsawan sekalipun.

Wajar saja, kekuatan supernatural yang kami miliki lebih dari cukup untuk mengatasi segala hal. Orang-orang lebih senang beradu kekuatan ketimbang beradu siasat. Namun, di keluarga Vysteria tidak demikian. Sejak dulu ayah selalu menekankan bahwa ilmu pengetahuan itu penting. Mungkin, itulah rahasia dari kemasyhurannya di usia muda.

"Ah, Yang Mulia!" Gumamku melihat sosok yang indah itu. Aku melihatnya di sudut ruangan duduk di kursi dengan kaki menggelantung. Ia tampak membaca buku yang kemarin.

"Salam, Yang Mulia," aku membungkuk memberi hormat.

"Tuan Vysteria?" Ia tampak terkejut melihatku. Sepertinya ia sangat fokus sebelumnya, kemudian aku datang memcah perhatian.

"Apa saya mengganggu Yang Mulia?"

"Tidak, kau boleh duduk." Balasnya. Ia menunjuk kursi yang ada di hadapannya.

Rasa senang menyeruak ke sekujur tubuhku ketika berhadapan dengan Yang Mulia. Kemudian, aku menuliskannya ke sebuah catatan, tentang hari bahagia ini. Perasaan ini sungguh misterius. Hanya dengan keberadaan Putri Rurall membuat kegelisahanku hilang sekejap untuk sementara waktu. Sepertinya, aku harus berterima kasih keapda Yang Mulia.

Setelah pertemuan hari ini, aku selalu mengunjungi Yang Mulia di perpustakaan. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga hampir setengah tahun lamanya. Bersama Yang Mulia menjadi sebuah rutinitas. Kemudian, momen itu tak sekalipun pernah menjadi momen yang terlupakan. Hanya saja, tidak ada yang benar-benar berubah. Diriku masih tetap anak yang lemah. Setelah mengurungkan niat memberitahu ayah mengenai Yang Mulia, aku tidak lagi berpikir untuk memberitahunya. Ayah sama sekali tidak tertarik terhadap apapun. Aku selalu berusaha menutupi kegelisahanku agar tidak membuat orang-orang khawatir. Tetapi …

"Ada apa?"

Sosoknya tiba-tiba berdiri di hadapanku. Saat ini aku tengah duduk di lantai sembari mengumpulkan buku-buku tentang pemerintahan. Mungkin karena terlalu lama melamun, Yang Mulia jadi khawatir.

"Saya baik-baik saja Yang Mulia," jawabku dengan senyum yang sedikit kaku.

Lalu tiba-tiba, "Kau tidak terlihat baik-baik saja," Yang Mulia menyentuh pipiku lembut. Gema suaranya menggetarkan jiwa hingga hampir saja air mengalir dari pelupuk mataku. Tangannya seolah menyentuh jiwaku langsung.

"Sa-saya sungguh baik-baik saja."

Yang Mulia melepaskan sentuhannya. Wajahnya cemberut. Sepertinya, ketidakjujuranku membuat ia tidak senang.

"Aku pikir kita adalah teman. Seharusnya, teman berbagi masalah bukan?" Mendengar hal itu, siapa yang tidak senang. Selama ini, tak sekalipun aku menganggap bahwa diriku merupakan teman Yang Mulia. Mana berani aku berpikir seperti itu. Tapi, Yang Mulia mengatakannya. Ia menganggapku temannya.

Kemudian Yang Mulia tampak malu-malu, ia memalingkan wajah. "Jangan-jangan hanya aku yang berpikir demikian?"

"Bu-bukan begitu Yang Mulia," aku tidak tahu bagaimana membalas ucapannya.

"Kalau begitu, apa kita adalah teman? Aku berharap Tuan Vysteria bersedia menjadi teman pertamaku."

"Yang Mulia …," Aku bersujud dan berkata, "Perasaan Anda lebih dari cukup untuk membuat saya bahagia."

"…."

Aku bertanya-tanya, setelah beberapa detik, tidak ada respon sama sekali. Aku mengangkat wajah dan mendapati Yang Mulia menangis.

"Ya-Yang Mulia …," buru-buru aku memberikannya sapu tangan.

"Apa Tuan Vysteria tidak ingin berteman denganku?"

Bodohnya diriku, baru saja aku menyakiti hati sosok yang begitu kukasihi. Yang Mulia sama denganku. Ia adalah gadis kecil yang kesepian. Kami sama-sama kesepian karena telah diabaikan oleh orang-orang yang kami cintai. Seharusnya aku tidak menampik permintaannya menggunakan kata-kata manis.

"Maafkan saya Yang Mulia. Saya sangat senang ketika Anda menganggap saya sebagai teman. Anda adalah sosok yang begitu saya hormati. Saya hanya tidak menyangka. Tapi, jika Anda berkenan, maukah menjadi teman saya?" Kali ini aku mengulurkan tangan.

Yang Mulia menjabat tanganku sembari menghapus air matanya. "Aku ingin kau memanggilku Mithyst."

Sejujurnya aku tidak berani memanggilnya dengan namanya langsung. Namun, jika hal itu dapat membahagiakan Yang Mulia maka akan kulakukan.

"Kalau begitu Anda boleh memanggil saya Aran."

Yang Mulia tersenyum hangat. Hari ini adalah hari yang baik.

~